GIRSANG VISION : IDE ARTIKEL DAN DOKUMEN MILIK SAUDARA DORI ALAM GIRSANG.
1. Pembagian dan Aparatur Pemerintahan
Dengan penaklukan Siantar dan Tanah Jawa yang dicantumkan dalam Keputusan Pemerintah 23 Oktober 1889 No. 25 dan 8 Juni 1891 No. 21 (kerajaan-kerajaan lain yang baru mengikuti kemudian), pengaruh pemerintahan Eropa mulai meresap di Simalungun. Tetapi, selama beberapa saat daerah ini masih disebut Tanah Batak yang Merdeka.
Kontrolir Batubara ditugasi untuk mengawasi pemerintahan atas para penguasa pribumi di Tanah Jawa, Siantar, dan Pane, sementara sejak 1904, Raya, Purba, Dolok Silou dan Silimakuta berada di bawah kekuasaan Asisten Residen di Seribudolok.
Pada mulanya kontrolir Batubara hanya terbatas pada melakukan perjalanan ke Tanah Batak yang berada di bawah wewenangnya, untuk menangani persoalan penting yang perlu dibicarakan dan diselesaikan. Dengan tujuan untuk semakin mempererat ikatan, pada tahun 1898 sebuah pesanggerahan dibangun di Perdagangan Tomuan (Bandar). Bangunan ini kemudian dipindah ke Pamatang Bandar. Di sini, pejabat pemerintah tinggal selama beberapa hari untuk mengadakan pembicaraan dengan penguasa Batak. Kadang-kadang mereka juga muncul di Labuhan Ruku. Kemudian, mereka muncul berkali-kali di sana untuk mengambil jatah candu yang diberikan kepada mereka. Candu pada zaman dahulu memberi sebagian besar penghasilan bagi para raja. Para raja membeli bola candu mentah dari pemborong di wilayah pemerintah, dengan harga yang ditetapkan bersama pemerintah dan mereka memiliki hak monopoli untuk menjual eceran kepada penduduk (sejak 1 April 1909 Simalungun dimasukkan ke dalam daerah monopoli candu pemerintah menurut Staadsblad No. 20. Sekarang di Simalungun berlaku monopoli candu).
Dengan keputusan Pemerintah tanggal 12 Desember 1906 No. 22. (Staadsblad No. 531 Afdeeling Simalungun dan Tanah Karo disahkan dengan Saribudolok sebagai tempat kedudukan Asisten Residen). Simalungun menjadi afdeeling tersendiri di bawah Kontrolir. Kontrolir pertama masih tinggal di Perdagangan Tomuan yang menjadi haknya, karena ia menikah di sana. Penggantinya dipindah ke Pematang Siantar pada bulan Juni 1907, ketika hanya ada satu kampung Batak besar (yang letaknya jauh dari semua peradaban) yang tidak bisa disebut sebagai tempat tinggal yang layak bagi seorang pejabat pemerintah. Untuk sementara ia tinggal di pesanggrahan di wilayah Raja. Pada tahun 1908 dibangun sebuah rumah untuknya yang kini digunakan sebagai tempat tinggal kontrolir yang diperbantukan pada Asisten Residen.
Di Seribudolok ditempatkan detasemen militer, tetapi pada bulan juli 1911 pasukan ini ditarik kembali.
Di Seribudolok ditempatkan detasemen militer, tetapi pada bulan juli 1911 pasukan ini ditarik kembali.
https://togapardede.wordpress.com/page/4/ VOC |
Tempat kedudukan kontrolir Tanah Karo (saat itu berfungsi juga sebagai pemegang kuasa sipil) dalam keputusan pemerintah 14 Pebruari 1912 No. 22 dipindahkan dari Seribudolok ke Kabanjahe (Tanah Karo). Pemindahan ini bersamaan dengan pemindahan pusat pemerintahan wilayah itu. Sebelum masuknya perkebunan tembakau, Sumatera Timur merupakan daerah yang tidak berguna dan hanya merupakan bagian dari Riau. Pada tahun 1873 keresidenan Pantai Timur Sumatera dibentuk dengan Bengkalis sebagai kedudukan Residen, karena hubungan dengan para raja pribumi (Siak yang pertama) menjadi agenda utama program pemerintah. Pada tahun 1887 kedudukan ini dipindahkan ke Medan yang saat itu menjadi pusat perkebunan.
Karena Simalungun semakin meningkat peranannya dan Seribudolok merupakan tempat yang sunyi, di mana perkembangan lebih lanjut tidak bisa diharapkan, pada tahun 1912 diputuskan untuk memindahkan asisten residen ke Pematang Siantar,
Karena Simalungun semakin meningkat peranannya dan Seribudolok merupakan tempat yang sunyi, di mana perkembangan lebih lanjut tidak bisa diharapkan, pada tahun 1912 diputuskan untuk memindahkan asisten residen ke Pematang Siantar,
http://simalungunonline.com/page/7 J, TIDEMAN AT SIMALUNGUN DISTRICT |
dan perlahan-lahan kota itu menjadi pusat perkebunan dan pembagian daerah ini ditetapkan kembali. Hal ini dilakukan dengan dikeluarkannya Keputusan Pemerintah tanggal 15 Nopember 1912 No. 4. (Staadsblad No. 560). Kontrolir Simalungun tidak lagi menjadi kepala onderafdeeling melainkan membantu asisten residen yang di samping menjadi kepala afdeeling juga menjadi kepala onderafdeeling di wilayah kedudukannya.
Sejak tanggal 1 Juli 1920 Simalungun menjadi bagian daerah perkebunan Pantai Timur Sumatera. Dalam kaitan ini Tanah Karo tidak disatukan dengan Simalungun karena di wilayah itu tidak terdapat perkebunan yang penting dan orang masih masih memiliki pandangan salah bahwa dewan lokal untuk wilayah perkebunan Sumatera Timur adalah lembaga yang khusus memenuhi kepentingan perkebunan di wilayah ini (Dewan Lokal tidak memiliki tugas lain di daerah perkebunan kecuali menjadi penasehat di wilayah tempat mereka dibentuk).
Seperti telah dijelaskan lebih lanjut pada alinea 3 bab ini, di Simalungun terdapat pemerintahan tidak langsung. Para raja yang dulu merdeka tetap dipertahankan sebagai penguasa dan pejabat pemerintah Eropa yang ditugasi untuk memimpin hanya melakukan pengawasan untuk mengataasi masalah intern di wilayahnya (yang disebut “Landschap”). Pejabat pemerintah yang ditempatkan di sini menjalankan pemerintahan secara langsung yang tidak berada di bawah kekuasaan penguasa tradisional. Untuk bagian tugasnya ini, dia dibantu oleh aparat pemerintah. Dalam kaitannya dengan campur tangannya dengan pemerintah daerah dia memiliki pegawai yang dibebankan pada anggaran daerah.
Pegawai di kantor Asisten Residen di Pematang Siantar terdiri atas seorang komisaris, dua tata usaha dan tiga penulis. Belum lama ini komisaris juga bertindak sebagai juru lelang kelas dua, yang kemudian tugas itu diambil alih sehingga akhirnya seorang juru lelang kelas satu, dengan aparat yang diperlukan harus segera ditempatkan di ibu kota. Perbaikan ini belum memadai; Penyediaan kantor pemerintah menjadi salah satu syarat penting untuk memudahkan pegawai pemerintah menjalankan tugasnya. Keadaan seperti ini banyak terjadi di luar Jawa. Dia dibebani dengan berbagai kewajiban yang menghambat dirinya untuk mencurahkan perhatian pada tugas pemerintahan.
Aparat daerah yang membantu asisten residen terdiri atas dua orang tata usaha yang ditugasi menangani pembukuan kas daerah (anggaran lebih dari f 500.000) dan dengan pekerjaan arsip serta korespondensi. Kantor ini dibangun pada tahun 1912 yang terdiri atas sebuah bangunan kayu yang nampak menarik di suatu daerah seperti Siantar, dengan 6 kamar yang tidak terlalu besar sehingga perlu diperluas. Sayang sekali, masa penghematan yang kini kita hadapi menunda kebutuhan pembangunan kantor yang layak yang telah direncanakan sebelumnya.
Ini merupakan suatu kesalahan besar (sayang sekali bukan hanya muncul di Simalungun) bahwa kantor para kepala pemerintah daerah kurang memiliki perlengkapan yang memadai.Tanggungjawab dilimpahkan kepada mereka yang dianggap bisa melakukan tugas ini dengan baik. Sebuah kantor harus dikelola sehingga orang bisa menyerahkan aktivitas dan korespondensi umum serta administrasi selain tugas pengawasan kepada para pegawainya. Penghematan yang tidak praktis di sini sering mengarah pada akibat yang berbeda dari apa yang diharapkan, karena dinas keuangan tidak memiliki sarana yang memadai. Kurangnya aparat ahli, kurangnya efisiensi, mengarah pada penurunan pendapatan dan kerugian dana daerah, yang memicu bertambahnya peluang untuk melakukan kesalahan yang merugikan pemerintah.
2. Kepolisian
Dalam suatu hubungan yang berkembang pesat, ketika berbagai kelompok penduduk hidup bersama, tuntutan yang diajukan adalah pada pengawasan kepolisian yang semakin tinggi. Perluasan ibukota yang cepat dan kenaikan jumlah kuli kontrak di perkebunan sekitarnya, termasuk persentase besar unsur-unsur yang perlu diawasi, menuntut pengawasan di bidang tugas pemerintahan ini.
Kepolisian Umum
Pada masa lalu kekuatan polisi dengan 12 agen pribumi bisa mempertahankan ketertiban. Kini formasi kepolisian terdiri atas seorang pengawas polisi Eropa, 3 mantri polisi, 6 agen klas-1 dan 16 agen klas-2 di samping 5 reserse. Sebelum personil ini membantu pejabat yang memerintah, bantuan harus dicari yang berasal dari kerjasama penduduk sendiri sehingga suatu korps penjaga malam dapat dibentuk, yang digaji dari iuran sukarela warga. Namun, saat itu muncul keberatan dari berbagai pihak sehingga korps ini dihapuskan pada tahun 1917. Oleh karena itu, meskipun polisi bukan termasuk tugas pemerintah daerah, 12 opas polisi atas tanggungan anggaran daerah diangkat. Selain itu, beberapa perkebunan mengangkat beberapa agen polisi atas dasar ketentuan dalam Lembaran Negara 1896 nomer 104 (lihat juga Lembaran Negara 1903 nomer 427, 1907 nomer 530 dan 1910 nomer 269). Namun, pengawasan polisi tetap tidak memadai. Formasi yang ada sekarang membawa perbaikan, tetapi masih perlu diangkat segera segera beberapa agen kepala, sementara pengangkatan polisi lapangan yang diusulkan harus dianggap sangat mendesak.
Polisi Bersenjata
Kekuatan polisi bersenjata kini cukup memadai. Jika pada tahun 1911 formasinya terdiri atas 2 kopral dan 12 personil, melalui tindakan darurat, ditambah dengan 8 orang, yang pada tahun 1917 formasi ini menampung 50 tenaga, sementara pada tahun 1921 kekuatan yang ditempatkan di Simalungun terdiri atas 95 orang (tidak termasuk kadet). Pasukan utama ditempatkan dalam tangsi yang dibangun pada tahun 1919.
Sejak bulan 0ktober 1921 komandan wilayah yang sampai sekarang berkedudukan di Tebing tinggi, ditempatkan di Pematang Siantar sementara seorang komandan detasemen Eropa ditugasi untuk memimpin tenaga yang ada setiap hari. Ada pos-pos polisi di Dolok Merangir, Perdagangan, Bukit Maraja, Balembengan di Pematang Tanah Jawa, Bah Kasindir (jalan Toba) dan Simpang Raya yang masing-masing berkekuatan 5 orang di bawah pimpinan seorang kopral. Jelas, tindakan preventif dari kesatuan polisi ini sangat berguna dan ketika mereka diperlukan dalam tindakan darurat tertentu terbukti menjadi sarana tegas untuk mempertahankan atau memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya.
3. Penguasa-Penguasa Pribumi
Penduduk Simalungun masih berada di bawah kekuasaan tradisional. Para raja lama dipertahankan ketika pemerintah Belanda mengambil alih persoalan Simalungun. Secara resmi mereka disebut penguasa otonom. Tetapi sejak pemerintah Belanda mengajukan tuntutan, kekuasaan penguasa otonom ini hanya merupakan bayang-bayang kekuasaan raja lama. Hanya gelar kerajaan yang tetap diberikan kepada mereka. Semua raja Batak di Simalungun menandatangani Plakat Pendek yang disetujui dalam Keputusan Pemerintah tanggal 27 Desember 1914 No. 14.
Di Siantar, Tanah Jawa, Pane dan Purba muncul seorang penguasa otonom lain; di Siantar penguasa otonom yang ada sekarang menandatangani Plakat Pendek pada tahun 1916 (dimuat dalam Keputusan Pemerintah 11 Oktober tahun itu No. 49).
Sejak tanggal 1 Juli 1920 Simalungun menjadi bagian daerah perkebunan Pantai Timur Sumatera. Dalam kaitan ini Tanah Karo tidak disatukan dengan Simalungun karena di wilayah itu tidak terdapat perkebunan yang penting dan orang masih masih memiliki pandangan salah bahwa dewan lokal untuk wilayah perkebunan Sumatera Timur adalah lembaga yang khusus memenuhi kepentingan perkebunan di wilayah ini (Dewan Lokal tidak memiliki tugas lain di daerah perkebunan kecuali menjadi penasehat di wilayah tempat mereka dibentuk).
Seperti telah dijelaskan lebih lanjut pada alinea 3 bab ini, di Simalungun terdapat pemerintahan tidak langsung. Para raja yang dulu merdeka tetap dipertahankan sebagai penguasa dan pejabat pemerintah Eropa yang ditugasi untuk memimpin hanya melakukan pengawasan untuk mengataasi masalah intern di wilayahnya (yang disebut “Landschap”). Pejabat pemerintah yang ditempatkan di sini menjalankan pemerintahan secara langsung yang tidak berada di bawah kekuasaan penguasa tradisional. Untuk bagian tugasnya ini, dia dibantu oleh aparat pemerintah. Dalam kaitannya dengan campur tangannya dengan pemerintah daerah dia memiliki pegawai yang dibebankan pada anggaran daerah.
Pegawai di kantor Asisten Residen di Pematang Siantar terdiri atas seorang komisaris, dua tata usaha dan tiga penulis. Belum lama ini komisaris juga bertindak sebagai juru lelang kelas dua, yang kemudian tugas itu diambil alih sehingga akhirnya seorang juru lelang kelas satu, dengan aparat yang diperlukan harus segera ditempatkan di ibu kota. Perbaikan ini belum memadai; Penyediaan kantor pemerintah menjadi salah satu syarat penting untuk memudahkan pegawai pemerintah menjalankan tugasnya. Keadaan seperti ini banyak terjadi di luar Jawa. Dia dibebani dengan berbagai kewajiban yang menghambat dirinya untuk mencurahkan perhatian pada tugas pemerintahan.
Aparat daerah yang membantu asisten residen terdiri atas dua orang tata usaha yang ditugasi menangani pembukuan kas daerah (anggaran lebih dari f 500.000) dan dengan pekerjaan arsip serta korespondensi. Kantor ini dibangun pada tahun 1912 yang terdiri atas sebuah bangunan kayu yang nampak menarik di suatu daerah seperti Siantar, dengan 6 kamar yang tidak terlalu besar sehingga perlu diperluas. Sayang sekali, masa penghematan yang kini kita hadapi menunda kebutuhan pembangunan kantor yang layak yang telah direncanakan sebelumnya.
Ini merupakan suatu kesalahan besar (sayang sekali bukan hanya muncul di Simalungun) bahwa kantor para kepala pemerintah daerah kurang memiliki perlengkapan yang memadai.Tanggungjawab dilimpahkan kepada mereka yang dianggap bisa melakukan tugas ini dengan baik. Sebuah kantor harus dikelola sehingga orang bisa menyerahkan aktivitas dan korespondensi umum serta administrasi selain tugas pengawasan kepada para pegawainya. Penghematan yang tidak praktis di sini sering mengarah pada akibat yang berbeda dari apa yang diharapkan, karena dinas keuangan tidak memiliki sarana yang memadai. Kurangnya aparat ahli, kurangnya efisiensi, mengarah pada penurunan pendapatan dan kerugian dana daerah, yang memicu bertambahnya peluang untuk melakukan kesalahan yang merugikan pemerintah.
2. Kepolisian
Dalam suatu hubungan yang berkembang pesat, ketika berbagai kelompok penduduk hidup bersama, tuntutan yang diajukan adalah pada pengawasan kepolisian yang semakin tinggi. Perluasan ibukota yang cepat dan kenaikan jumlah kuli kontrak di perkebunan sekitarnya, termasuk persentase besar unsur-unsur yang perlu diawasi, menuntut pengawasan di bidang tugas pemerintahan ini.
Kepolisian Umum
Pada masa lalu kekuatan polisi dengan 12 agen pribumi bisa mempertahankan ketertiban. Kini formasi kepolisian terdiri atas seorang pengawas polisi Eropa, 3 mantri polisi, 6 agen klas-1 dan 16 agen klas-2 di samping 5 reserse. Sebelum personil ini membantu pejabat yang memerintah, bantuan harus dicari yang berasal dari kerjasama penduduk sendiri sehingga suatu korps penjaga malam dapat dibentuk, yang digaji dari iuran sukarela warga. Namun, saat itu muncul keberatan dari berbagai pihak sehingga korps ini dihapuskan pada tahun 1917. Oleh karena itu, meskipun polisi bukan termasuk tugas pemerintah daerah, 12 opas polisi atas tanggungan anggaran daerah diangkat. Selain itu, beberapa perkebunan mengangkat beberapa agen polisi atas dasar ketentuan dalam Lembaran Negara 1896 nomer 104 (lihat juga Lembaran Negara 1903 nomer 427, 1907 nomer 530 dan 1910 nomer 269). Namun, pengawasan polisi tetap tidak memadai. Formasi yang ada sekarang membawa perbaikan, tetapi masih perlu diangkat segera segera beberapa agen kepala, sementara pengangkatan polisi lapangan yang diusulkan harus dianggap sangat mendesak.
Polisi Bersenjata
Kekuatan polisi bersenjata kini cukup memadai. Jika pada tahun 1911 formasinya terdiri atas 2 kopral dan 12 personil, melalui tindakan darurat, ditambah dengan 8 orang, yang pada tahun 1917 formasi ini menampung 50 tenaga, sementara pada tahun 1921 kekuatan yang ditempatkan di Simalungun terdiri atas 95 orang (tidak termasuk kadet). Pasukan utama ditempatkan dalam tangsi yang dibangun pada tahun 1919.
Sejak bulan 0ktober 1921 komandan wilayah yang sampai sekarang berkedudukan di Tebing tinggi, ditempatkan di Pematang Siantar sementara seorang komandan detasemen Eropa ditugasi untuk memimpin tenaga yang ada setiap hari. Ada pos-pos polisi di Dolok Merangir, Perdagangan, Bukit Maraja, Balembengan di Pematang Tanah Jawa, Bah Kasindir (jalan Toba) dan Simpang Raya yang masing-masing berkekuatan 5 orang di bawah pimpinan seorang kopral. Jelas, tindakan preventif dari kesatuan polisi ini sangat berguna dan ketika mereka diperlukan dalam tindakan darurat tertentu terbukti menjadi sarana tegas untuk mempertahankan atau memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya.
3. Penguasa-Penguasa Pribumi
Penduduk Simalungun masih berada di bawah kekuasaan tradisional. Para raja lama dipertahankan ketika pemerintah Belanda mengambil alih persoalan Simalungun. Secara resmi mereka disebut penguasa otonom. Tetapi sejak pemerintah Belanda mengajukan tuntutan, kekuasaan penguasa otonom ini hanya merupakan bayang-bayang kekuasaan raja lama. Hanya gelar kerajaan yang tetap diberikan kepada mereka. Semua raja Batak di Simalungun menandatangani Plakat Pendek yang disetujui dalam Keputusan Pemerintah tanggal 27 Desember 1914 No. 14.
Di Siantar, Tanah Jawa, Pane dan Purba muncul seorang penguasa otonom lain; di Siantar penguasa otonom yang ada sekarang menandatangani Plakat Pendek pada tahun 1916 (dimuat dalam Keputusan Pemerintah 11 Oktober tahun itu No. 49).
http://tondangmargana.blogspot.com/2010_07_01_archive.html RAJA-RAJA SIMALUNGUN (1930) |
Penguasa pribumi Tanah Jawa yang ada sekarang disumpah pada tahun 1921, sementara di Pane dan Purba para pejabat penguasa pribumi tampil setelah kematian raja lama. Penguasa di Purba selama kehidupan raja terakhir ditugasi untuk menjalankan pemerintahan. Di Silimakuta masih dijumpai penguasa pribumi dengan dua pimpinan yang berasal dari Tanah Karo, tetapi dengan meninggalnya salah satu pejabatnya (Pangasami Tuan Situri-turi) pada tahun 1921, tinggal yang masih hidup Tuan Nagasaribu yang tetap bertahan sebagai penguasa dan belum ada pengganti yang ditunjuk untuk menggantikan almarhum. Putranya hanya diangkat sebagai “parbapaan” dan anggota Kerapatan Urung di Silimakuta.
Kaum bangsawan juga ikut menandatangani Pelakat Pendek pertama, tetapi penguasa pribumi yang baru tampil dalam pengakuannya hanya memperbaharui pernyataan, yang tidak ikut ditandatangani oleh para bangsawan. Para bangsawan yang pertama sekali muncul, yang menerima jabatan dari mereka yang dulu ikut menandatangani Plakat Pendek, tidak menegaskan kedudukannya dalam pengangkatan ini. Dengan menerima pengangkatan itu mereka dianggap menyetujuinya.
Perkembangan para penguasa pribumi di Simalungun perlu diperhatikan. Menurut pendapat pemerintah mereka belum siap menjalankan tugasnya. Ternyata, kini tidak ada urusan yang diserahkan kepada mereka. Pandangan lama bahwa daerah dan penduduk diperuntukkan bagi raja dan keuangan negara merupakan masalah perdata bagi istana dengan pembentukan kas daerah tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian para raja lama ini tidak lagi menjadi penguasa yang bisa mengikuti garis kebijakan pemerintah Belanda. Mereka bisa mendapat lingkungan kerja bila keturunan berikutnya semakin berkembang, di mana diusahakan dengan membangun sebuah asrama yang menampung para putra raja dan bangsawan serta mendidik mereka. Sementara itu, mereka mengikuti pendidikan di HIS Pematang Siantar.
Peradilan diserahkan pada para penguasa pribumi. Tentang hal ini dibahas dalam No.2 bab berikutnya. Mereka memiliki posisi lebih tinggi daripada daerah lokal, tetapi di sisi lain mereka jauh lebih tergantung karena berada di bawah keinginan pemerintah, sehingga (meskipun ini dilontarkan tanpa mengorbankan para penguasa tradisional) sering kewajibannya harus ditunjukkan bila perlu dengan pengambilan tindakan. Pasal 3 Plakat Pendek memberikan hak yang sangat luas di bidang ini kepada pemerintah, tetapi Staatsblad tahun 1914 n0. 24, yang mengatur hak dan kewajiban penguasa otonom dalam kontrak panjang memberikan jaminan bahwa peraturan ini belum banyak dimanfaatkan. Staatsblad ini melalui Keputusan Pemerintah 17 April 1917 No. 3 dinyatakan berlaku untuk Sumatera Timur, tetapi untuk daerah-daerah Batak yang kecil waktunya ditentukan kembali oleh kepala daerah, yang akan dibuat aturan yang baru. Untuk Simalungun ditetapkan dengan Keputusan Wilayah tanggal 19 September 1917.
Para penguasa pribumi mendapat hak hukum dan kekuasaan atas penduduk Toba, Mandailing, Jawa dan lain-lain karena perkembangannya yang pesat. Di antara mereka ini menimbulkan ketidakpuasan, tetapi hak ekstra-teritorial seperti yang diterapkan di daerah lain yang berkaitan dengan daerah pribumi tetap bisa dipertahankan. Akan tetapi hak penghapusan wewenang para penguasa pribumi perlu diberikan perhatian yang besar. Kini, sebagai aparat pemerintah, mereka tidak begitu berguna. Mereka tidak dilibatkan baik dalam penyusunan anggaran daerah maupun pelaksanaan pemerintahan yang menjamin dan memajukan kemakmuran daerah, dan hubungannya dengan perkebunan Eropa. Tingkat perkembangannya mencegah pelimpahan beberapa wewenang yang seharusnya diberikan kepada mereka. Pekerjaan mereka sendiri kurang beres, karena tata-hukum peradilan pribumi semuanya masih perlu dibenahi. Sementara, pemerintah Eropa tidak memiliki sarana untuk tampil sepanjang waktu sebagai pengawas sekaligus sebagai guru.
Pemungutan pajak (tanpa menyinggung penafsiran pajak) digabung pada wewenang mereka yang tidak terbatas. Tanpa personalia dari pihak pemerintah Eropa tidak terdapat pemungutan secara teratur; tanpa pemungutan di antara kepemimpinan Eropa terjadi ketimpangan besar. Akan tetapi pekerjaan ini melibatkan pendidikan dan pengajaran pada generasi sekarang.
Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mendidik generasi muda, karena penduduk mendorong pendidikan ini bagi mereka. Situasi ini memberikan dorongan pula untuk mendesak penguasa otonom dan para kepala harus masuk HIS. Sejumlah peserta didik sebanyak 32 orang tinggal di asrama yang dibangun oleh pemerintah untuk menampung mereka yang bersekolah itu. Karena para pemuda mengikuti pendidikannya di daerah tempat asalnya, mereka tetap tinggal di wilayahnya yang tidak terlalu luas. Sebelum mereka mengenyam pendidikan pengaruh peradaban lama tampak dari pakaian dan fisik mereka serta pengetahuan tentang wilayahnya yang sangat mendasar, dan bila terjadi ancaman, mereka kembali ke kondisi lama dalam kehidupan kampung raja dengan mencegah datangnya orang luar yang mengungguli kemampuan mereka. Setelah mereka menyelesaikan pendidikannya kebanyakan di antara mereka tidak merasa asing lagi setelah kembali ke daerahnya. Penduduk tetap menganggap mereka sebagai penguasa, sebagai keturunan raja, dan tetap menghormatinya, sehingga mereka (ketika dikembalikan ke pada posisi semula) menjadi figur yang lebih baik sebagai penguasa otonom daripada kondisi sebelumnya yang dipimpin oleh ayah mereka.
Yang menarik dan hampir tidak bisa dijelaskan adalah bagaimana raja-raja yang kini dikenal sebagai despot bisa dikembalikan menjadi figur biasa hanya dengan satu tindakan, yang masih menyisakan pertanyaan apakah mereka sudah tidak diakui oleh rakyatnya. Di depan para pejabat pemerintah praktis mereka hanya bertindak sebagai kepala daerah. Akan tetapi posisi istimewa mereka terlalu mencolok ketika mereka menjalankan kewajibannya atau kini mereka tidak cocok lagi untuk menduduki fungsi itu, karena ada keinginan dari pemerintah yang hampir tidak mungkin dilakukan, yaitu meminta mereka untuk mengundurkan diri sebagai penguasa otonom.
Juga ketika mereka melakukan tindakan melawan hukum, mereka akan menemui kesulitan yang besar. Aturan-aturan yang ada dalam hukum mereka bagi pemerintah tidak berlaku lagi. Benturan terjadi bila mereka menjalankan sesuatu yang dianggap tidak melanggar hukum berdasarkan prinsip yang mereka anut seperti yang belum lama ini terjadi dengan penguasa tradisional Tanah Jawa yang belum lama meninggal, yang dituduh melakukan pelanggaran. Alasan utama mereka adalah “menjalankan hukum” mereka. Vonis yang berupa pembuangan merupakan wacana saja menurut peradilan Eropa, sementaraa vonis itulah yang diterapkan dalam peradilan pribumi mampu khususnya dalam menangani kasus yang menimpa pada seorang raja.
Belakangan ini masalah lain muncul, yang dalam kondisi saat ini sangat sulit untuk bisa diselesaikan, yaitu tentang persoalan demokratisasi penguasa pribumi. Di Siak para sultan kini memiliki lembaga penasehat hukum. Bagaimana sesuatu bisa dibentuk dalam daerah pribumi yang kecil, tanpa mengacu pada penerapan pandangan demokratisasi yang berlaku? Secara pribadi saya usulkan adanya dewan penasehat tradisional bagi penguasa otonom, untuk mengabaikan para penguasa tradisional di seluruh wilayah Simalungun. Mungkin saja pada generasi berikutnya perlu dibentuk bagi mereka suatu dewan. Tujuan pembentukan dewan itu bertentangan dengan pandangan penguasa otonom yang berkuasa di daerahnya.
Aturan-aturan yang dibuat untuk penguasa tradisional ini (yang disusun, dirancang dan digarap oleh wakil penguasa Eropa) memerlukan persetujuan gubernur. Anggaran daerah berlaku untuk seluruh wiloayah Simalungun, sehingga dalam penetapannya para penguasa tradisional memberikan nasehat, bersama-sama untuk membicarakan masalah (yang mungkin bagi mereka tidak berarti) kecuali untuk menunjukkan bagaimana anggaran harus disusun dan pengeluaran apa yang harus dipertanggungjawabkan. Satu-satunya usulan yang masuk dari pihak mereka, sehubungan dengan kasus raja, adalah mengangkat seorang penulis, memiliki seorang opas, dan membangun sebuah kantor.
Dari pihak penguasa tradisional tidak pernah ada gambaran untuk memajukan kepentingan umum daerahnya. Seperti yang dikatakan Verbeek dalam tulisannya, para penguasa tradisional menjadi hambatan bagi aktivitas daerah lokal, sehingga muncul gagasan untuk memasukkan daerah itu ke kotapraja Medan. Dalam upaya penggabungan daerah otonom Deli ke pemerintah dan kini pengukuran kadaster dilakukan di Pematang Siantar, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menerapkan kondisi yang sama di sini. Menurut Bijblad nomer 8122 daerah berhak memperoleh status hukum sehingga mereka bisa memperoleh pinjaman yang jumlahnya bisa dibicarakan kemudian.
4. Desentralisasi
Pemerintahan Kotapraja Pematang Siantar.
Pada tahun 1917 di Pantai Timur Sumatra dibentuk empat kotapraja termasuk Pematang Siantar. Peraturan pembentukan ini berasal dari keputusan 27 Juni 1917 nomer 14 dan dimuat dalam Lembaran Negara nomer 285, sementara anggaran pertama ditetapkan dalam peraturan 27 Juni 1917 nomer 16 (Lembaran Negara nomer 290). Seperti telah diketahui, bahwa anggaran kota berikutnya ditetapkan oleh dewan dan memerlukan persetujuan dari kepala pemerintah daerah.
Dewan terdiri atas 9 anggota termasuk 5 orang Eropa, 3 orang pribumi dan seorang Timur Asing. Asisten residen menjadi ketua dewan. Dengan jabatan pemegang kas, sekretariat dan dinas Pekerjaan Umum (PU) kota untuk sementara dilimpahkan kepada para pegawai pemerintah yang ada saat itu.
Kaum bangsawan juga ikut menandatangani Pelakat Pendek pertama, tetapi penguasa pribumi yang baru tampil dalam pengakuannya hanya memperbaharui pernyataan, yang tidak ikut ditandatangani oleh para bangsawan. Para bangsawan yang pertama sekali muncul, yang menerima jabatan dari mereka yang dulu ikut menandatangani Plakat Pendek, tidak menegaskan kedudukannya dalam pengangkatan ini. Dengan menerima pengangkatan itu mereka dianggap menyetujuinya.
Perkembangan para penguasa pribumi di Simalungun perlu diperhatikan. Menurut pendapat pemerintah mereka belum siap menjalankan tugasnya. Ternyata, kini tidak ada urusan yang diserahkan kepada mereka. Pandangan lama bahwa daerah dan penduduk diperuntukkan bagi raja dan keuangan negara merupakan masalah perdata bagi istana dengan pembentukan kas daerah tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian para raja lama ini tidak lagi menjadi penguasa yang bisa mengikuti garis kebijakan pemerintah Belanda. Mereka bisa mendapat lingkungan kerja bila keturunan berikutnya semakin berkembang, di mana diusahakan dengan membangun sebuah asrama yang menampung para putra raja dan bangsawan serta mendidik mereka. Sementara itu, mereka mengikuti pendidikan di HIS Pematang Siantar.
Peradilan diserahkan pada para penguasa pribumi. Tentang hal ini dibahas dalam No.2 bab berikutnya. Mereka memiliki posisi lebih tinggi daripada daerah lokal, tetapi di sisi lain mereka jauh lebih tergantung karena berada di bawah keinginan pemerintah, sehingga (meskipun ini dilontarkan tanpa mengorbankan para penguasa tradisional) sering kewajibannya harus ditunjukkan bila perlu dengan pengambilan tindakan. Pasal 3 Plakat Pendek memberikan hak yang sangat luas di bidang ini kepada pemerintah, tetapi Staatsblad tahun 1914 n0. 24, yang mengatur hak dan kewajiban penguasa otonom dalam kontrak panjang memberikan jaminan bahwa peraturan ini belum banyak dimanfaatkan. Staatsblad ini melalui Keputusan Pemerintah 17 April 1917 No. 3 dinyatakan berlaku untuk Sumatera Timur, tetapi untuk daerah-daerah Batak yang kecil waktunya ditentukan kembali oleh kepala daerah, yang akan dibuat aturan yang baru. Untuk Simalungun ditetapkan dengan Keputusan Wilayah tanggal 19 September 1917.
Para penguasa pribumi mendapat hak hukum dan kekuasaan atas penduduk Toba, Mandailing, Jawa dan lain-lain karena perkembangannya yang pesat. Di antara mereka ini menimbulkan ketidakpuasan, tetapi hak ekstra-teritorial seperti yang diterapkan di daerah lain yang berkaitan dengan daerah pribumi tetap bisa dipertahankan. Akan tetapi hak penghapusan wewenang para penguasa pribumi perlu diberikan perhatian yang besar. Kini, sebagai aparat pemerintah, mereka tidak begitu berguna. Mereka tidak dilibatkan baik dalam penyusunan anggaran daerah maupun pelaksanaan pemerintahan yang menjamin dan memajukan kemakmuran daerah, dan hubungannya dengan perkebunan Eropa. Tingkat perkembangannya mencegah pelimpahan beberapa wewenang yang seharusnya diberikan kepada mereka. Pekerjaan mereka sendiri kurang beres, karena tata-hukum peradilan pribumi semuanya masih perlu dibenahi. Sementara, pemerintah Eropa tidak memiliki sarana untuk tampil sepanjang waktu sebagai pengawas sekaligus sebagai guru.
Pemungutan pajak (tanpa menyinggung penafsiran pajak) digabung pada wewenang mereka yang tidak terbatas. Tanpa personalia dari pihak pemerintah Eropa tidak terdapat pemungutan secara teratur; tanpa pemungutan di antara kepemimpinan Eropa terjadi ketimpangan besar. Akan tetapi pekerjaan ini melibatkan pendidikan dan pengajaran pada generasi sekarang.
Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mendidik generasi muda, karena penduduk mendorong pendidikan ini bagi mereka. Situasi ini memberikan dorongan pula untuk mendesak penguasa otonom dan para kepala harus masuk HIS. Sejumlah peserta didik sebanyak 32 orang tinggal di asrama yang dibangun oleh pemerintah untuk menampung mereka yang bersekolah itu. Karena para pemuda mengikuti pendidikannya di daerah tempat asalnya, mereka tetap tinggal di wilayahnya yang tidak terlalu luas. Sebelum mereka mengenyam pendidikan pengaruh peradaban lama tampak dari pakaian dan fisik mereka serta pengetahuan tentang wilayahnya yang sangat mendasar, dan bila terjadi ancaman, mereka kembali ke kondisi lama dalam kehidupan kampung raja dengan mencegah datangnya orang luar yang mengungguli kemampuan mereka. Setelah mereka menyelesaikan pendidikannya kebanyakan di antara mereka tidak merasa asing lagi setelah kembali ke daerahnya. Penduduk tetap menganggap mereka sebagai penguasa, sebagai keturunan raja, dan tetap menghormatinya, sehingga mereka (ketika dikembalikan ke pada posisi semula) menjadi figur yang lebih baik sebagai penguasa otonom daripada kondisi sebelumnya yang dipimpin oleh ayah mereka.
Yang menarik dan hampir tidak bisa dijelaskan adalah bagaimana raja-raja yang kini dikenal sebagai despot bisa dikembalikan menjadi figur biasa hanya dengan satu tindakan, yang masih menyisakan pertanyaan apakah mereka sudah tidak diakui oleh rakyatnya. Di depan para pejabat pemerintah praktis mereka hanya bertindak sebagai kepala daerah. Akan tetapi posisi istimewa mereka terlalu mencolok ketika mereka menjalankan kewajibannya atau kini mereka tidak cocok lagi untuk menduduki fungsi itu, karena ada keinginan dari pemerintah yang hampir tidak mungkin dilakukan, yaitu meminta mereka untuk mengundurkan diri sebagai penguasa otonom.
Juga ketika mereka melakukan tindakan melawan hukum, mereka akan menemui kesulitan yang besar. Aturan-aturan yang ada dalam hukum mereka bagi pemerintah tidak berlaku lagi. Benturan terjadi bila mereka menjalankan sesuatu yang dianggap tidak melanggar hukum berdasarkan prinsip yang mereka anut seperti yang belum lama ini terjadi dengan penguasa tradisional Tanah Jawa yang belum lama meninggal, yang dituduh melakukan pelanggaran. Alasan utama mereka adalah “menjalankan hukum” mereka. Vonis yang berupa pembuangan merupakan wacana saja menurut peradilan Eropa, sementaraa vonis itulah yang diterapkan dalam peradilan pribumi mampu khususnya dalam menangani kasus yang menimpa pada seorang raja.
Belakangan ini masalah lain muncul, yang dalam kondisi saat ini sangat sulit untuk bisa diselesaikan, yaitu tentang persoalan demokratisasi penguasa pribumi. Di Siak para sultan kini memiliki lembaga penasehat hukum. Bagaimana sesuatu bisa dibentuk dalam daerah pribumi yang kecil, tanpa mengacu pada penerapan pandangan demokratisasi yang berlaku? Secara pribadi saya usulkan adanya dewan penasehat tradisional bagi penguasa otonom, untuk mengabaikan para penguasa tradisional di seluruh wilayah Simalungun. Mungkin saja pada generasi berikutnya perlu dibentuk bagi mereka suatu dewan. Tujuan pembentukan dewan itu bertentangan dengan pandangan penguasa otonom yang berkuasa di daerahnya.
Aturan-aturan yang dibuat untuk penguasa tradisional ini (yang disusun, dirancang dan digarap oleh wakil penguasa Eropa) memerlukan persetujuan gubernur. Anggaran daerah berlaku untuk seluruh wiloayah Simalungun, sehingga dalam penetapannya para penguasa tradisional memberikan nasehat, bersama-sama untuk membicarakan masalah (yang mungkin bagi mereka tidak berarti) kecuali untuk menunjukkan bagaimana anggaran harus disusun dan pengeluaran apa yang harus dipertanggungjawabkan. Satu-satunya usulan yang masuk dari pihak mereka, sehubungan dengan kasus raja, adalah mengangkat seorang penulis, memiliki seorang opas, dan membangun sebuah kantor.
Dari pihak penguasa tradisional tidak pernah ada gambaran untuk memajukan kepentingan umum daerahnya. Seperti yang dikatakan Verbeek dalam tulisannya, para penguasa tradisional menjadi hambatan bagi aktivitas daerah lokal, sehingga muncul gagasan untuk memasukkan daerah itu ke kotapraja Medan. Dalam upaya penggabungan daerah otonom Deli ke pemerintah dan kini pengukuran kadaster dilakukan di Pematang Siantar, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menerapkan kondisi yang sama di sini. Menurut Bijblad nomer 8122 daerah berhak memperoleh status hukum sehingga mereka bisa memperoleh pinjaman yang jumlahnya bisa dibicarakan kemudian.
4. Desentralisasi
Pemerintahan Kotapraja Pematang Siantar.
Pada tahun 1917 di Pantai Timur Sumatra dibentuk empat kotapraja termasuk Pematang Siantar. Peraturan pembentukan ini berasal dari keputusan 27 Juni 1917 nomer 14 dan dimuat dalam Lembaran Negara nomer 285, sementara anggaran pertama ditetapkan dalam peraturan 27 Juni 1917 nomer 16 (Lembaran Negara nomer 290). Seperti telah diketahui, bahwa anggaran kota berikutnya ditetapkan oleh dewan dan memerlukan persetujuan dari kepala pemerintah daerah.
Dewan terdiri atas 9 anggota termasuk 5 orang Eropa, 3 orang pribumi dan seorang Timur Asing. Asisten residen menjadi ketua dewan. Dengan jabatan pemegang kas, sekretariat dan dinas Pekerjaan Umum (PU) kota untuk sementara dilimpahkan kepada para pegawai pemerintah yang ada saat itu.
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Luchtfoto_van_Siantar_TMnr_10015093 |
Namun, dewan memahami bahwa dalam setiap kasus diperlukan pejabat tertentu demi berjalannya kedua fungsi tersebut dengan kualitas memadai. Jadi dalam keputusan dewan 4 Agustus 1917 dibentuk jabatan sekretaris kota dan anggaran pertama yang ditetapkan dalam keputusan dewan itu dicantumkan sebuah pos untuk gaji direktur proyek. Pada tahun berikutnya, dewan juga mengangkat pengelola kas khusus (sebagai sekretaris kotapraja, pada tahun 1917 adalah J.G.H.Soodt, sementara Tuan P.A. den Hartog pada awal 1918 diangkat menjadi direktur PU kota. Tuan Hasan Soetan Pane diangkat menjadi pengelola kas kota).
Jika kota dengan cara ini mampu untuk mengatur sendiri pegawainya sesuai keinginan mereka, apabila timbul persoalan tanah dan keberatan-keberatan yang dampaknya sampai ke kota Medan memberikan kesan bahwa kekacauan karena yang berada di kota praja berada di wilayah yang dikuasai oleh penguasa pribumi. Tanah ini tidak bisa dianggap sebagai hak milik pemerintah sehingga tidak ada aturan yang bisa dibuat, yang memberi kota praja hak untuk mengeluarkannya. Penyelesaiannya yang pernah dijumpai dilakukan dengan pemberian tanah oleh penguasa pribumi Siantar kepada pemerintah, setelah politik tanah di kotapraja diatur sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam pemberian status ini batas-batas kotapraja yang ditetapkan dalam Lembaran Negara 1917 nomer 641 yang memaksa dilakukannya suatu perubahan kecil. Pada tahun-tahun pertama keberadaanya, dewan kotapraja mengusulkan berbagai peraturan salah satu di antaranya peraturan pajak (pajak hiburan, pajak anjing, hak izin dsb.), peraturan kepegawaian, peraturan tempat tinggal dan bangunan, dan pada tahun 1920 dikeluarkan empat peraturan untuk membangun perusahaan (saluran air, pasar, pemotongan hewan, dan listrik). Mengenai usaha ini dan sejarah awalnya dapat bisa disampaikan sebagai berikut ini.
Saluran Air
Saluran air di Pematang Siantar pada tahun 1914 dibuka (tiga tahun sebelum pembentukan kotapraja) yang biaya pembangunannya menjadi tanggungan bersama yang nilainya:
Penguasa pribumi Siantar ………………………………. f 19.600,-
Perusahaan Kereta Api Deli ……………………………..f 4.000,-
Perusahaan Investasi Perkebunan Karet …………………f 4.000,-
Ikatan Dokter Siantar …………………………………….f 6.000,-
Rumahsakit Pusat Simalungun …………………………..f 6.000,-
Jumlah f 39.600,-
Setelah selesai, menurut kesepakatan yang diambil tanggal 12 Nopember 1914, saluran air menjadi hak milik daerah Simalungun, akan tetapi para peserta memiliki hak khusus untuk mengatur pengaturan air. Perusahaan Jalan Kereta Api Deli dan Trust Investasi Perkebunan Karet sekama 30 tahun berturut-turut bisa memperoleh 50 M3; Yayasan Keputrian Siantar dan rumahsakit pusat Simalungun memiliki hak atas 85 M3 per sekali pakai selama masa itu. Untuk jumlah ini dipungut 5 sen per M3 air yang disediakan. Untuk menyediakan kebutuhan air tersebut, diperlukan jumlah air dua kali lipat dari jumlah yang diperlukan.
Saluran air diserahkan pengelolaannya kepada komisi pengatur Dana Negori. Lembaga ini berada di bawah pimpinan kepala pemerintah daerah (asisten residen). Lembaga ini memperhatikan kepentingan lokal di ibukota dan karenanya dianggap sebagai tangan panjang dewan masyarakat. Dana ini pada awal rencana pembuatannya akan dikembalikan oleh daerah setelah lembaga ini berjalan. Kewajiban pembayaran ini diambil dari masyarakat yang memanfaatkan saluran ini.
Rencana pertama sangat memuaskan, sementara persiapan dan pelaksanaan tehnis belum dilakukan sesuai aturan. Untuk pelaksanaannya belum ada sarananya. Air diambil dari sebuah sumber, berasal dari sumber yang letaknya berada di dekatnya, di dekat rumah pengelola perkebunan Simarito. Aliran hulu yang jaraknya paling dekat terletak di aliran kanan Bah Bolon. Kapasitas sumber adalah sekitar 1500 M3per sekali pakai. Pemakaian pada tahun 1918 mencapai sekitar 500 M3 per sekali pakai.
Ada kerugian bahwa sumber dan saluran pengairan berada di luar batas-batas daerah masyarakat. Kerugian ini diimbangi dengan ayat 2 pasal 3 dari LRO yang menetapkan bahwa kasus yang diatur oleh dewan ini yang terletak di luarnya dianggap termasuk juga daerah yang menjadi wewenang Dewan Lokal (lihat juga karya Mr. Schrieke, Aturan dan Prinsip Desentralisasi 1903, hal. 9).
Per sambungan keluarga, dipungut f 3. Penghasilan pada pertengahan kedua 1917 (pembentukan kotapraja) berjumlah f 6969,40. Penghasilan pada anggaran pertama (selama tahun 1922) ditafsirkan f 30 ribu. Pada bulan September 1918 saluran pengairan kedua dibuka. Seluruh kotapraja dipetakan (ukuran 1:1000) dengan tujuan untuk menunjukkan saluran utama dalam warna-warni, saluran kedua dan saluran rumahtangga diberikan dalam warna yang lain, dan selanjutnya semua berkas bantuan, sebagai penghubung dsb. dan semua sambungan baru ke kamar mandi, dsb. ditunjukkan di dalamnya.
Didirikan sebuah tempat kerja yang memadai. Di sini semua bahan disimpan. Pada saluran air ini disambungkan ke 5 kamar mandi kecil, di mana ada tiga: satu untuk pria dan dua untuk wanita. Sementara itu dari dua kamar mandi lainnya: yang ada di pasar ada satu seluruhnya untuk wanita dan satu untuk pria. Banyak orang memanfaatkan fasilitas ini. Pada tahun 1918 terdapat 331 sambungan dan pada tahun 1921 seluruhnya 513 sambungan.
Di pasar selain di kamar mandi dan WC yang ada di sana juga terdapat saluran air di gudang daging dan di lahan pasar. Pada tahun 1919 muncul sebuah sumber air di kampung Timbang Galung. Dengan tujuan untuk menerima suatu tinjauan yang lebih komersil dan untuk bisa mengembangkan akan kebutuhan dasar air yang lebih baik, pada tahun 1920 diputuskan untuk mengelola usaha saluran air sendiri. Karena lembaga itu telah ada, pengeluaran anggaran untuk usaha ini untuk pertama kali mencapai sebesar f 3000. Jumlah pengeluaran normal mencapai sekitar f 15 ribu. Saldo untung f 16.558 bisa dicatat sebagai keuntungan kotapraja. Pada anggaran tahun 1922 keuntungan murni usaha ditafsirkan f 23.541.
Suatu peraturan tentang pengairan sedang disusun. Secara rutin penelitian dilakukan oleh Dr. W.J. Bais atas kondisi air; inspeksi terakhir dilakukan pada tahun 1921 yang diperkirakan kondisinya sangat menguntungkan. Seorang penasehat tehnis pada tahun 1921 ditunjuk oleh Dewan untuk menduduki penasehat di lembaga bidang itu.
Usaha Pasar
Sebelum menggunakan lahan pasar yang ada di Pematang Siantar, pasar dikelola di lahan yang terletak di persimpangan jalan Wilhelmina dan jalan Marihat, di mana kini berdiri sebuah bangunan bioskop. Di tempat ini dibangun los pasar yang terdiri atas sekitar 32 tempat penjualan. Terbukti bahwa los pasar lahannya tidak lagi memadai menampung peminat yang jumlahnya meningkat. Oleh karenanya pada tahun 1913 dua los lain dibangun di lahan yang terletak tidak jauh dari pasar lama (juga di sini terdapat sebuah bangunan bioskop).
Los baru itu menyediakan lahan bagi sebanyak 24 tempat penjualan. Juga dibangun tiga los pada dua tempat berbeda yang tidak dimanfaatkan secara rutin oleh warga pemukiman ini. Namun, hubungan perdagangan tetap menyebar di pasar itu. Rata-rata hasil los yang pada tahun 1913 mencapai f 325 per bulan, naik menjadi f 654 per bulan pada akhir 1915. Dari sana rencana disusun untuk mendirikan sebuah pasar luas di lahan yang letaknya baru dan menguntungkan. Pada tahun terakhir diputuskan pembangunan empat los di sana, yang masing-masing berkapasitas 40 tempat penjualan, serta dibangun tempat khusus penjualan ikan. Seluruh beaya pembangunannya mencapai f 41.000.
Pada bulan Agustus 1916 pasar baru dibuka dengan upacara. Hasil persewaan tempat ini di los ini dan uang ternak masuk ke kas daerah. Pihak kotapraja segera melakukan pembicaraan dengan pemerintah untuk mengambil alih pasar dengan segala resikonya. Hasilnya adalah bahwa pada tahun 1918 los pasar yang dilainya ditaksir sebesar f 36.900 diserahkan kepada kotapraja. Jumlah ini dalam 11 tahun dibayarkan menurut rencana imbal beli, yang diperhitungkan dengan bunga sebesar 4% untuk bagian yang belum dibayarkan.
Dengan keputusan dewan kotapraja 2 Mei 1918 sebuah peraturan pasar disusun. Penghasilan dan pengeluaran berjumlah sbb:
Kenaikan pengeluaran besar sejak 1919 merupakan suatu akibat dari pembayaran kepada penguasa pribumi Siantar sebesar f 3690 setahun (lihat di atas).
Selama kemunculan pes di Sumatra Timur, komisi kesehatan meneliti kondisi di pasar. Beberapa penjual tidur di los pasar, los dipenuhi dengan berbagai bahan makanan dan bahan dagangan, sementara mengenai kebersihan tidak pernah dibenahi. Sehubungan dengan munculnya penyakit itu, larangan mendadak dikeluarkan agar para pedagang untuk tidak menyimpan semua barang dagangan di pasar malam hari di sana. Kecuali untuk pedagang kain, pedagang harus membawa barang dagangannya setiap sore kembali ke rumah. Pasar pada masa-masa tertentu dibersihkan dengan air yang airnya diambil dari saluran yang ada di tempat itu.
Ternyata larangan itu pelaksanaannya membawa kesulitan besar. Namun, akhirnya bisa diselesaikan secara baik dan kondisinya menjadi lebih sehat. Los penjualan ikan hanya sebagian saja yang menjalankannya, karena para pedagang ikan tidak memanfaatkan bak air yang bersemen, yang telah disediakan. Mereka lebih suka menyimpan ikannya dalam peti kayu yang dibawa serta, dengan air separuh. Dengan tujuan memperbaiki penyimpanan, terutama di los penjualan barang-barang lain barang-barang bisa ditempatkan di los itu selama semalam. Untuk perluan itu diangkat 2 orang penjaga. Keuntungan yang diperoleh kotapraja selama tahun 1922 ditafsirkan mencapai f 13 ribu.
Usaha Pemotongan Hewan
Untuk usaha pemotongan hewan dibangun rumah pemotongan hewan yang dibagi menjadi dua bagian yang terletak di daerah Bah Bolon, dengan pengawasan dokter hewan kotapraja. Di bagian afdeeling pertama diperuntukkan untuk pemotongan hewan hewan besar dan kecil, sementara di afdeling lain (yang dipisahkan dengan sebuah tembok tinggi) dipotong babi. Pada tahun 1919 diputuskan untuk membangun sebuah rumah potong di jalan Marihat dekat Bah Silulu yang diatur menurut ketentuan modern. Untuk ini, diberikan pinjaman sebesar f 30 ribu. Seluruh beaya pembangunannya akhirnya mencapai f 37.200. Infrastrukturnya dibangun menurut sistim pavilyun, di tengahnya kantor dan laboratorium. Di kedua sisi pada jarak beberapa puluh meter kedua lobang pemotongan berada di satu sisi bagi hewan besar dan hewan kecil dan di sisi lain untuk babi. Pada kedua lobang pemotongan terdapat tempat terbuka untuk mencuci usus. Selain itu untuk mandi personilnya diperlukan infrastruktur . Beaya eksploitasi pada tahun 1920 mencapai sekitar f 11 ribu, sementara keuntungan ditafsirkan f 3132. Selama tahun 1922 beaya eksploitasi mencapai f 14.466,50 dan tercatat saldo rugi sebesar f 3000.
Setiap hari 4 ekor ternak besar, 8 babi dan 2 kambing atau domba dipotong. Upah potong untuk ternak besar dan untuk babi sebesar f 2,50; untuk kambing dan domba f 0,25. Selain itu dipungut upah periksa sebesar f 0,25 untuk ternak besar dan babi serta f 0,10 untuk kambing dan domba. Dokter hewan kotapraja menjadi direktur usaha potong dan pasar. Seorang mantri pemeriksa membantunya. Dia juga mengawasi pemerahan dan penjualan susu, juga dibangun infrastruktur di luar kotapraja yang menjual produknya.
Perlistrikan
Pada salah satu rapat dewan pertama, pelistrikan tempat ini dibicarakan. Pinjaman f 250.000 diberikan untuk membangun sebuah pembangkit, akan tetapi hingga sekarang belum terlaksana pembanunannya, karena rencana itu disusun untuk bersama pemerintah Hindia Belanda, dengan tujuan untuk memanfaatkan semua tenaga dari Bah Bolon yang mampu menghasilkan 800 PK, sebagai ganti 500 PK yang diperlukan kotapraja di tahun-tahun pertama (diperhitungkan sangat luas). Rencana ini disusun bertepatan dengan kondisi zaman yang tidak menguntungkan, sehingga kotapraja mencari jalan lain untuk membangun pelistrikan, tanpa menggeluarkan anggaran terlalu tinggi. Sekaligus, bersama dengan pabrik es Siantar, muncul penyelesaian terbaik, karenanya perundingan dengan PT. Hotel Siantar (yang mengelola pabrik es) dibuka dan akhirnya kesepakatan dirancang, di mana kotapraja akan membeli aliran seharga f 1200 sebulan dan akan mengelola distribusi dalam kotapraja.
Kotapraja akan membangun jaringan kota. Bahan-bahan untuk itu telah disediakan dan sebagian diterima di tempat itu. Untuk sementara pabrik es membantu Hotel Siantar dengan alirannya sendiri dan juga melengkapi daerah kotapraja dengan sembilan lampu penerangan. Akhirnya, masih sedikit ulasan tentang berbagai bidang di kotapraja.
Pinjaman Uang
Ada beberapa pinjaman yang jumlahnya mencapai f 519.000 yang digunakan untuk untuk membangun rumah (sekretaris, direktur proyek kotapraja, pengawas, dokter hewan) untuk membeayai pembangunan sebuah balai kota, untuk perbaikan saluran air, membangun rumah pemotongan hewan dan untuk pelistrikan. Pelunasan hutang dan bunga untuk jumlah yang dimuat dalam pengeluaran umum dimasukkan dalam anggaran kotapraja, yakni anggaran usaha. Jumlah seluruh pengeluaran selama 1921 adalah f 351.155.
Jalan dan Jembatan Kota
Perbaikan besar pertama dalam jaringan jalan kotapraja dibuka pada tahun 1918 dengan membangun jembatan beton lengkap di jalan Marihat dan meninggikan jalan ini. Hal serupa dilakukan pada tahun berikutnya dengan jalan menuju sekolah, di sini juga dibangun sebuah jembatan beton dibangun di atas Bah Bolon dan jalan setempat dinaikkan setinggi 3 meter.
Pengerasan jalan raya dimulai secepatnya. Lahan pasar seluruhnya diperkeras dengan padas. Di bagian antara pasar dan sekolah normal bagi para guru pribumi dibuka jalan pada tahun 1920. Jalan kampung bila diperlukan akan diperbaiki. Dengan subsidi pemerintah jalan Toba dan jalan Marihat diperkeras dengan menggunakan lapisan kerikil sampai perbatasan kotapraja.
Di lahan antara kedua cabang Bah Bolon di utara kampung Kristen dibuka jalan berkeliling untuk membangun sebuah kampung tinggal orang Eropa, yang disebut dengan taman villa. Jalan masuk jalan Toba untuk ini dibangun dengan membuat jembatan yang dibangun pada tahun 1921 terbuat dari beton berlapis. Juga disiapkan got, namun pengeluaran untuk pembangunannya sangat tinggi sehingga hanya dilakukan perbaikan yang sesuai dengan anggarannya. Untuk sementara pembangunan lebih lanjut belum dilaksanakan.
Pemadam Kebakaran
Dalam pembentukan kotapraja, pemadam kebakaran memanfaatkan bahan yang ada (sebuah pompa motor dan pompa tangan) dari dinas PU. Pada tahun 1918 dari kota Medan 3 pipa penyemprot masing-masing dibeli seharga f 100. Baru pada tahun 1919 dibentuk suatu organisasi pemadaman kebakaran yang layak. Pada bulan Juni tahun itu peraturan pemadam kebakaran ditetapkan untuk mengganti peraturan pemadam kebakaran yang ada di wilayah itu sejak tanggal 26 Mei 1887 (peraturan 23 Mei 1919).
Direktur PU kotapraja menjadi kepala pemadam umum yang dibantu oleh 6 juru pemadam, satu khusus ditugasi sebagai brigade tangga. Setiap petugas pemadam memiliki dua ajudan dan untuk penyemprot besar disediakan 30 tabung gas. Pegawai rendah disiapkan untuk mengoperasikan penyemprot kecil dan pipa motor, yang barangnya diambil alih dari PU. Ada 4 buah tangga kebakaran, dengan sebuah kereta yang dibuat khusus untuk itu di kotapraja. Kini di kotapraja terdapat empat rumah pemadam, satu buah bangunan ganda di lahan penjara, satu di kampung Timbang Galung, satu di pasar, dan satu di kampung Kristen.
Tanah Kotapraja
Tanah dalam batas-batas kotapraja termasuk daerah Siantar. Penguasa pribumi daerah Siantar merasa memiliki hak atas tanah ini. Segera setelah Pematang Siantar mulai berkembang (jalan diaspal pada tahun 1907 oleh Kontrolir 0'Brien) perlu untuk meletakan dasar hak tanah penghuninya. Pada tahun 1913 sampai dengan 1915 diberikan tunjangan kepada kontrolir pemerintah (Eropa, Timur Asing dan kaum pendatang pribumi) dan tunjangan raja (di negara-negara Melayu, tunjangan sultan namanya) untuk warga daerah.
Tunjangan raja ditegaskan dalam sejenis hak dengan jumlah tidak begitu jauh dengan hak yang tertulis dalam tunjangan kontrolir. Pasal 7 dari akta itu ditetapkan bahwa pengalihan hanya bisa terjadi bila warga adalah penguasa otonom atau setelah diperoleh persetujuan penguasa otonom. Di sini ditemukan contoh bagaimana aturan yang bertujuan melindungi penduduk pribumi terhadap pengaruh kuat dari luar dan terhadap ketidakadilan, memperoleh dasar yang sangat jelas khususnya bagi penduduk. Kaum imigran pribumi, seperti orang asing lainnya, menerima tunjangan seperti kontrolir yang menyediakan suatu hak. Secara ekonomis tunjangannya lebih tinggi daripada tunjangan raja. Di lapangan bukti menunjukkan bahwa tunjangan kontrolir berad di tangan warga pribumi. Dari segi hukum tidak ada kesulitan yang muncul. Akan tetapi dengan ini hak tanah yang diambil alih dari orang lain bukan berarti diberikan oleh penguasa pribumi.
Sementara itu, dalam Keputusan Pemerintah 7 Januari 1916 nomer 47 aturan mengenai pemberian tunjangan kontrolir dinyatakan dihapus, sementara ditetapkan bahwa mereka yang ingin memperoleh hak atas petak tanah, perlu meminta hak bangun. Terutama, perlu dicantumkannya dalam kadaster ukuran tanah, tafsiran nilai tanah yang ditetapkan oleh komisi yang diangkat untuk ini dan penjelasan serta pemberlakuan akta dalam periode tertentu yang semuanya tergantung pada Pengadilan Tinggi. Sangat disesalkan bahwa pencatatan ini tidak bisa dilakukan di kantor kotapraja, karena bagi pemerintah kotapraja sangat penting untuk mengetahui peralihan dan penegakan hak tanah di batas-batas kotapraja. Atas dasar ini, di kantor kota, peta kotapraja disimpan, semua tunjangan yang diberikan dan akta hak bangun dicatat, sementara daftar tunjangan kontrolir dan raja disimpan dan dirawat oleh kepala pemerintah daerah dan informasi selengkapnya tentang transaksi ini sehubungan dengan hak tanah diberikan kepada sekretaris kotapraja.
Dengan tujuan untuk memberikan hak bicara, sebuah komisi tanah ditetapkan. Seorang anggota dewan dan direktur proyek PU ikut duduk, yang memberikan nasehat tentang penyerahan tunjangan dan akta lain sehubungan dengan hak tanah ini. Dengan begitu, ada kemungkinan suatu pedoman tertentu dalam peraturan ini harus diikuti. Dengan begitu, kesulitan yang hampir tidak bisa teratasi harus ditertibkan, sehingga akan memperjelas bila ada orang yang meneliti tentang sejarah tanah di ibukota.
Banyak yang telah diberi tunjangan sebelumnya, dan terus berlanjut. 0rang menduga bahwa ini adalah hak. Dalam perkembangannya muncul perdagangan besar. Para spekulan mencoba memperoleh petak tanah secara murah agar memperoleh memetik keuntungan besar (yang diharapkan). Berbagai traksaksi tidak sah dan berkelanjutan terjadi. Memang ada kebijakan untuk meredam kekacauan ini. Komisi tanah telah bekerja. Sidang-sidang rutin diadakan dan semua yang bisa memiliki tanah atau menerima hak tanah.
Pada tahun 1918 sebanyak 170 tunjangan raja di kampung Kristen diberikan. Tonggak batas ditempatkan dan surat ukuran dikeluarkan. Untuk pemegang hak yang lain diharuskan untuk membayar beaya yang dibebankan. Pada tahun 1919 di kampung yang sama dikeluarkan 200 tunjangan. Kini, banyak hal yang bisa diteliti secara cermat perbedaannya. Akhirnya, raja Siantar diberi pertimbangan agar dapat menegakkan hak yang terbaik.
Penduduk, yang pertama menentang peraturan ini, meminta bantuan pengacara di Medan untuk menentang nasehat komisi. Akan tetapi secara perlahan-lahan semakin banyak kesimpulan dicapai bahwa jalan yang ditempuh selama ini adalah yang terbaik. Juga bagi yang berkepentingan bisa diperoleh hak atas petak tanah di kotapraja. Pembayaran dilakukan secara rutin. Aturan-aturan ini dipertahankan secara ketat. Komisi mencatat semuanya yang dituangkan melalui sarana sistim pemetaan yang dibuat sederhana.
Kotapraja terdiri atas berbagai kampung, yakni sebuah kampung khusus kaampung untuk orang Eropa (diperluas dengan taman villa antara kedua cabang Bah Bolon), sebuah kampung dagang (terutama Cina, tetapi juga kedeh-kedeh lain), Timbang Galung (Islam), Kampung Kristen (Toba), Kampung Jawa dan kampung luarnya. Penduduk Batak asli di huta Pematang Siantar tertarik daerah yang khusus dikuasai oleh penguasa pribumi (sebuah lahan di dalam kotapraja) dan beberapa kampung luar. Untuk tanah yang terletak di kampung ini berbagai cukai (hasil tanah) dipungut, yang berjumlah untuk :
Pendidikan di Kotapraja
Di bidang pendidikan, dewan membantu dalam bidang keuangan sebisanya. Yayasan sekolah di Simalungun menerima subsidi tahunan f 6000 sementara Yayasan Pribumi Sekolah Boemi Poetera diberikan subsidi sebesar f 3600. Juga kepada yayasan sekolah Cina diberikan subsidi dengan syarat tertentu. Namun mengingat orang tidak memenuhi syarat-syarat ini, subsidi tersebut dicabut setidaknya tidak dibayarkan.
Kebijakan kotapraja di Siantar telah mencoba memanfaatkan faktor-faktor menguntungkan dari tempat ini sebagai pusat pemukiman untuk menarik penduduk ke sana. Di sana dibangun prasarana yang diperlukan bagi kesehatan (saluran air, rumah potong hewan, pengawasan antar pemerahan dan penjualan susu); di sana, diberikan bantuan dengan memperhatikan atau memajukan pendidikan bagi semua kelompok penduduk. Kampung perumahan yang luas dan jalan yang lebar dibuka yang dilengkapi dengan penerangan yang baik. Semua ini dibangun dengan mengambil dari hasil pajak kotapraja. Dengan cara ini Pematang Siantar dicoba untuk menjadi tempat tinggal ideal di mana kebijakan pemerintah, kondisi alami, dan akhirnya perusahaan perkebunan di sekitarnya (cuaca dan keindahan alam) bersama-sama mencapai tujuan yang sama.
Jika kota dengan cara ini mampu untuk mengatur sendiri pegawainya sesuai keinginan mereka, apabila timbul persoalan tanah dan keberatan-keberatan yang dampaknya sampai ke kota Medan memberikan kesan bahwa kekacauan karena yang berada di kota praja berada di wilayah yang dikuasai oleh penguasa pribumi. Tanah ini tidak bisa dianggap sebagai hak milik pemerintah sehingga tidak ada aturan yang bisa dibuat, yang memberi kota praja hak untuk mengeluarkannya. Penyelesaiannya yang pernah dijumpai dilakukan dengan pemberian tanah oleh penguasa pribumi Siantar kepada pemerintah, setelah politik tanah di kotapraja diatur sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam pemberian status ini batas-batas kotapraja yang ditetapkan dalam Lembaran Negara 1917 nomer 641 yang memaksa dilakukannya suatu perubahan kecil. Pada tahun-tahun pertama keberadaanya, dewan kotapraja mengusulkan berbagai peraturan salah satu di antaranya peraturan pajak (pajak hiburan, pajak anjing, hak izin dsb.), peraturan kepegawaian, peraturan tempat tinggal dan bangunan, dan pada tahun 1920 dikeluarkan empat peraturan untuk membangun perusahaan (saluran air, pasar, pemotongan hewan, dan listrik). Mengenai usaha ini dan sejarah awalnya dapat bisa disampaikan sebagai berikut ini.
Saluran Air
Saluran air di Pematang Siantar pada tahun 1914 dibuka (tiga tahun sebelum pembentukan kotapraja) yang biaya pembangunannya menjadi tanggungan bersama yang nilainya:
Penguasa pribumi Siantar ………………………………. f 19.600,-
Perusahaan Kereta Api Deli ……………………………..f 4.000,-
Perusahaan Investasi Perkebunan Karet …………………f 4.000,-
Ikatan Dokter Siantar …………………………………….f 6.000,-
Rumahsakit Pusat Simalungun …………………………..f 6.000,-
Jumlah f 39.600,-
Setelah selesai, menurut kesepakatan yang diambil tanggal 12 Nopember 1914, saluran air menjadi hak milik daerah Simalungun, akan tetapi para peserta memiliki hak khusus untuk mengatur pengaturan air. Perusahaan Jalan Kereta Api Deli dan Trust Investasi Perkebunan Karet sekama 30 tahun berturut-turut bisa memperoleh 50 M3; Yayasan Keputrian Siantar dan rumahsakit pusat Simalungun memiliki hak atas 85 M3 per sekali pakai selama masa itu. Untuk jumlah ini dipungut 5 sen per M3 air yang disediakan. Untuk menyediakan kebutuhan air tersebut, diperlukan jumlah air dua kali lipat dari jumlah yang diperlukan.
Saluran air diserahkan pengelolaannya kepada komisi pengatur Dana Negori. Lembaga ini berada di bawah pimpinan kepala pemerintah daerah (asisten residen). Lembaga ini memperhatikan kepentingan lokal di ibukota dan karenanya dianggap sebagai tangan panjang dewan masyarakat. Dana ini pada awal rencana pembuatannya akan dikembalikan oleh daerah setelah lembaga ini berjalan. Kewajiban pembayaran ini diambil dari masyarakat yang memanfaatkan saluran ini.
Rencana pertama sangat memuaskan, sementara persiapan dan pelaksanaan tehnis belum dilakukan sesuai aturan. Untuk pelaksanaannya belum ada sarananya. Air diambil dari sebuah sumber, berasal dari sumber yang letaknya berada di dekatnya, di dekat rumah pengelola perkebunan Simarito. Aliran hulu yang jaraknya paling dekat terletak di aliran kanan Bah Bolon. Kapasitas sumber adalah sekitar 1500 M3per sekali pakai. Pemakaian pada tahun 1918 mencapai sekitar 500 M3 per sekali pakai.
Ada kerugian bahwa sumber dan saluran pengairan berada di luar batas-batas daerah masyarakat. Kerugian ini diimbangi dengan ayat 2 pasal 3 dari LRO yang menetapkan bahwa kasus yang diatur oleh dewan ini yang terletak di luarnya dianggap termasuk juga daerah yang menjadi wewenang Dewan Lokal (lihat juga karya Mr. Schrieke, Aturan dan Prinsip Desentralisasi 1903, hal. 9).
Per sambungan keluarga, dipungut f 3. Penghasilan pada pertengahan kedua 1917 (pembentukan kotapraja) berjumlah f 6969,40. Penghasilan pada anggaran pertama (selama tahun 1922) ditafsirkan f 30 ribu. Pada bulan September 1918 saluran pengairan kedua dibuka. Seluruh kotapraja dipetakan (ukuran 1:1000) dengan tujuan untuk menunjukkan saluran utama dalam warna-warni, saluran kedua dan saluran rumahtangga diberikan dalam warna yang lain, dan selanjutnya semua berkas bantuan, sebagai penghubung dsb. dan semua sambungan baru ke kamar mandi, dsb. ditunjukkan di dalamnya.
Didirikan sebuah tempat kerja yang memadai. Di sini semua bahan disimpan. Pada saluran air ini disambungkan ke 5 kamar mandi kecil, di mana ada tiga: satu untuk pria dan dua untuk wanita. Sementara itu dari dua kamar mandi lainnya: yang ada di pasar ada satu seluruhnya untuk wanita dan satu untuk pria. Banyak orang memanfaatkan fasilitas ini. Pada tahun 1918 terdapat 331 sambungan dan pada tahun 1921 seluruhnya 513 sambungan.
Di pasar selain di kamar mandi dan WC yang ada di sana juga terdapat saluran air di gudang daging dan di lahan pasar. Pada tahun 1919 muncul sebuah sumber air di kampung Timbang Galung. Dengan tujuan untuk menerima suatu tinjauan yang lebih komersil dan untuk bisa mengembangkan akan kebutuhan dasar air yang lebih baik, pada tahun 1920 diputuskan untuk mengelola usaha saluran air sendiri. Karena lembaga itu telah ada, pengeluaran anggaran untuk usaha ini untuk pertama kali mencapai sebesar f 3000. Jumlah pengeluaran normal mencapai sekitar f 15 ribu. Saldo untung f 16.558 bisa dicatat sebagai keuntungan kotapraja. Pada anggaran tahun 1922 keuntungan murni usaha ditafsirkan f 23.541.
Suatu peraturan tentang pengairan sedang disusun. Secara rutin penelitian dilakukan oleh Dr. W.J. Bais atas kondisi air; inspeksi terakhir dilakukan pada tahun 1921 yang diperkirakan kondisinya sangat menguntungkan. Seorang penasehat tehnis pada tahun 1921 ditunjuk oleh Dewan untuk menduduki penasehat di lembaga bidang itu.
Usaha Pasar
Sebelum menggunakan lahan pasar yang ada di Pematang Siantar, pasar dikelola di lahan yang terletak di persimpangan jalan Wilhelmina dan jalan Marihat, di mana kini berdiri sebuah bangunan bioskop. Di tempat ini dibangun los pasar yang terdiri atas sekitar 32 tempat penjualan. Terbukti bahwa los pasar lahannya tidak lagi memadai menampung peminat yang jumlahnya meningkat. Oleh karenanya pada tahun 1913 dua los lain dibangun di lahan yang terletak tidak jauh dari pasar lama (juga di sini terdapat sebuah bangunan bioskop).
Los baru itu menyediakan lahan bagi sebanyak 24 tempat penjualan. Juga dibangun tiga los pada dua tempat berbeda yang tidak dimanfaatkan secara rutin oleh warga pemukiman ini. Namun, hubungan perdagangan tetap menyebar di pasar itu. Rata-rata hasil los yang pada tahun 1913 mencapai f 325 per bulan, naik menjadi f 654 per bulan pada akhir 1915. Dari sana rencana disusun untuk mendirikan sebuah pasar luas di lahan yang letaknya baru dan menguntungkan. Pada tahun terakhir diputuskan pembangunan empat los di sana, yang masing-masing berkapasitas 40 tempat penjualan, serta dibangun tempat khusus penjualan ikan. Seluruh beaya pembangunannya mencapai f 41.000.
Pada bulan Agustus 1916 pasar baru dibuka dengan upacara. Hasil persewaan tempat ini di los ini dan uang ternak masuk ke kas daerah. Pihak kotapraja segera melakukan pembicaraan dengan pemerintah untuk mengambil alih pasar dengan segala resikonya. Hasilnya adalah bahwa pada tahun 1918 los pasar yang dilainya ditaksir sebesar f 36.900 diserahkan kepada kotapraja. Jumlah ini dalam 11 tahun dibayarkan menurut rencana imbal beli, yang diperhitungkan dengan bunga sebesar 4% untuk bagian yang belum dibayarkan.
Dengan keputusan dewan kotapraja 2 Mei 1918 sebuah peraturan pasar disusun. Penghasilan dan pengeluaran berjumlah sbb:
Pertengahan kedua tahun 1917 f 6.859,20 dan f 1.610,60
1918 f 20.400,30 dan f 5.901,96
1919 f 24.231,06 dan f 10.015,28
1920 f 25.210,23 dan f 11.489,05 Kenaikan pengeluaran besar sejak 1919 merupakan suatu akibat dari pembayaran kepada penguasa pribumi Siantar sebesar f 3690 setahun (lihat di atas).
Selama kemunculan pes di Sumatra Timur, komisi kesehatan meneliti kondisi di pasar. Beberapa penjual tidur di los pasar, los dipenuhi dengan berbagai bahan makanan dan bahan dagangan, sementara mengenai kebersihan tidak pernah dibenahi. Sehubungan dengan munculnya penyakit itu, larangan mendadak dikeluarkan agar para pedagang untuk tidak menyimpan semua barang dagangan di pasar malam hari di sana. Kecuali untuk pedagang kain, pedagang harus membawa barang dagangannya setiap sore kembali ke rumah. Pasar pada masa-masa tertentu dibersihkan dengan air yang airnya diambil dari saluran yang ada di tempat itu.
Ternyata larangan itu pelaksanaannya membawa kesulitan besar. Namun, akhirnya bisa diselesaikan secara baik dan kondisinya menjadi lebih sehat. Los penjualan ikan hanya sebagian saja yang menjalankannya, karena para pedagang ikan tidak memanfaatkan bak air yang bersemen, yang telah disediakan. Mereka lebih suka menyimpan ikannya dalam peti kayu yang dibawa serta, dengan air separuh. Dengan tujuan memperbaiki penyimpanan, terutama di los penjualan barang-barang lain barang-barang bisa ditempatkan di los itu selama semalam. Untuk perluan itu diangkat 2 orang penjaga. Keuntungan yang diperoleh kotapraja selama tahun 1922 ditafsirkan mencapai f 13 ribu.
Usaha Pemotongan Hewan
Untuk usaha pemotongan hewan dibangun rumah pemotongan hewan yang dibagi menjadi dua bagian yang terletak di daerah Bah Bolon, dengan pengawasan dokter hewan kotapraja. Di bagian afdeeling pertama diperuntukkan untuk pemotongan hewan hewan besar dan kecil, sementara di afdeling lain (yang dipisahkan dengan sebuah tembok tinggi) dipotong babi. Pada tahun 1919 diputuskan untuk membangun sebuah rumah potong di jalan Marihat dekat Bah Silulu yang diatur menurut ketentuan modern. Untuk ini, diberikan pinjaman sebesar f 30 ribu. Seluruh beaya pembangunannya akhirnya mencapai f 37.200. Infrastrukturnya dibangun menurut sistim pavilyun, di tengahnya kantor dan laboratorium. Di kedua sisi pada jarak beberapa puluh meter kedua lobang pemotongan berada di satu sisi bagi hewan besar dan hewan kecil dan di sisi lain untuk babi. Pada kedua lobang pemotongan terdapat tempat terbuka untuk mencuci usus. Selain itu untuk mandi personilnya diperlukan infrastruktur . Beaya eksploitasi pada tahun 1920 mencapai sekitar f 11 ribu, sementara keuntungan ditafsirkan f 3132. Selama tahun 1922 beaya eksploitasi mencapai f 14.466,50 dan tercatat saldo rugi sebesar f 3000.
Setiap hari 4 ekor ternak besar, 8 babi dan 2 kambing atau domba dipotong. Upah potong untuk ternak besar dan untuk babi sebesar f 2,50; untuk kambing dan domba f 0,25. Selain itu dipungut upah periksa sebesar f 0,25 untuk ternak besar dan babi serta f 0,10 untuk kambing dan domba. Dokter hewan kotapraja menjadi direktur usaha potong dan pasar. Seorang mantri pemeriksa membantunya. Dia juga mengawasi pemerahan dan penjualan susu, juga dibangun infrastruktur di luar kotapraja yang menjual produknya.
Perlistrikan
Pada salah satu rapat dewan pertama, pelistrikan tempat ini dibicarakan. Pinjaman f 250.000 diberikan untuk membangun sebuah pembangkit, akan tetapi hingga sekarang belum terlaksana pembanunannya, karena rencana itu disusun untuk bersama pemerintah Hindia Belanda, dengan tujuan untuk memanfaatkan semua tenaga dari Bah Bolon yang mampu menghasilkan 800 PK, sebagai ganti 500 PK yang diperlukan kotapraja di tahun-tahun pertama (diperhitungkan sangat luas). Rencana ini disusun bertepatan dengan kondisi zaman yang tidak menguntungkan, sehingga kotapraja mencari jalan lain untuk membangun pelistrikan, tanpa menggeluarkan anggaran terlalu tinggi. Sekaligus, bersama dengan pabrik es Siantar, muncul penyelesaian terbaik, karenanya perundingan dengan PT. Hotel Siantar (yang mengelola pabrik es) dibuka dan akhirnya kesepakatan dirancang, di mana kotapraja akan membeli aliran seharga f 1200 sebulan dan akan mengelola distribusi dalam kotapraja.
Kotapraja akan membangun jaringan kota. Bahan-bahan untuk itu telah disediakan dan sebagian diterima di tempat itu. Untuk sementara pabrik es membantu Hotel Siantar dengan alirannya sendiri dan juga melengkapi daerah kotapraja dengan sembilan lampu penerangan. Akhirnya, masih sedikit ulasan tentang berbagai bidang di kotapraja.
Pinjaman Uang
Ada beberapa pinjaman yang jumlahnya mencapai f 519.000 yang digunakan untuk untuk membangun rumah (sekretaris, direktur proyek kotapraja, pengawas, dokter hewan) untuk membeayai pembangunan sebuah balai kota, untuk perbaikan saluran air, membangun rumah pemotongan hewan dan untuk pelistrikan. Pelunasan hutang dan bunga untuk jumlah yang dimuat dalam pengeluaran umum dimasukkan dalam anggaran kotapraja, yakni anggaran usaha. Jumlah seluruh pengeluaran selama 1921 adalah f 351.155.
Jalan dan Jembatan Kota
Perbaikan besar pertama dalam jaringan jalan kotapraja dibuka pada tahun 1918 dengan membangun jembatan beton lengkap di jalan Marihat dan meninggikan jalan ini. Hal serupa dilakukan pada tahun berikutnya dengan jalan menuju sekolah, di sini juga dibangun sebuah jembatan beton dibangun di atas Bah Bolon dan jalan setempat dinaikkan setinggi 3 meter.
Pengerasan jalan raya dimulai secepatnya. Lahan pasar seluruhnya diperkeras dengan padas. Di bagian antara pasar dan sekolah normal bagi para guru pribumi dibuka jalan pada tahun 1920. Jalan kampung bila diperlukan akan diperbaiki. Dengan subsidi pemerintah jalan Toba dan jalan Marihat diperkeras dengan menggunakan lapisan kerikil sampai perbatasan kotapraja.
Di lahan antara kedua cabang Bah Bolon di utara kampung Kristen dibuka jalan berkeliling untuk membangun sebuah kampung tinggal orang Eropa, yang disebut dengan taman villa. Jalan masuk jalan Toba untuk ini dibangun dengan membuat jembatan yang dibangun pada tahun 1921 terbuat dari beton berlapis. Juga disiapkan got, namun pengeluaran untuk pembangunannya sangat tinggi sehingga hanya dilakukan perbaikan yang sesuai dengan anggarannya. Untuk sementara pembangunan lebih lanjut belum dilaksanakan.
Pemadam Kebakaran
Dalam pembentukan kotapraja, pemadam kebakaran memanfaatkan bahan yang ada (sebuah pompa motor dan pompa tangan) dari dinas PU. Pada tahun 1918 dari kota Medan 3 pipa penyemprot masing-masing dibeli seharga f 100. Baru pada tahun 1919 dibentuk suatu organisasi pemadaman kebakaran yang layak. Pada bulan Juni tahun itu peraturan pemadam kebakaran ditetapkan untuk mengganti peraturan pemadam kebakaran yang ada di wilayah itu sejak tanggal 26 Mei 1887 (peraturan 23 Mei 1919).
Direktur PU kotapraja menjadi kepala pemadam umum yang dibantu oleh 6 juru pemadam, satu khusus ditugasi sebagai brigade tangga. Setiap petugas pemadam memiliki dua ajudan dan untuk penyemprot besar disediakan 30 tabung gas. Pegawai rendah disiapkan untuk mengoperasikan penyemprot kecil dan pipa motor, yang barangnya diambil alih dari PU. Ada 4 buah tangga kebakaran, dengan sebuah kereta yang dibuat khusus untuk itu di kotapraja. Kini di kotapraja terdapat empat rumah pemadam, satu buah bangunan ganda di lahan penjara, satu di kampung Timbang Galung, satu di pasar, dan satu di kampung Kristen.
Tanah Kotapraja
Tanah dalam batas-batas kotapraja termasuk daerah Siantar. Penguasa pribumi daerah Siantar merasa memiliki hak atas tanah ini. Segera setelah Pematang Siantar mulai berkembang (jalan diaspal pada tahun 1907 oleh Kontrolir 0'Brien) perlu untuk meletakan dasar hak tanah penghuninya. Pada tahun 1913 sampai dengan 1915 diberikan tunjangan kepada kontrolir pemerintah (Eropa, Timur Asing dan kaum pendatang pribumi) dan tunjangan raja (di negara-negara Melayu, tunjangan sultan namanya) untuk warga daerah.
Tunjangan raja ditegaskan dalam sejenis hak dengan jumlah tidak begitu jauh dengan hak yang tertulis dalam tunjangan kontrolir. Pasal 7 dari akta itu ditetapkan bahwa pengalihan hanya bisa terjadi bila warga adalah penguasa otonom atau setelah diperoleh persetujuan penguasa otonom. Di sini ditemukan contoh bagaimana aturan yang bertujuan melindungi penduduk pribumi terhadap pengaruh kuat dari luar dan terhadap ketidakadilan, memperoleh dasar yang sangat jelas khususnya bagi penduduk. Kaum imigran pribumi, seperti orang asing lainnya, menerima tunjangan seperti kontrolir yang menyediakan suatu hak. Secara ekonomis tunjangannya lebih tinggi daripada tunjangan raja. Di lapangan bukti menunjukkan bahwa tunjangan kontrolir berad di tangan warga pribumi. Dari segi hukum tidak ada kesulitan yang muncul. Akan tetapi dengan ini hak tanah yang diambil alih dari orang lain bukan berarti diberikan oleh penguasa pribumi.
Sementara itu, dalam Keputusan Pemerintah 7 Januari 1916 nomer 47 aturan mengenai pemberian tunjangan kontrolir dinyatakan dihapus, sementara ditetapkan bahwa mereka yang ingin memperoleh hak atas petak tanah, perlu meminta hak bangun. Terutama, perlu dicantumkannya dalam kadaster ukuran tanah, tafsiran nilai tanah yang ditetapkan oleh komisi yang diangkat untuk ini dan penjelasan serta pemberlakuan akta dalam periode tertentu yang semuanya tergantung pada Pengadilan Tinggi. Sangat disesalkan bahwa pencatatan ini tidak bisa dilakukan di kantor kotapraja, karena bagi pemerintah kotapraja sangat penting untuk mengetahui peralihan dan penegakan hak tanah di batas-batas kotapraja. Atas dasar ini, di kantor kota, peta kotapraja disimpan, semua tunjangan yang diberikan dan akta hak bangun dicatat, sementara daftar tunjangan kontrolir dan raja disimpan dan dirawat oleh kepala pemerintah daerah dan informasi selengkapnya tentang transaksi ini sehubungan dengan hak tanah diberikan kepada sekretaris kotapraja.
Dengan tujuan untuk memberikan hak bicara, sebuah komisi tanah ditetapkan. Seorang anggota dewan dan direktur proyek PU ikut duduk, yang memberikan nasehat tentang penyerahan tunjangan dan akta lain sehubungan dengan hak tanah ini. Dengan begitu, ada kemungkinan suatu pedoman tertentu dalam peraturan ini harus diikuti. Dengan begitu, kesulitan yang hampir tidak bisa teratasi harus ditertibkan, sehingga akan memperjelas bila ada orang yang meneliti tentang sejarah tanah di ibukota.
Banyak yang telah diberi tunjangan sebelumnya, dan terus berlanjut. 0rang menduga bahwa ini adalah hak. Dalam perkembangannya muncul perdagangan besar. Para spekulan mencoba memperoleh petak tanah secara murah agar memperoleh memetik keuntungan besar (yang diharapkan). Berbagai traksaksi tidak sah dan berkelanjutan terjadi. Memang ada kebijakan untuk meredam kekacauan ini. Komisi tanah telah bekerja. Sidang-sidang rutin diadakan dan semua yang bisa memiliki tanah atau menerima hak tanah.
Pada tahun 1918 sebanyak 170 tunjangan raja di kampung Kristen diberikan. Tonggak batas ditempatkan dan surat ukuran dikeluarkan. Untuk pemegang hak yang lain diharuskan untuk membayar beaya yang dibebankan. Pada tahun 1919 di kampung yang sama dikeluarkan 200 tunjangan. Kini, banyak hal yang bisa diteliti secara cermat perbedaannya. Akhirnya, raja Siantar diberi pertimbangan agar dapat menegakkan hak yang terbaik.
Penduduk, yang pertama menentang peraturan ini, meminta bantuan pengacara di Medan untuk menentang nasehat komisi. Akan tetapi secara perlahan-lahan semakin banyak kesimpulan dicapai bahwa jalan yang ditempuh selama ini adalah yang terbaik. Juga bagi yang berkepentingan bisa diperoleh hak atas petak tanah di kotapraja. Pembayaran dilakukan secara rutin. Aturan-aturan ini dipertahankan secara ketat. Komisi mencatat semuanya yang dituangkan melalui sarana sistim pemetaan yang dibuat sederhana.
Kotapraja terdiri atas berbagai kampung, yakni sebuah kampung khusus kaampung untuk orang Eropa (diperluas dengan taman villa antara kedua cabang Bah Bolon), sebuah kampung dagang (terutama Cina, tetapi juga kedeh-kedeh lain), Timbang Galung (Islam), Kampung Kristen (Toba), Kampung Jawa dan kampung luarnya. Penduduk Batak asli di huta Pematang Siantar tertarik daerah yang khusus dikuasai oleh penguasa pribumi (sebuah lahan di dalam kotapraja) dan beberapa kampung luar. Untuk tanah yang terletak di kampung ini berbagai cukai (hasil tanah) dipungut, yang berjumlah untuk :
- Kampung Cina atau kampung dagang 7 1/2 sen per M2
- Kampung Eropa 5 sen per M2
- Timbang Galung 3 sen per M2
- Kampung Kristen 2 1/2 sen per M2
Pendidikan di Kotapraja
Di bidang pendidikan, dewan membantu dalam bidang keuangan sebisanya. Yayasan sekolah di Simalungun menerima subsidi tahunan f 6000 sementara Yayasan Pribumi Sekolah Boemi Poetera diberikan subsidi sebesar f 3600. Juga kepada yayasan sekolah Cina diberikan subsidi dengan syarat tertentu. Namun mengingat orang tidak memenuhi syarat-syarat ini, subsidi tersebut dicabut setidaknya tidak dibayarkan.
Kebijakan kotapraja di Siantar telah mencoba memanfaatkan faktor-faktor menguntungkan dari tempat ini sebagai pusat pemukiman untuk menarik penduduk ke sana. Di sana dibangun prasarana yang diperlukan bagi kesehatan (saluran air, rumah potong hewan, pengawasan antar pemerahan dan penjualan susu); di sana, diberikan bantuan dengan memperhatikan atau memajukan pendidikan bagi semua kelompok penduduk. Kampung perumahan yang luas dan jalan yang lebar dibuka yang dilengkapi dengan penerangan yang baik. Semua ini dibangun dengan mengambil dari hasil pajak kotapraja. Dengan cara ini Pematang Siantar dicoba untuk menjadi tempat tinggal ideal di mana kebijakan pemerintah, kondisi alami, dan akhirnya perusahaan perkebunan di sekitarnya (cuaca dan keindahan alam) bersama-sama mencapai tujuan yang sama.
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Huis_Pematangsiantar_TMnr_60021752 |
Segala masukan dan koreksi sangat terbuka untuk mengedit artikel ini (open source) yang tentunya dengan data dan fakta serta sumber berita yang akurat sehingga apa yang menjadi koreksi bisa bermanfaat untuk menambah "celah-celah" yang hilang dari sejarah SIMALUNGUN pada umumnya, dan sejarah MARGA/BORU GIRSANG pada khususnya.
Terimakasih
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
0 komentar:
Posting Komentar
No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -