Pdt. Djaulung Wismar Saragih Sumbayak |
Pada saat pergantian Raja di Kerajaan Raya setelah meninggalnya Tuan Rondahaim Saragih Garingging di tahun 1891, pecah perang saudara akibat ketidakcocokan pendapat mengenai siapa yang layak diangkat sebagai raja selanjutnya. Perang saudara ini mengakibatkan penderitaan mendalam bagi rakyat Simalungun di Kerajaan Raya, termasuk pada keluarga Jaulung Saragih. Penderitaan ini mendorongnya untuk mengangkat harkat keluarga sehingga menjadi pelopor kebangunan Simalungun.
Kedatangan penginjil RMG (Rheinische Missions-Gesselschaft - kelompok penginjil dari Jerman) ke daerah Simalungun, terutama Pematang Raya yang dipimpin oleh Pdt. August Theis untuk memperkenalkan Alkitab dan ajaran Kristen pada Djaulung muda.
PENDETA AUGUST THEIS - PENGINJIL RMG DI SIMALUNGUN |
Semangatnya untuk maju mendorongnya untuk masuk sekolah Zending di Pematang Raya setelah ia dibaptis pada tanggal 11 September 1910. Setelah dibaptis inilah ia menambahkan nama Wismar ke dalam namanya.
Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Kweekschool (sekolah guru) di Narumonda, Tapanuli, selama tahun 1911-1915. Setelah lulus ia sempat mengajar selama 6 tahun. Namun pengangkatannya sebagai pegawai negri pada tahun 1921 menghentikan kariernya sebagai Guru. Pada tahun itu ia mulai menjabat sebagai Pangulu Balei, satu jabatan Sekretaris Wilayah pada pemerintahan Kerajaan Panei.
Saat terbuka kesempatan untuk menjadi Pendeta di tahun 1927, ia meninggalkan profesinya sebagai pegawai negri dan mendaftarkan diri. Ia diterima di sekolah pendeta HKBP di Sipoholon, Tapanuli (1927-1929). Selulusnya dari sekolah pendeta ini ia ditahbiskan di Simanungkalit pada tanggal 15 Desember 1929 menjadi seorang Pendeta HKBP,[8] yang menjadikannya sebagai pendeta pertama dari Simalungun.
Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Kweekschool (sekolah guru) di Narumonda, Tapanuli, selama tahun 1911-1915. Setelah lulus ia sempat mengajar selama 6 tahun. Namun pengangkatannya sebagai pegawai negri pada tahun 1921 menghentikan kariernya sebagai Guru. Pada tahun itu ia mulai menjabat sebagai Pangulu Balei, satu jabatan Sekretaris Wilayah pada pemerintahan Kerajaan Panei.
Saat terbuka kesempatan untuk menjadi Pendeta di tahun 1927, ia meninggalkan profesinya sebagai pegawai negri dan mendaftarkan diri. Ia diterima di sekolah pendeta HKBP di Sipoholon, Tapanuli (1927-1929). Selulusnya dari sekolah pendeta ini ia ditahbiskan di Simanungkalit pada tanggal 15 Desember 1929 menjadi seorang Pendeta HKBP,[8] yang menjadikannya sebagai pendeta pertama dari Simalungun.
Proses pelayanan penginjilan yang dilakukan RMG dengan menggunakan bahasa pengantar Toba dengan anggapan bahwa suku Simalungun merupakan sub-etnis dari suku Toba mengakibatkan suku Simalungun semakin termarginalisasi. Hal ini melahirkan semangat oposisi dari Dj. Wismar Saragih dan rekan-rekannya yang merasa bahwa Suku Simalungun telah terabaikan oleh RMG. Semangat itu termanifestasikan dalam "Sinalsal" (sebuah majalah periodik yang diterbitkan pada periode 1928-1940) dan buku-buku yang dikarangnya.
Sadar akan perlunya memajukan dan melestarikan budaya Simalungun, J. Wismar Saragih telah merintis penyusunan Kamus Simalungun pada tahun 1916. Namun usaha itu menemui halangan saat Kamus tersebut selesai dikerjakan pada tahun 1918 tapi ditolak penerbitannya oleh Pemerintahan di kala itu. Di kemudian hari Kamus ini berhasil diterbitkan pada tahun 1936 dengan judul Partingkian ni Hata Simalungun.
Pada tahun 1917 Dj. Wismar Saragih mulai mengusahakan penggunaan buku pelajaran dengan bahasa Simalungun di sekolah-sekolah untuk menggantikan buku yang ada yang menggunakan bahasa pengantar Toba. Hal ini dilakukannya tanpa seizin Pendeta Muller dari RMG di Pematang Siantar (sesuai rekomendasi inspektur pendidikan di Medan) karena pengalamannya dengan RMG yang memarginalisasi suku Simalungun.
Upaya Dj. Wismar Saragih dalam memajukan unsur "hasimalungunan" (ke-Simalungunan) secara konkrit dimulai saat ia masih mengikuti sekolah pendeta di Sipoholon, dengan menerbitkan buku Podah Pasal Marhorja (Nasihat tentang Pekerjaan-1929), diikuti oleh serangkaian buku dalam bahasa Simalungun, yaitu: - Panggomgomion (Pemerintahan, 1929),
- Pitoeah Banggal (Sexuele Leven) (Kitab Tuntunan Kehidupan Seksual, 1938),
- Partingkian ni Hata Simaloengoen (Kamus Bahasa Simalungun, 1936), dan
Berbagai buku-buku pelajaran untuk Sekolah Rakyat seperti Sitoloe Saodoran dan Rondang Ragiragian.
Keinginannya untuk memajukan rakyat Simalungun juga mendorongnya untuk berperan aktif mengajar masyarakat Simalungun agar mau bersekolah. Ia juga telah merintis sebuah sekolah sore khusus untuk puteri, suatu hal yang tidak biasa saat itu di bagian daerah manapun di Nusantara. Selain itu ia juga mendorong peningkatan minat baca orang Simalungun dengan mendirikan taman bacaan "Dos ni Riah" dan perpustakaan "Parboekoean ni Pan Djaporman" di Pamatang Raya (1937). Dj. Wismar Saragih juga mewujudkan kepeduliannya pada kelestarian budaya Simalungun dengan mendirikan Roemah Poesaka Simaloengoen (Museum Simalungun) di tahun 1940 dan sanggar kesenian "Parsora na Laingan" pada tahun 1937.
Usahanya membebaskan bangsa Simalungun melalui kekristenan terutama dilakukan melalui penterjemahan teks-teks Alkitab ke dalam Bahasa Simalungun, hal mana menyebabkan ia dijuluki "Een Simaloengoense Luther" (Luther dari Simalungun). Dj. Wismar Saragih dan beberapa teman-temannya menganggap bahwa laju penginjilan RMG di kalangan Suku Simalungun terhambat karena tidak digunakannya bahasa Simalungun sebagai media pengantar. Karenanya pada peringatan 25 tahun sampainya Injil di Simalungun (2 September 1928) Dj. Wismar Saragih turut merintis pendirian sebuah lembaga bahasa Simalungun bernama "Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen."
Pada tanggal 13 Oktober 1928 diadakan pertemuan di rumah Djaoedin Saragih di Pematang Raya yang dihadiri oleh 14 tokoh-tokoh Kristen Simalungun. Dalam pertemuan inilah disepakati pendirian badan yang memiliki tujuan untuk melestarikan dan memberdayakan bahasa Simalungun dengan nama di atas.
Selain melalui Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, Wismar juga turut aktif mendukung berbagai gerakan yang memajukan suku Simalungun seperti Kongsi Laita dan lain-lain.
Usahanya membebaskan bangsa Simalungun melalui kekristenan terutama dilakukan melalui penterjemahan teks-teks Alkitab ke dalam Bahasa Simalungun, hal mana menyebabkan ia dijuluki "Een Simaloengoense Luther" (Luther dari Simalungun). Dj. Wismar Saragih dan beberapa teman-temannya menganggap bahwa laju penginjilan RMG di kalangan Suku Simalungun terhambat karena tidak digunakannya bahasa Simalungun sebagai media pengantar. Karenanya pada peringatan 25 tahun sampainya Injil di Simalungun (2 September 1928) Dj. Wismar Saragih turut merintis pendirian sebuah lembaga bahasa Simalungun bernama "Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen."
Pada tanggal 13 Oktober 1928 diadakan pertemuan di rumah Djaoedin Saragih di Pematang Raya yang dihadiri oleh 14 tokoh-tokoh Kristen Simalungun. Dalam pertemuan inilah disepakati pendirian badan yang memiliki tujuan untuk melestarikan dan memberdayakan bahasa Simalungun dengan nama di atas.
Selain melalui Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, Wismar juga turut aktif mendukung berbagai gerakan yang memajukan suku Simalungun seperti Kongsi Laita dan lain-lain.
Walaupun surat itu ditolak, namun keberatan yang secara berkelanjutan diajukan oleh komunitas Kristen-Simalungun tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika Sinode am HKBP yang diadakan pada tanggal 10-11 Juli 1940 di Pearaja membicarakan keberatan mereka dan memutuskan agar Kerkbestuur HKBP membicarakan hal tersebut dengan jemaat Simalungun. Pembicaraan tersebut kemudian diadakan di Raya, Saribudolog dan Nagoridolog pada tanggal 26 September 1940 dan memutuskan agar komunitas Simalungun diberi satu distrik tersendiri bernama Distrik Simalungun dengan wakil orang Simalungun di sinode HKBP.
Dj. Wismar Saragih kemudian menjadi salah seorang peserta rapat yang diadakan pada tanggal 5 Oktober 1952 yang bertujuan agar Jemaat-jemaat HKBP distrik Simalungun berdiri sendiri dan terpisah dari HKBP, dan membentuk HKBPS serta pengurus-pengurus dan majelis-majelis gerejanya. Pemisahan ini dilakukan secara sepihak oleh HKBP distrik Simalungun, dan baru diakui oleh wakil-wakil HKBP pada rapat bersama antara delegasi HKBP dan Pengurus Harian HKBP Simalungun (HKBPS) tentang pandjaeon (pemisahan) HKBP Simalungun di Pematang Siantar, 21-22 Januari 1953 yang keputusannya ditandatangani pada tanggal 22 Januari 1953. Pada kepengurusan HKBPS, Dj. Wismar Saragih menduduki jabatan Wakil Ephorus, yang merupakan jabatan tertinggi di kepengurusan pusat HKBPS dan diwakili oleh seorang Sekretaris Jendral. Saat itu HKBPS tidak memiliki Ephorus sebagai upaya untuk tetap memelihara hubungan baik dengan HKBP. HKBPS merupakan rintisan menuju kemandirian penuh jemaat-jemaat di Simalungun di dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun.
Berikut sebagian dari karya-karya Pdt. Djaulung Wismar Saragih:
Segala masukan dan koreksi sangat kami hargai untuk menambah dan memperbaiki setiap artikel dalam blog ini, dengan mengirimkan pendapat anda semua ke page/halaman "KIRIM ARTIKEL" yang terdapat pada header page blog ini. Tanpa mengurangi hormat, kami harapkan tulisan pendapat anda tentunya dengan data dan fakta serta sumber berita yang akurat sehingga apa yang menjadi koreksi bisa bermanfaat untuk menambah "celah-celah" yang hilang dari sejarah SIMALUNGUN pada umumnya, dan sejarah MARGA/BORU GIRSANG pada khususnya.
Terimakasih GIRSANG VISION
HABONARON DO BONA
Dj. Wismar Saragih kemudian menjadi salah seorang peserta rapat yang diadakan pada tanggal 5 Oktober 1952 yang bertujuan agar Jemaat-jemaat HKBP distrik Simalungun berdiri sendiri dan terpisah dari HKBP, dan membentuk HKBPS serta pengurus-pengurus dan majelis-majelis gerejanya. Pemisahan ini dilakukan secara sepihak oleh HKBP distrik Simalungun, dan baru diakui oleh wakil-wakil HKBP pada rapat bersama antara delegasi HKBP dan Pengurus Harian HKBP Simalungun (HKBPS) tentang pandjaeon (pemisahan) HKBP Simalungun di Pematang Siantar, 21-22 Januari 1953 yang keputusannya ditandatangani pada tanggal 22 Januari 1953. Pada kepengurusan HKBPS, Dj. Wismar Saragih menduduki jabatan Wakil Ephorus, yang merupakan jabatan tertinggi di kepengurusan pusat HKBPS dan diwakili oleh seorang Sekretaris Jendral. Saat itu HKBPS tidak memiliki Ephorus sebagai upaya untuk tetap memelihara hubungan baik dengan HKBP. HKBPS merupakan rintisan menuju kemandirian penuh jemaat-jemaat di Simalungun di dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun.
Pelestarian dan pengembangan adat istiadat Simalungun juga mendapat perhatian khusus J. Wismar Saragih. Salah satunya adalah idenya yang menganjurkan penggunaan pakaian adat Simalungun dalam kegiatan ibadah di Gereja, sesuatu yang mengundang kontroversi mengingat para penginjil RMG menganjurkan penanggalan tutup kepala, termasuk Gotong dan Suri-suri (tutup kepala khas adat Simalungun), di dalam masa ibadah di Gereja.
J. Wismar Saragih juga mendirikan lembaga kesenian yang bertujuan untuk memelihara kesenian musik tradisional dan mengembangkannya sebagai lagu Gereja.
Bersama-sama dengan tokoh Simalungun lainnya seperti Haji Ulakma Sinaga dan Rajamin Purba (Bupati Simalungun saat itu) ia kemudian mendirikan sebuah wadah pengetua-pengetua adat Simalungun yang diberi nama Partuha Maujana Simalungun.
J. Wismar Saragih juga mendirikan lembaga kesenian yang bertujuan untuk memelihara kesenian musik tradisional dan mengembangkannya sebagai lagu Gereja.
Bersama-sama dengan tokoh Simalungun lainnya seperti Haji Ulakma Sinaga dan Rajamin Purba (Bupati Simalungun saat itu) ia kemudian mendirikan sebuah wadah pengetua-pengetua adat Simalungun yang diberi nama Partuha Maujana Simalungun.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, J. Wismar Saragih turut berperan serta aktif dalam memimpin rakyat untuk mendukung kemerdekaan. Hal ini dilakukannya secara efektif melalui mimbar gereja maupun pidato umum, seperti yang dilakukannya di Lapangan Sepak Bola Pematang Raya pada tanggal 23 Desember 1945. J. Wismar Saragih juga terpilih sebagai ketua saat dibentuknya Komite Nasional Kecamatan dan kemudian menjadi perutusan ke tingkat Kabupaten.
- Tadah ni tondujta: in ma hata ni Naibata rupeita ari-ari (ayat marhasoman hatorangan), Tandjung Pengharapan, 1967.
- Memorial peringatan pendeta J. Wismar Saragih: marsinalsal, 240 halaman, BPK Gunung Mulia, 1977.
- Ambilan na madear pasai Toehan Jesoes Kristoes: songon sinoeratkon ni Si Loekas
- Loopbaan J. Wismar Saragih, 141 halaman, British and Foreign Bible Society, 1939.
- Portama i tongah djaboe, 59 halaman, Pan Djaporman, 1942.
- Pasal panggomgomion (pamerentahan), 48 halaman, Comite "Na Ra Marpodah", 1929.
- Barita ni toean Rondahaim na ginoran ni halak toean raja na Mabadjan, 79 halaman.
- Siluah hun pulou Djawa (oleh-oleh dari Djawa), 38 halaman, Adventus, 1950.
- Roehoet manoeratkon hata Batak Simaloengoen, marhiteihon soerat Boelanda (soerat Latijn): marondolan bani besluit ni Directeur O & E, 27 April 1920, Issue 14246, 24 halaman, 1934.
- Buei ambilan na binuat humbani buku na pansing padan na basaia, 136 halaman, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), 1957.
- Partingkian ni hata Simaloengoen: Simaloe-ngoen Bataks verklarend woordenboek, 280 halaman, Comite "Na Ra Marpodah Simaloe-ngoen," 1938 (mulai diproduksi oleh Zendingsdrukkerij pada 1936).
- Padan Na Baru, bersama Petrus Purba dan LAI, 403 halaman, LAI, 1978.
- Pardiateihon ma, ise do ia: Goluh pakon pangajarion ni Jesus, bersama Petrus Purba dan LAI, 91 halaman, LAI, 1976.
- Ambilan na madear mangihutkon si Johannes: indjil Johannes, bersama Petrus Purba dan LAI, 63 halaman, LAI, 1971.
Kantor Pusat GKPS di Jalan Pendeta J. Wismar Saragih, Beroperasi sejak 2 Maret 1992. |
Segala masukan dan koreksi sangat kami hargai untuk menambah dan memperbaiki setiap artikel dalam blog ini, dengan mengirimkan pendapat anda semua ke page/halaman "KIRIM ARTIKEL" yang terdapat pada header page blog ini. Tanpa mengurangi hormat, kami harapkan tulisan pendapat anda tentunya dengan data dan fakta serta sumber berita yang akurat sehingga apa yang menjadi koreksi bisa bermanfaat untuk menambah "celah-celah" yang hilang dari sejarah SIMALUNGUN pada umumnya, dan sejarah MARGA/BORU GIRSANG pada khususnya.
Terimakasih GIRSANG VISION
HABONARON DO BONA
0 komentar:
Posting Komentar
No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -