Pendeta Hamonangan Girsang |
Sebuah Ringkasan
Oleh : Jannerson Girsang
Pendeta Hamonangan Girsang adalah mantan Sekjen Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Selain itu cucu Tahan Girsang ini pernah duduk dalam kepengurusan di berbagai organisasi oikumene di dalam dan di luar negeri. Usai melepas jabatannya sebagai Sekjen GKPS, putra seorang Pangulu Balei ini menjadi pendeta Asia pertama menjabat Sekretaris Eksekutif di VEM (Vereinte Evangelische Mission)/UEM (United Evangelical Mission).
Pendeta Hamonangan Girsang, lebih populer dipanggil Pendeta HM, lahir di Saribudolok, sebuah desa yang terletak 1400 meter di atas permukaan laut di Kabupaten Simalungun, 23 Nopember 1939. Pria tegap berambut putih ini memiliki sikap teguh, disiplin, tekun belajar khususnya manajemen gereja, serta menguasai bahasa asing (Inggeris, Jerman dll) dan memiliki kemampuan dialog dan komunikasi yang baik.
Banyak pihak tidak menyangka kalau pendidikan pria yang berpenampilan rapi dan serius ini, hanyalah Sekolah Teologia Menengah (lima tahun setelah lulus SMP). Selebihnya adalah learning by doing, seperti pendidikan informal melalui studi orientasi di DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dan Jerman, serta pengalamannya di lapangan.
Masa Kecil
Pendeta HM Girsang adalah anak ketiga dari pasangan Djarani Girsang dan Elina Saragih Sumbayak yang telah terdidik dalam sistem pendidikan Eropah. Ayahnya adalah lulusan sekolah yang dikelola pemerintah Belanda Normaal School di Pematangsiantar dan kemudian menjadi Pangulu Balei (sekretaris raja) Raja Silima Kuta, di Nagasaribu dan Pamatangraya. Sebelum menjadi Pangulu Balei, ayahnya adalah seorang guru Holland Inlandische School (HIS) di Medan. Sedangkan ibunya Elina Saragih Sumbayak adalah lulusan sekolah bidan yang dikelola Rheinische Mission Gesellschaft (RMG), Zending’s Hospital di Pearaja, Tarutung dan pernah bekerja sebagai bidan di Tapanuli Selatan sebelum menikah.
Ayahnya meninggal saat dirinya masih berusia kurang dari 5 tahun. Ia mengetahui kisah ayahnya dari cerita ibunya dan teman-teman ayahnya. ”Saya tidak begitu ingat kisah tentang ayah,”ujarnya. Sebagai pangulu balei—di Silima Kuta, dan Pematangraya, semasa hidupnya bapaknya adalah seorang yang banyak bekerja di luar rumah. Lagi pula, sang ayah meninggal karena sakit di usia 34 tahun, pada 1944. Dari kisah yang diketahuinya, ayahnya jatuh sakit setelah Jepang menangkap dan kemudian menahan ayahnya beberapa saat di Pematangsiantar. Waktu itu ayahnya bertugas sebagai Pangulu Balei di Pamatangraya.
Sepeninggal ayahnya, di bawah asuhan ibu yang menurutnya ”tekun berdoa dan gigih bekerja”, anak ketiga dari empat bersaudara ini dibesarkan dalam kehidupan ekonomi keluarga yang cukup memprihatinkan. Beberapa tahun setelah ayahnya meninggal, menyusul agresi Belanda, 1947. Keluarganya bersama dengan penduduk lainnya terpaksa mengungsi ke berbagai lokasi. Keluarga HM sendiri mengungsi ke Paropo, di tepi Danau Toba, terletak sekitar 20 kilometer dari kampungnya. Keluarganya di Tigalingga menjemput mereka dari Paropo dan kemudian tinggal sementara di sana.
Di Tigalingga (Dairi) ibunya jatuh sakit. Setelah suasana agak aman dan kesehatan ibunya kembali pulih, keluarga ini sempat tinggal di Siborgung, Raya. Akhirnya kembali ke Mardingding dan tinggal di sana sementara waktu. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga karena rumah mereka turut terbakar sewaktu revolusi.
Sebagai seorang lulusan bidan di jaman Belanda, ibunya kemudian memperoleh pekerjaan sebagai bidan di Rumah Sakit Murni, Saribudolok. Keadaan ekonomi keluarganya mulai membaik dan keluarga ini kemudian menetap di Saribudolok. Di rumah sakit ini, ibunya bekerja beberapa tahun. Setelah merasa mampu mandiri, kemudian ibunya membuka klinik sendiri di rumahnya, di Jalan Kartini Saribudolok.
Dari profesinya ini Elina, ibunya bekerja keras dan membiayai sekolahnya bersama tiga saudaranya yang lain, Pintauli, Paradatan dan Sadariah.
Memasuki Sekolah Teologia
Karena alasan ekonomi keluarga, usai menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) di Saribudolok pada 1953, ibunya menyarankan agar HM melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Guru Bawah (SGB), karena mendapat ”tulage” (bebas uang sekolah dan menerima uang saku). Namun, nasib menentukan lain. Cita-cita ibunya agar dia menjadi guru kandas, karena saat mendaftar bersama JL Girsang ternyata pendaftaran SGB sudah tutup.
Akhirnya, pilihan terakhir adalah mendaftar bersama temannya itu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Pematangsiantar dan lulus pada 1956. Selepas SMP, didampingi Pendeta H.Vollmer dan Pendeta Mailam Purba Tambak, HM mendaftar ke Sekolah Teologia Menengah Nommensen dan lulus pada 1961.
Pria yang menguasai harmonium yang dipelajarinya sendiri ketika masih siswa ini, kemudian sering menjadi pemain harmonium di gereja HKBP-Simalungun Sudirman, Pematangsiantar.
Dia berbaur dengan suku-suku lain di Pematangsiantar dengan keterlibatannya dalam kegiatan olah raga sepak bola semasa menjadi siswa SMPdi kota itu. Semasa menjadi siswa Sekolah Teologia Menengah dia aktif di organisasi siswa dan menjadi salah seorang pengurus. Semasa siswa inilah dia bertemu pertama kali dengan Armencisus Munthe di kampusnya. Di kemudian hari, keduanya menjadi Pimpinan Pusat GKPS—Munthe menjadi Ephorus dan HM Girsang menjadi Sekjen (1977-1990). Pendeta HM Girsang adalah salah seorang lulusan terbaik seangkatannya di Sekolah Teologia Menengah pada 1961.
Pendeta HM Girsang menapaki karier kependetaannya mulai dari vikar di Pematangraya dibawah asuhan Pendeta JP Siboro, mantan Ephorus GKPS. Setelah menjalani masa vicariat, HM Girsang ditahbiskan menjadi pendeta dan ditugaskan sebagai Pendeta di Tebingtinggi, sejak 1962. Masa inilah dia melakukan evangelisasi pada malam hari di pedalaman Simalungun, seperti di Raya Kahean dan Silau Kahean.
Pada 1963, Pimpinan Pusat GKPS mengangkatnya menjadi Pendeta Resort Sipitu Huta di Kabanjahe, kemudian ke Saribudolok, Galang dan Polonia-Medan. Selain sebagai pendeta Resort, dalam kurun waktu 1965-1970 dia merangkap sebagai Praeses Distrik Huluan yang terdiri dari lima Resort : Saribudolok, Tiga Runggu, Haranggaol, Saranpadang dan Sipituhuta.
Sejak menjadi pendeta, HM Girsang gemar belajar hal-hal baru khususnya manajemen dan kegiatan oikumene. Di sela-sela pelayanannya di GKPS, Pimpinan Pusat gereja yang berpusat di Pematangsiantar itu, pernah menugaskannya belajar manajemen gereja dan masyarakat dalam bentuk orientasi di kantor DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia), Jakarta dan VEM, Wuppertal, Jerman dalam kurun waktu 1969-1971.
Pengalamannya dalam struktur organisasi GKPS, kepiawiannya dalam menyelesaian berbagai masalah, serta keahlian manajemen gereja yang dimilikinya membuatnya dikenal luas di kalangan pendeta dan tokoh-tokoh GKPS. Dia terlibat dalam penyelesaian berbagai masalah di dalam GKPS sendiri serta penyusunan Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS yang disyahkan oleh Synode Bolon GKPS 1974.
Menjadi Sekjen GKPS
Meninggalnya Ephorus Pendeta SP Dasuha pada 1977, disusul Synode Bolon Istimewa dengan terpilihnya Armencius Munthe sebagai Ephorus GKPS—saat itu sebagai Sekjen GKPS, menyebabkan jabatan Sekjen lowong. Synode Bolon Istimewa GKPS 1977 kemudian memilih HM Girsang menjadi Sekjen GKPS.
Saat menjabat Sekjen GKPS, Pendeta HM Girsang dikenal sebagai administrator dan bendaharawan yang handal. Semasa menjadi Sekjen (1977-1990) dan bertanggungjawab dalam bidang Administrasi dan keuangan GKPS, dia dinilai berhasil membawa perbaikan performansi administrasi dan keuangan GKPS dan mampu melakukan peningkatan kesejahteraan pelayan (pendeta, penginjil dan pegawai GKPS) dan perbaikan sistem keuangan sampai ke level jemaat.
Selain mengelola keuangan dan administrasi gereja, dia juga ikut membidangi penyusunan dan penerapan GBKU (Garis-garis Besar Kebijakan Umum) GKPS, salah satu penugasan Synode Bolon GKPS 1982, sebagai pedoman menetapkan program-program kegiatan di GKPS.
Saat itu belum satupun gereja-gereja menerapkan GBKU dalam merumuskan program-programnya. Baru kemudian, beberapa tahun sesudahnya gereja-gereja lain mengikuti langkah GKPS. Tak heran, kalau saat itu GKPS menjadi laboratorium studi perbandingan bagi gereja-gereja tetangga di dalam maupun di luar negeri.
Duet kepemimpinannya dengan Armencius Munthe dikenal sebagai duet yang serasi. ”Saya dan Pendeta A. Munthe memang berbeda. Namun, perbedaan itu menjadi kekayaan bagi kepemimpinan kami berdua selama bertugas sebagai Pimpinan Pusat GKPS selama 13 tahun berturut-turut. Banyak yang menilai kami sebagai duet yang serasi,”ujar HM Girsang dalam buku ini.
Semasa aktif sebagai pendeta maupun salah seorang Pimpinan Pusat GKPS, HM Girsang memberikan perhatian besar dalam kegiatan oikumene baik di tingkat regional, nasional maupun internasional.
Aktif di Berbagai Organisasi Oikumene
Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun, pria yang menguasai bahasa Jerman dan Inggeris secara aktif ini aktif di berbagai organisasi oikumene baik di tingkat regional,nasional maupun internasional, seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Sumut, PGI, dan menghadiri berbagai sidang internasional seperti Lutheran World Federation (LWF), Christian Conference of Asia (CCA), World Council of Churches (WCC) dan VEM.
Kegiatannya di oikumene diawali saat menjadi Pendeta GKPS Resort di Kabanjahe dan Praeses Distrik Huluan. Ketika itu, Pendeta HM Girsang menjadi utusan GKPS saat pembentukan DGI Wilayah Sumatera di gereja GBKP, Kabanjahe pada 1965. Sejak itu, namanya tak pernah lepas dari lembaga itu. Bahkan kemudian dia menjabat sebagai salah seorang Ketua lembaga itu (1973-1977), dan kemudian menjadi Ketua Umum PGI Wilayah Sumatera Utara selama dua periode (1981-1990).
Berbagai masalah penting ditangani oleh PGI-W Sumut, diantaranya penyediaan kebutuhan pendeta mahasiswa dari gereja-gereja anggota, Regional Development Center (RDC), pelaksanaan Natal Oikumene, Paskah Oikumene, Mimbar Agama di TVRI Medan, masalah kepemilikian tanah dan kantor PGIW di Jalan Gatot Subroto, Medan, penyelesaian masalah BNKP dan ONKP dan lain-lain.
Selain itu, HM adalah pemrakarsa pembentukan Sekretariat Bersama gereja-gereja partner VEM di Sumatera Utara, Februari 1979. Sejak 1996 nama lembaga ini kemudian berubah menjadi Sekretaris Sekber VEM dengan menghilangkan kata Partner, karena sejak itu gereja-gereja di Sumatera Utara tidak lagi menjadi partner, tetapi sudah menjadi anggota VEM.
Sewaktu menjadi Sekretaris Sekber Partner VEM dia turut memprakarsai pembentukan Badan Pengembangan GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai). Walaupun tidak lagi menjadi Sekretaris Sekber VEM, dia masih diminta menjadi konsultan pada badan tersebut.
Partisipasinya dalam kegiatan oikumene di level nasional dimulai ketika dia pertama kali mengikuti Sidang Raya PGI di Salatiga pada 1976. Sejak itu, keterlibatan HM Girsang tak pernah absen di lembaga itu. Sejak menjabat Sekjen GKPS pada 1977, dia kemudian terpilih menjadi anggota Majelis Pekerja Lengkap DGI Utusan GKPS (1978-1990), Anggota Majelis Ketua pada Sidang Raya PGI di Ambon, 1984.
Menurutnya, sidang di Ambon ini mempunyai arti penting, karena saat itu terjadi perubahan nama DGI menjadi PGI, ditetapkannya Ketua Umum menjadi pejabat penuh waktu, ditetapkannya 5 dokumen keesaan gereja dan dicantumkannya Pancasila dalam Bab tersendiri di Tata Dasar PGI merespon UU Kemasyarakatan yang mewajibkan semua organisasi kemasyarakatan di Indonesia mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa mencantumkan Pancasila sebagai azas tunggal, maka menurut ketentuan undang-undang organisasi kemasyarakatan itu dapat dibekukan dan atau dibubarkan oleh pemerintah.
Pendeta HM Girsang menjadi Ketua Panitia Tata Dasar PGI di Sidang Raya PGI 1989. Selain itu sejak 1989, dia menjadi anggota Komisi Parpem PGI sampai 1992 dan kemudian mengundurkan diri, karena berangkat ke Jerman, setelah VEM menetapkan dirinya menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di lembaga yang berkantor pusat di Wuppertal, Jerman.
Dalam kegiatan oikumene di level internasional, Pendeta HM Girsang turut berpastisipasi dalam sidang-sidang sebagai utusan GKPS. Sidang-sidang Badan Oikumene Internasional yang dihadirinya antara lain yang diselenggarakan oleh LWF (Lutheran World Federation), CCA (Christian Conference of Asia), WWC (World Council of Churches) dan lain-lain. Pernah menjadi Sekretaris Panitia Penyelenggara Sidang Raya LWF Wilayah Asia (1983)
Pendeta HM Girsang memahami pergumulan gereja-gereja dari berbagai negara dengan kehadirannya pada pertemuan-petemuan LWF di Manila (1979), di Hong Kong (1981), di Samosir (1983), Penang, Malaysia (1989), tamu gereja LCA Australia selama 3 Bulan (1985), Pertemuan LWF Church and Civil Society di Tokyo, Jepang (1985). Sidang Raya CCA di Bengalor, India (1981), Seoul, Korea Selatan (1984), Konsultasi gereja-gereja pendukung dan mitra VEM di Bethel (1978) dan Mulhein (1988) keduanya di Jerman. Sidang Raya LWF di Curitiba, Brazil (1990). Sidang WWC di Canberra (1991).
Pengalamannya sebagai Sekjen GKPS, pengurus PGI dan Sekber VEM beberapa tahun sebelumnya, ternyata mendapat perhatian dari lembaga oikumene internasional. Tak heran, dua tahun sesudah melepas jabatannya sebagai Sekjen GKPS pada 1990—di tengah-tengah masa tugasnya sebagai pendeta GKPS Resort Medan Barat, VEM sempat hingga dua kali memohon dirinya untuk memegang jabatan eksekutif di lembaga itu.
Permintaan pertama untuk mengisi jabatan Sekretaris Eksekutif Urusan Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) ditolaknya karena merasa dirinya tidak sesuai dengan tugas itu. Kemudian VEM menawarkan jabatan Sekretaris Eksekutif UIM Committee. Setelah mempertimbangkan beberapa bulan, dia memenuhi permintaan kedua dari lembaga yang berpusat di Wuppertal, Jerman itu.
Persetujuan keluarga lebih merupakan alasan baginya untuk menerima jabatan baru tersebut. Bak gayung bersambut, keluarganya menyetujui dirinya memenuhi permohonan itu dan Pimpinan Pusat GKPS membebaskannya dari tugas-tugasnya di GKPS ketika itu (yakni sebagai Pendeta GKPS Resort Medan Barat, Ketua Majelis Pendeta GKPS dan Anggota Majelis Gereja GKPS). Pergantian HM Girsang dalam jabatannya kepada penggantinya dilaksanakan sebelum keberangkatannya ke Jerman, Februari 1993.
Pria yang menikah dengan Regina Silalahi pada 6 September 1963 ini, sejak 1993 diangkat menjadi Sekretaris Eksekutif UIM Committee, selama 3,5 tahun menggantikan Pendeta P Sandner (Direktur VEM merangkap Sekretaris Eksekutif UIM Commitee). Selama kurun waktu tersebut, kakek dari dua putri dan dua putra ini bertugas mempersiapkan Internasionalisasi VEM.
Sejak 1996, selama 5,5 tahun, ayah dari Ermie Junita, John Haris Pardomuan, Elizabeth Septianur dan Irene Dermawati ini, diangkat menjadi Sekretaris Eksekutif VEM untuk gereja-gereja di Asia Bagian Barat. VEM adalah persekutuan dari beberapa gereja yang anggotanya terdiri dari tiga benua yakni Asia, Afrika dan Eropah.
Selama bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif VEM untuk Asia Barat, dia juga menjadi salah seorang dari pengurus Eukumindo (Perhimpunan Gereja-gereja Eropah yang bermitra dengan PGI dan STT Jakarta. Dialah orang Non-Eropah pertama menjadi pengurus Eukumindo.
Perlu dicatat, Pendeta HM Girsang menjadi pendeta Asia pertama menjabat Sekretaris Eksekutif VEM, yang berpusat di Wuppertal, Jerman. Sebelumnya, sejak 1828, lembaga itu selalu dipimpin oleh orang Jerman. Dr Kakulo Molo, tokoh gereja dari Zaire (Kongo sekarang), bersama dengan HM Girsang merupakan Sekretaris VEM pertama yang bukan orang Jerman. Selama 9 tahun bertugas mula-mula menginternasionalisasi VEM dan kemudian membina hubungan membina hubungan bilateral antara VEM dengan gereja-gereja anggota di Asia Bagian Barat. Sejak internasionalisasi VEM, selain jabatan eksekutif, dan staf mulai dipegang oleh orang non-Jerman. Mertua dari Indra, Susanty dan Felix ini mengakhiri tugasnya di VEM dan kembali ke Indonesia pada 2002.
Pendeta HM Girsang adalah orang yang tegas dan kokoh dalam pendirian. Dia tidak pernah keluar dari ketentuan peraturan yang diyakininya benar. ”Lebih baik kita dicaci-maki orang karena menjalankan peraturan dari pada berusaha menyenangkan semua orang, termasuk mereka yang tidak mau tahu dengan peraturan, dengan ikut berbuat yang bertentangan dengan peraturan,” katanya. .
Dia mengakui bahwa kemampuan manusia membuat peraturan adalah terbatas. Tidak mungkin manusia mampu menciptakan peraturan yang sempurna. ”Gereja yang hidup adalah gereja yang memiliki peraturan, tetapi hidup mati gereja tidak ditentukan oleh sesuatu peraturan. Sebaik-baiknya satu peraturan, hanya bisa menghasilkan hal yang baik apabila orang yang melaksanakan peraturan itu adalah orang yang beritikad baik.
Karena, tidak ada peraturan yang sempurna”. Dia yakin, The man behind the gun sangat menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi.
Sejak kembali ke Indonesia, mereka bertempat tinggal di Medan. Walaupun telah mengakhiri tugasnya di VEM, karena terjadinya kelowongan Regional Coordinator wilayah Asia yang berkedudukan di Medan, dia masih diminta untuk menjadi care taker—pelaksana tugas. HM hanya bersedia menjalaninya selama 3 bulan. Selama kurun waktu itu, selain melaksanakan tugas utamanya, dia mendaftarkan VEM di lembaga pemerintahan terkait dan membuka rekening di bank. Memindahkan kantor VEM ke kantor PGI-W. Selain itu, dia masih tetap dipercaya sebagai salah seorang penanda tangan cek VEM sampai 2005.
Pendeta HM Girsang kini aktif menyampaikan khotbah di GKPS dan gereja-gereja lain, menjadi peninjau pada sidang-sidang gereja, diundang menyampaikan ceramah di berbagai kesempatan. Dia juga ikut menjadi Panitia Peninjauan Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS sebagai pelaksanaan Keputusan Synode Bolon GKPS 2005. Dia masih mampu menyumbangkan pemikiran, dan pengalamannya selama ini di GKPS dan organisasi Oikumene yang digelutinya, baik di tingkat wilayah, Nasional, dan Internasional, VEM khususnya.
Buku Otobiografinya setebal 380 halaman berjudul ”Hanya Karena Kasih Kristus” mengisahkan tentang pengalaman hidupnya yang begitu kaya dalam menangani persoalan gereja dan manajemen gereja. Melalui buku yang diluncurkan di Medan, 26 Desember 2009 itu, pembaca mendapat pencerahan dalam mengelola gereja agar lebih mampu mewujudkan tritugas panggilan gereja ke depan.
Sumber : BIOGRAFI : Menulis Fakta Memberi Makna: HM Girsang: Pendeta Asia Pertama Sekretaris VEM:
'via Blog this'
Oleh : Jannerson Girsang
Jannerson Girsang |
0 komentar:
Posting Komentar
No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -