GIRSANG VISION : IDE ARTIKEL DAN DOKUMEN MILIK SAUDARA DORI ALAM GIRSANG.
Parsilihi
Legenda ini menyangkut kemunculan parsilihi. Seorang anak Barita penghulu kampung, sakit keras. Di rumah si Barita juga tinggal pengumpul bagot (tuak) yang pada suatu hari di dalam hutan mendengar tiga begu saling berbicara. Mereka akan pergi ke rumah Barita pada malam hari dan mengambil tondi anaknya (anak itu akan meninggal). Para begu itu adalah Si Berang, Si Sorpu, dan Si Siri-siri. Si Berang berkata takut pergi ke rumah manusia, karena di sana manusia menyiapkan sepotong kayu andorasi yang menyala (andorasi adalah sejenis pohon).
Si Sorpu menjawab bahwa sebaiknya mereka saling menjaga dan menempuh jalan yang berbeda. Dia sendiri akan masuk ke dalam lewat tangga. Si Berang menyusulnya melalui tiang tengah dan Si Siri-siri akan memanjat tiang yang pendek. Di tengah, mereka akan saling menunggu karena di sana mereka akan mati. Kini Si Berang bertanya bagaimana melakukannya bila manusia mengetahui rencana mereka dan mendatanginya dengan api. Tetapi Si Sorpu menjawab: “Kita bukanlah begu yang bisa menunggu bila tidak bisa menemukan persimpangan di jalan itu. Ketika seorang anak berada di sana, maka akan lebih mudah.” Pencari bagot mendengar lebih lanjut, “Kita semua puas dengan pengganti berupa penyakit. Ketika orang memotong batang pisang dalam bentuk manusia dan ada seekor ikan bakar, seekor ayam dan seikat bunga dari tiga jenis bersama empat lembar daun sirih yang diikat dalam empat batang, maka kita akan puas juga”.
Pencari bagot terburu-buru pulang ke rumah Barita. Setelah menyampaikan semuanya yang dia dengar, dia membakar sesuatu pada ranting pohon andorasi dan menyiapkan adonan sirih sambil berdoa: “Hung sipasarasara sipasirisiri, laga diam nagori. Songkik nagori songkik, sungkak songkikon begu paralop sahmat”. Terjemahannya berbunyi: “Bersihkanlah segalanya karena mereka membahayakan tanah ini, jadi tenanglah, cekiklah mereka demi tanah ini, usirlah para begu yang menanti”.
Selain itu orang berusaha memenuhi semua yang diinginkan oleh begu menurut pencari bagot. Misalnya, anak itu disiapkan dan sebagai gantinya roh-roh jahat puas dengan parsilihi dan sesaji yang dibuat anggota keluarga pasien. Kini kebiasaan itu masih sering diterapkan, tetapi (seperti yang disampaikan penyaji lagenda itu) tidak selalu berhasil, karena begu sangat berani hingga berani memasuki rumah pasien. Beberapa kali terjadi yang menyebabkan pasien meninggal.
Ketika seseorang meninggal, tondinya yang berkeliling di sekitar itu akan diperhatikan dan diberi makan, diberikan apa yang dia butuhkan. Orang tidak akan mengganggu tondi ini karena hanya akan menimbulkan penderitaan. Tondi dari seorang yang sudah meninggal juga disebut begu, tetapi perasaan takut tetap melekat bila mendengar kata ini. Dari situ bisa terbukti bahwa harimau disebut begu pangatah atau begu pemakan daging mentah. Roh leluhur yang telah lama meninggal disebut silaon, sementara kerabat yang baru saja meninggal disebut simagot.
Hal ini dianggap sangat penting bila seseorang mendadak meninggal menuntut janji perlindungan dari yang masih hidup. Menurut keyakinan ini terdapat asal usul upacara mengerikan yang dimaksudkan untuk memberikan sesaji (panihat atau pupuk) yang terdiri atas bagian tubuh wanita yang diambil oleh pria setelah kematian yang mendadak untuk memenuhi janjinya. Orang lebih suka menggunakan wanita hamil, sementara anak bajang yang belum lahir dicampur dalam sesaji yang berupa bubur itu.
Untuk itu, orang mencari seorang wanita yang kondisinya seperti itu, memberinya makan selama beberapa saat, sambil mengatakan kepadanya bahwa dia akan dibunuh yang akan menjadi berkah demi kepentingan suku yang menangkapnya. Ketika akhirnya wanita itu mengajukan pertanyaan apakah ia tetap dibiarkan hidup (sering dengan tujuan untuk mengakhiri semua penderitaan) yang dijawab dengan “ya” sambil mendongakkan kepalanya dan orang memasukkan cairan timah ke dalam mulutnya, yang telah disiapkan sebelumnya. Orang mendadak memotong urat nadinya, dan tidak lagi mendengar teriakan terakhir wanita. Janin yang belum lahir dan masih berada di dalam perut wanita dikeluarkan dan dibuat bubur kemudian dicampur dengan beberapa daging binatang lain. Suatu masakan sejenis panihat menurut informan saya sudah tidak ada lagi selama tiga generasi.
Selain unsur-unsur dari tubuh masnusia, masih ditambahkan lagi bagian tubuh harimau, beruang, macan kumbang, babi hutan, anjing dan kera. Selain itu kepala ular beracun (dareh tongor, dareh tungkil, dareh arsam, upar, tobayas, batgu burung dan ohok) atau berbagai serangga beracun seperti owol-owol, sikusui, waltong, bala borngin, huramah (lebah), ranggiting dan guan serta daun dari tanaman beracun akan menjadikan adonan itu sangat dipercaya kekuatannya oleh manusia.
Ketika sesaji yang berupa panihat telah layak disiapkan, orang bisa menggunakannya dengan tiga cara:
Permalim
Kini akan diulas sekte permalim (parmalim) yang telah disebutkan pada awal buku ini. Ada banyak hal yang ditulis tentang permalim, biasanya dalam arti peringatan yang menunjuk pada musuh, terhadap pemerintah dan pandangan para pengikut ajaran Kristen. Saya kembali pada pandangan yang tidak benar ini. Selanjutnya ada penjelasan tentang sekte ini tersendiri, kemunculannya dan ajarannya.
Ada berbagai sekte yang disebut permalim, tetapi saling berbeda pandangan.Tentang makna kata permalim terdapat perbedaan pendapat. Keterangan bahwa istilah ini berasal dari kata Arab mo’alim (malim), ulama, guru, pemimpin, suku, yang oleh banyak orang juga dimaksud sebagai orang yang taat, sangat mungkin bagi saya. Sekte asli ini dicetuskan oleh Guru Somalaing, seorang kepercayaan (beberapa menyebutnya datu yang hidup) dari Sisinga Mangaraja. Dia telah mengikuti peneliti Italia Modigliani mengembara pada tahun 1889/1891 dalam perjalanannya ke selatan danau Toba dan membantu menangkap serangga dan mencari tanaman. Dalam perjalanan ini seperti dikatakan dalam literatur tentang permalim, dia telah banyak mendengar ajaran Katolik. Dari situ, dia telah menggunakan ajarannya untuk membentuk agama baru sehubungan dengan keyakinan Batak asli, yang memasukkan unsur-unsur Islam. 0leh seorang saudaranya yang banyak berhubungan dengan para pedagang Melayu di pantai timur Sumatra, dia sangat mengenal Islamisme dan setelah itu ia mengambil alih unsur-unsur yang ada dalam keyakinan Islam.
Dari pihak zending pembentukan ajaran baru ini dijelaskan dari perasaan tidak puas dengan keyakinan animisme dan penolakan untuk menerima Kristen atau agama orang asing lainnya. Beberapa saat setelah kemunculan sekte Guru Somalaing, Nasiakbagi atau Porsiakbagi (yang lahir dalam kondisi miskin dan menderita) telah menyebarkan ajaran yang dalam beberapa hal agak menyimpang di Balige. Permalim yang muncul di Simalungun mengambil ajarannya dari aliran ini.
Tentang ajaran ini kami bisa memberikan wawasan karena kami pernah menghadiri ibadahnya, yang diadakan setiap hari Sabtu. Ternyata, ini menyerupai ajaran yang terdiri atas berbagai bagian, yang bertumpu pada prinsip tertentu dan menerapkan beberapa formalistas. Untuk memulai ibadah ini, digelar sebuah tikar di tanah. Ketika itu, sebuah pot tanah dan sebuah mangkuk porselen dengan panguras diletakkan sebagai penghormatan, yang disertai dengan kemenyan. Panguras ini merupakan sejenis minuman yang terdiri atas air, yang dicampur dengan getah jeruk, kunyit dan ruku-ruku (daun bane-bane).
Guru atau tokoh agama menempatkan dirinya di tengah tikar itu. Di sampingnya duduk tiyangaras. Tiyangaras adalah sejenis dokter (para tabib dan tokoh agama), yang membawa obat tertentu untuk segala penyakit, yang ramuannya telah dipelajari oleh Porsiakbagi. Getah jeruk, kunyit dan sebagainya berada di tempat ini untuk memunculkan unsur-unsur kehidupan. Cairan ini ditambahkan kikisan timah ditambahkan yang kemudian digunakan oleh tiyangaras.
Seperti telah dikatakan, orang berdoa agar bersih, agar bisa menghapuskan semua kotoran dalam tubuh dan melenyapkan kegelapan jiwa agar perintah para dewa bisa diikuti. Berturut-turut dipanggil:
Ibadah diakhiri dengan doa yang disertai dengan mantera agar bersih dari kotoran dan kegelapan menjauh dari kita. Hal ini dimaksudkan agar kita bisa mengikuti perintah dewa secara layak. Setelah itu, guru meniup uap dupa dari pot tanah, setelah api mengepulkannya. Guru juga meniup kembali sesuatu yang diberikan kepada seseorang. Akhirnya, sedikit uap dari panguras yang ada di porselin diminum.
Ajaran ini selanjutnya menuntut agar setiap tahun pada bulan Batak ketujuh (Sipaha Pitu) para pengikut permalim menggunakan belukar pahit selama tujuh hari dan pada hari kedelapan menggunakan tanaman manis (mungkin dengan ini dimaksudkan sebagai semacam puasa).Pada bulan delapan (Sipaha waluh) sebuah upacara sesaji besar diadakan. Kemudian sejenis altar (langgatan) dibangun, yang dibuat dari sebuah pagar segi empat dari kayu di mana lauk-pauk diletakkan terbuka di atas rotan. Sebuah bendera berwarna merah, putih dan hitam menutup seluruhnya (ini adalah warna yang dalam keyakinan Batak juga digunakan oleh guru dan datu. Kita telah melihat bahwa Bindu Matoga digambarkan dalam tiga warna pada penggunaan mantera ini di atas tanah). Pada puncak keempat ujung bingkai kayu dari langgatan ini diletakan ranting tanaman. Selama upacara, disajikan sebuah kotak. Orang membawa nasi serta bahan makanan lain, dicampur kembali dengan air jeruk dan kunyit, yang merupakan tindakan dan peralatan para pengikut permalim. Setelah itu muncul wanita dan anak-anak.
Pada bulan kesembilan (sipiga siah) dilakukan upacara pesta umum. Selain itu menurut ajaran permalim darah, daging babi (di sini para penulis lama tentang permalim kembali menduga menjumpai pengaruh Islam. Namun, mereka bisa merujuk pada berbagai tempat dalam Perjanjian Lama seperti Lviticus 17; ayat 10-16, yang bisa memberikan bukti asal-usul dari Kristen), anjing, tikus dan kucing dilarang dimakan. Sepuluh aturan atau larangan seperti telah disampaikan ditemukan pada pengikut permalim.
Mereka percaya seperti halnya para pengikut Adven Hari Ketujuh bahwa segera tujuh hari yang mengerikan akan terjadi, didahului dengan sehari pengadilan terakhir. Semua yang bukan pengikut permalim akan mengalaminya. Dengan membawa jimat orang permalim bisa kebal, sehingga pada hari-hari tertentu para penjual jimat bisa meraih keuntungan besar. Penulis berkali-kali telah mengadakan kontak dengan pengikut permalim Simalungun dan memiliki kesan bahwa mereka adalah warga yang patuh.
Mengapa sekte ini dianggap sebagai sekte berbahaya, tidak jelas diketahui. Tentang hal ini, pada tahun 1911 dan 1912 letnan pada dinas topografi Horsting telah bertindak, yang dalam laporannya memberikan gambaran simpatik tentang permalim. Pada bulan Maret 1913 dalam sebuah polemik, Pendeta Brinkschmidt membantah dengan tegas pandangan pendeta dan orang-orang lain yang menganggap sekte ini membahayakan bagi pemerintah dan zending. Jelas mengapa penyebaran ajaran permalim menjadi duri di mata para pendeta. Para pengikutnya permalim memeluk kepercayaan positif. Ketika unsur Kristen muncul, penyebaraan agama Kristen terhambat. Sejauh ini sekte permalim menolak Kristen dan zending, dan orang bisa menyebut pandangannya bermusuhan. Namun, tampak bagi saya bahwa pertimbangan tersebut, sehubungan dengan beberapa ungkapan yang bersifat membahayakan (seperti penjualan jimat) dan mengarah pada tindakan tegas terhadap permalim, perlahan-lahan muncul pandangan bahwa orang di sini menghadapi suatu gerakan yang memusuhi pemerintah. Akan tetapi, di sini orang lupa bahwa membawa jimat merupakan kebiasaan yang tersebar luas di kepulauan ini dan sekitarnya dan juga tidak pernah bisa dianggap sebagai bukti pelanggaran hukum.
Ibadah seperti yang saya hadiri diadakan secara khidmat. Di kampung-kampung permalim terdapat warna kedamaian. Dalam kesatuan ini tinggal beberapa orang pada pemukiman yang letaknya saling terpisah, yang tidak tergabung dalam sekte ini atau kembali menarik diri tanpa mengalami tekanan baik dari permalim maupun dari mereka sendiri. Selain itu, orang berpikir bahwa banyak prinsip yang muncul pada permalim bersifat umum yang berlaku sepanjang waktu di seluruh dunia.
Mereka yang mendirikan ajaran ini dianggap berada di antara semi-dewa atau orang suci, dan ketika meninggal doa-doa dikirimkan ke makamnya, yang jelas menunjukkan kesalahan karena ditonjolkan daftar dosa mereka sebagai faktor pengikatnya. Di mana-mana di tempat lain orang bisa menemukan bentuk yang berbeda. Kami tidak perlu beralih pada orang suci Katolik untuk mencari doa-doa yang bentuknya mirip. Dalam karya Profesor Snouck Hurgronje tentang Aceh pada halaman 158 jilid I dapat dibaca,"Dari lingkungan ini para wali muncul, sahabat Allah yang menurut simbol-simbol keajaibannya (keramat) diangkat oleh Tuhan menjadi di atas manusia, karena mantera dan kemampuan menyembuhkannya, doa-doanya untuk sementara bisa memberikan manfaat atau penderitaan. Setelah kematiannya makam-makam mereka masih memiliki berpengaruh". Dan sebelumnya dikatakan,"Selanjutnya mistik yang tumbuh dalam Islam membawa serta bahwa para pendiri ikatan mistik (tariqat) di lingkungan mereka menjadi guru mantera mereka atau ajaran mistik sebagai wakil Tuhan yang ditaati oleh para muridnya, ditakuti dan dihormati oleh orang lain".
Sesuatu yang kita temukan di masa lalu, melalui pendewaan orang-orang yang berjasa menambah panjangnya sejarah para dewa ini. Kemudian, apakah penghormatan fetisisme Sisinga Mangaraja di sini dan Raja Brooke oleh suku Dayak merupakan sesuatu yang berbeda?
Kami tidak bisa meninggalkan masalah agama sebelum berbicara sedikit tentang gerakan Parhudamdam, yang bersifat agama (beberapa orang menduga politik keagamaan), dan yang pada tahun 1917 para pengikutnya di Simalungun meledak bagaikan lautan api. Sebagai akibat dari terjalinnya hubungan dengan daerah-daerah lain yang dihuni oleh suku Batak (terutama dengan Toba dan Samosir), ungkapan-ungkapan yang ada di seberang danau Toba muncul dari apa yang sedang terjadi di antara penduduk. Misalnya, gerakan ini berhasil menyebar dari Tapanuli ke Simalungun dan daerah-daerah lain di pantai timur Sumatera. Penyebaran pesat ajaran ini sangat mengagumkan dan membuat pendeta zending yang berkarya di sini pada tahun ini keberhasilannya pembabtisan masuk Kristen kurang mencolok, menuntut agar ada tindakan seperti yang terjadi dengan agama baru ini.
Namun gerakan Parhudamdam ini bukan agama baru, meskipun orang menyebut agama Parhudamdam. Berbagai guru muncul dan menyampaikan berbagai hal takhayul kepada penduduk. Mereka menyebarkan bahwa dengan masuk parhudamdam tidak akan ada lagi kesulitan dengan penggarapan kerja wajib dan pembayaran pajak. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa orang akan dibebaskan dari kewajiban yang menekan sehingga dari pihak pemerintah harus diambil tindakan tegas, tetapi selain itu semua gerakan itu memberikan jalan bagi pengungkapan ketidakpuasan yang telah lama terbungkam, kadang-kadang menunjuk pada kekecewaan yang meledak, sementara para guru (yang banyak pendukungnya) mengakui bahwa masa yang lebih baik akan tiba dan roh Sisinga Mangaraja, satu-satunya raja Batak yang besar, akan tenang dan semua yang meminta bantuannya akan terlindungi dengan memasuki parhudamdam ini.
Gerakan parhudamdam bukanlah gerakan pertama yang menarik sebagian bangsa Batak dalam janjinya untuk memperoleh masa depan yang cerah. Suatu prinsip serupa muncul pada tahun 1910 ketika para guru meramalkan kedatangan sejenis Mesias, yang mereka sebut Porsiakbagi dengan kelahiran penuh penderitaan, yang kedatangannya akan didahului dengan pembasmian umum dari semua yang tidak mengikuti ajaran baru ini. Untuk itu, orang menjual jimat agar setiap pengikut akan selamat. Setelah uraian di atas tentang sekte permalim, tidak perlu terlalu ditekankan untuk mengetahui bahwa gerakan ini berkaitan erat dengan ajaran permalim. Kisah-kisah mitos tentang penghancuran dunia, yang membawa jimat yang telah dijual akan terlindung, beredar dan diterima dengan yakin oleh orang-orang yang percaya.
Terhadap hal ini orang menduga hanya bisa bertindak dengan tegas, seolah-olah sarana untuk memberantas kebodohan! Semakin lama semakin banyak gerakan parhudamdam yang muncul di Tapanuli pada tahun 1917. Gerakan ini berasal dari Barus. Pada bulan Agustus 1915 seseorang bernama Jahman telah membawa ajaran gerakan itu. Pada bulan ini dia sakit keras atau setidaknya dilaporkan demikian. Ketika itu dia kehilangan kesadarannya. Dia berada dalam kondisi ini selama jangka waktu lama dan hanya gerakan lemah dari anggota tubuh dan badannya yang tampak, sehingga dia dianggap masih hidup. Ketika orang berkumpul dia mampu kembali menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dia melaporkan telah dibawa pergi oleh seorang pemuda ke langit, yang tinggal di sana siang dan malam. Di sini Debata (dewa) telah mengajarkan sebuah agama baru kepadanya yang membuatnya kebal. Dia menerima perintah turun ke bumi dan menyebarkan ajaran itu.
Dia memiliki pengikut langsung. Betapapun aneh tampaknya, banyak orang bodoh di antara mereka yang menerima begitu saja kisah-kisah dan ramalan yang sulit dipercaya. Jahman di mana-mana ada pengikutnya. Selama gerakan Parhudamdam di Simalungun seorang kepala kampung biasa mengakui dirinya adalah Allah sendiri dan banyak orang datang kepadanya dari dekat dan jauh untuk membuktikan sendiri, menghormatinya dan memberinya upeti. Ketika Allah ini ditangkap, dijumpai uang sebanyak f 240 di rumahnya yang dikumpulkan oleh penduduk kampung yang diberikan kepadanya (di Sulawesi Selatan kemunculan Batara Gowa yang kembali menghebohkan, lebih dari satu abad lalu telah dibuang ke Ceylon sebagai raja Gowa, karena berbagai alasan mengakui kembali sebagai penipu yang mengungkapkan dirinya yang akhirnya mati menggantung diri).
Yang menarik pada parhudamdam adalah ungkapan kultus kemakmuran, yang juga sering muncul dalam kepercayaan orang-orang primitif. Pada tahun 1917 dan 1918 seolah-olah upacara meriah pemujaan Dionysos untuk menghormati Daemon Sabazios mendadak muncul kembali di tanah Batak. Kita tidak perlu pada masa ini menghidupkan kembali gambaran pesta pora Yunani dan Romawi dari buku para arwah, kami bisa menghadiri drama seperti yang digambarkan di sana pada masa kini, sandiwara yang pada malam gelap setelah tidak disadarkan dengan menggunakan panguras, melalui gerakan kepala dan tubuh tertentu dalam sikap duduk, berada di luar dirinya (ekstasi = keluarnya roh). Kemudian, orang berada dalam kondisi bahwa roh Sisinga Mangaraja atau pribadi lain yang telah didewakan merasuki tubuhnya. Mereka bisa ditanya yang jawabannya ingin diketahui orang.
Selain meminum panguras, orang menghisap dupa (kemenyan) dan berbagai kata-kata yang sulit dipahami diucapkan sebagai doa keselamatan. Manteranya adalah "Digi digi dam dam besi dam dam dam sigudam dam besi dam". Untuk gerakan ini disebut parhudamdam atau pargudamdam. Kadang-kadang orang memberinya nama parhorasan (horas = sejahtera) atau sebutan lain yang sejenis (penggunaan berbagai sebutan gerakan ini telah membuat beberapa orang menduga bahwa dimaksudkan untuk membuat pemerintah kebingungan. Namun pandangan ini tidak bisa dibuktikan. Sebaliknya pergantian nama pada orang dan barang memiliki peranan dalam masyarakat Indonesia, sehingga dalam prinsip seperti gerakan parhudamdam juga tidak ada hal khusus yang bisa dilihat). Jika orang tidak sadar, maka dia akan berada dalam kondisi agak gila dan drama yang lucu akan muncul.
Keyakinan ini di mana-mana dikenal di kepulauan ini dalam bentuk syamanisme, tetapi juga di luar daerah dan di sepanjang sejarah baik dalam bidang agama maupun dalam bidang lain (somnambulisme, profeten, medium). Keterlibatan dalam kondisi bawah sadar bisa disebut sebagai "bangun" dan ketika para murid guru yang di mana-mana rajin mencari pengikutnya bisa terjebak dalam kondisi ini secara mudah, rakyat yang bodoh takut untuk mengikutinya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa banyak (terutama anggota muda) yang percaya pada ramalan para guru itu.
Para pengikut Jahman melakukan tindakan pelanggaran, menghasut dan menyebarkan ajaran yang membahayakan ketertiban, sementara juga sejumlah penipu menyalahgunakan kepercayaan penduduk untuk memperkaya dirinya, yang merupakan penyebab pengambilan tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, gerakan ini harus diberantas secara cepat dan tegas bila mereka terbukti dengan pandangan serupa yang dianut rakyat bisa tumbuh dengan cepat yang akhirnya membahayakan mereka.
Dengan demikian jangan pernah dilupakan bahwa massa yang percaya di satu pihak muncul karena kebodohan, di lain pihak karena tidak puas dengan kondisi yang ada. Meraka bergabung untuk meramalkan kondisi lebih baik dan mengenal sarana untuk membangkitkan fantasi rakyat. Ajaran umum ini menjadi bukti bahwa ada hal-hal yang membuat rakyat gelisah. Dalam kasus itu, tugas para pejabat pemerintah adalah memberantas ungkapan-ungkapan (betapapun bodohnya) dan menarik kesimpulan dari situ untuk memberikan bimbingan yang benar kemudian menindak mereka yang tampak jelas terlibat. Jika mereka bertindak terlalu tegas, maka mereka akan kehilangan hubungan dengan penduduk. Semua ini dilakukan dan diteruskan secara diam-diam, sementara kesempatan bagus untuk mendengar tuntutan rakyat lenyap. Suatu bangsa Timur yang terbelakang bisa dikuasai oleh orang asing, yang tetap tidak paham dengan tindakan itu karena mereka dicegah untuk berbicara.
Pandangan serupa yang hidup di seluruh rakyat Batak telah banyak dikenal, tetapi selalu diabaikan. Cara memungut kerja wajib dan pajak tidak bisa melalui hasil penelitian yang netral. Ungkapan kekecewaan tentang ini ditonjolkan sebagai unsur yang berlawanan dengan gerakan itu. Dalam tinjauan dari pihak zending, pemerintah dan pihak lain yang lebih obyektif tentang gerakan parhudamdam dan permalim, kadang-kadang tanpa usaha apapun ingin membuktikan pandangannya, memberikan keterangan bahwa ajaran itu ditujukan kepada pemerintah.
Ketakutan yang muncul menimbulkan dampak yang besar akan hal ini terutama ditujukan pada kaum politisi yang minimal bisa menimbulkan gangguan ketenangan pada mereka yang percaya, walaupun mereka hanya membangkitkan perasaan yang dapat mendorong gerakan itu. Parhudamdam di Simalungun paling berhasil karena tanahnya sangat gersang, terjadi gagal panen, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kemiskinan pada penduduk. Dengan pembongkaran guru-guru palsu, dengan terjebak pada kesulitan yang diketahui, melalui pendekatan kepada penduduk, gerakan parhudamdam bisa ditekan penyebarannya dan akhirnya akan lenyap.
12.Aturan Pantangan, Larangan dan Pertanda Buruk
Ada serangkaian larangan yang berlaku dari dulu, yang sebagian besar masih berlaku hingga sekarang di suku Batak Simalungun yang menciptakan bencana atau hukuman dalam pelanggaran. Selain itu, orang mengenal juga sejumlah pertanda buruk. Bisa dibedakan dalam tiga kategori:
Kini orang menggunakan kata itu sebagi jenis pelanggaran lain atas aturan larangan yang dibuat oleh adat. "Pantangan" merupakan setiap tindakan atau peristiwa yang mendatangkan bencana. Namun, dalam bahasa pergaulan kata ini juga memiliki makna yang lebih umum, sehingga semua yang menyangkut marobu atau simandatang juga bisa disebut dengan istilah "pantangan". "Simandatang" bisa diterjemahkan dengan "tanda-tanda, bahwa akan terjadi suatu bencana". Bila sesuatu dianggap pantang, ada peluang melanggarnya, merupakan tanda-tanda awal datangnya bencana. Mandatangi merupakan suatu tindakan yang sengaja untuk tidak menciptakan bencana. Dengan melakukan tindakan ini, malahan dianggap sebaagai mengundang bencana.
Misalnya ada marobu untuk menyebut nama raja dan di Tanah Jawa dengan mengucapkan suatu kata yang dimulai atau diakhiri dengan "hor", karena dulu ada seorang raja yang bernama Horpanaluan. 0rang harus menyebut seekor kerbau "Siranggas" (horbo); untuk pembelian orang tidak digunakan istilah "tuhor" tetapi "boli". Di Siantar orang tidak boleh menyebutkan kata yang dimulai atau diakhiri dengan "sang", juga menyebut kata "walu" (delapan) karena raja dahulu bernama Sangnawalu. Di sini sebagai ganti "sangge-sangge" (semacam sayuran) orang menggunakan "hosaya ganjang" pisang disebut "punci" sementara orang tidak menyebut angka 8 "uwalu" melainkan delapan. Ketika kini orang mendengar kata yang dilarang diucapkan, orang bisa mengadukan pelanggar karena marobu. Sebaliknya, selalu ada pantangan (juga apabila orang sepakat) untuk menyebut nama sendiri atau nama orangtuanya.
Kini di bawah terdapat aturan-aturan larangan dalam beberapa kasus. Pantang mangimas ladang (dalam membuka ladang) adalah pantangan menggarap ladang ketika pada awal pembukaan suatu peralatan dari baja hilang. Ketika baragi (burung) berbunyi "piut-piut", orang berpikir sebaiknya tidak meneruskan pekerjaan. Karena hasil yang akan dipetik adalah piut (menciut).
Sebaliknya apabila suatu tanda dianggap sangat baik, ketika leto atau siburuk (jenis burung) berbunyi "gup-gup", yang berarti penambahan hasil. Pantang di tongah juma (aturan larangan di ladang) terdiri atas:
Pantang sanga ro simaring kuning pantangan selama senjakala di ufuk pada sore hari, yang terdiri atas:
Pantang mardahan boras pantangan dalam memasak nasi. Pantangan untuk menyanyi ketika memasak nasi atau ketika seorang wanita melepas ikat kepalanya (bodang-bodang), atau bila dua periuk saling berderet diletakkan dan air akan dituang pada beras (marsibake). Pantang sangat makan adalah pantangan pada waktu makan terdiri atas:
Pantang sangat borngin (pantangan pada malam hari):
Imigrasi 0rang Toba
Simalungun, sebagai daerah pertanian yang subur sebelum daerah ini ditenangkan di bawah pengaruh pemerintah, hampir tertutup bagi orang Toba. Perjalanan melalui danau Toba sangat berbahaya karena adanya perompakan yang dilakukan secara besar-besaran. Adanya saling perang di antara para raja di daerah ini membuat Simalungun kurang menarik bagi orang asing untuk tinggal di daerah itu. Emigrasi orang Toba ke wilayah ini juga tidak terjadi (pada masa lalu seperti yang diketahui dari legenda, lalu-lintas lebih padat. Pengaruh adat dan kebiasaan Toba di daerah Simalungun juga tampak terasa).
Setelah hubungan antara pejabat pemerintah Eropa di Labuhan Ruku dan tanah-tanah Batak yang merdeka meningkat dan pada tahun 1904 seorang pendeta dari Rhinische Missiongesellschaft ditempatkan di sekitar Bandar. Pengaruh yang lebih baik mulai terasa di antara penduduk. Namun, karena mereka dihinggapi oleh kemalasan dan keterikatan akan candu dan judi, segera pendeta ini mencoba mengajak warga dari daerah yang kelak berhasil digarap pada tahun-tahun mendatang, untuk pindah ke sana dengan maksud membuka dan menanami daerah yang luas dan subur itu untuk dijadikan ladang persawahan.
Setelah berunding dengan Kontrolir Batu Bara dan Toehan Bandar saat itu (kepala adat setempat) tanah ini dibuka bagi imigrasi orang Toba. Pemerintah menyediakan dana yang digunakan untuk pengairan, sementara juga dari pihak swasta disediakan dana untuk menyempurnakan proyek itu. Pada mulanya hanya sejumlah kecil orang yang berhasil dibujuk untuk pindah ke Bandar. Jumlah imigran (wanita dan anak-anak ikut dihitung) pada tahun 1907 masih sebanyak 280 jiwa dan pada tahun 1912 mencapai sekitar 1760 jiwa.
Penyakit dan kematian memakan banyak korban, karena kaum pendatang daerah ini bercampur dengan kaum pendatang dari daerah yang cuacanya lebih dingin, seperti Angkola dan Mandailing. Usaha yang pertama tampaknya gagal. Akan tetapi, setelah seorang kontrolir ditempatkan di Pematang Siantar pada tahun 1907 dan pada tahun itu di tempat ini juga seorang pendeta berkarya, kaum imigran mendapatkan perhatian lebih banyak. Banyak waktu disediakan untuk mereka. Pada tahun 1908 perundingan pertama dengan para penguasa otonom Siantar dan Pane dimulai, dengan maksud untuk mendorong pertanian sawah melalui imigrasi orang Toba di wilayah itu. Jadi, keinginan untuk pindah ke daerah perairan yang terletak di Pematang Siantar mulai tampak. Memang, pada tahun-tahun pertama orang mengalami kegagalan panen, tetapi segera dilakukan perbaikan. Hanya beberapa keluarga saja yang mau menetap. Namun, dengan perjalanan pulang dan pergi Simalungun semakin terkenal di antara orang Toba. Sementara itu, kondisi ekonomi penduduk mendorong mereka untuk melakukan imigrasi. Tanah yang cocok untuk pertanian hanya sedikit nilainya, sehingga para penguasa adat tidak berkeberatan. Daerah yang disediakan melalui proyek pengairan Bah Korah I dan Bah Korah II (seluruhnya mencakup luas 2000 hektar) disediakan bagi para imigran.
Kaum imigran tiba di wilayah ini hampir tanpa bekal, tetapi segera bisa menemukan pekerjaan di perkebunan yang pertama dibuka di wilayah ini. Selain itu, mereka menyetorkan beberapa material pada perkebunan yang baru itu, seperti atap dsb., serta melengkapi makanan utamanya dengan membuka ladang langsung di tanah yang kemudian akan diolah menjadi sawah. Pada tahun 1910 sawah-sawah pertama dibuka di daerah itu. Rumah kaum pendatang mirip dengan gubuk yang terbuat dari bahan sangat primitif (alang-alang dan daun-daun). Namun, setelah panen pertama selesai, mereka membangun beberapa rumah dari bahan lebih kokoh, yang kini menjadi pemukiman di daerah pengairan. Akhirnya daerah pemukiman ini berkembang menjadi kampung-kampung yang maju.
Meskipun wabah kolera pada tahun 1908 dan 1911 memakan korban yang besar dari penduduk, jumlah imigran tetap meningkat. Jumlah kaum pendatang di Simalungun bisa ditetapkan:
Mengingat tidak diketahuinya dampak-dampak praktis dari imigrasi ini, pada mulanya hanya struktur organisasinya saja yang dibenahi. Berbagai warga yang terdiri dari berbagai marga tinggal di pemukiman yang sama dan mereka membiarkan kaum pendatang untuk memilih tanah untuk diri mereka sendiri. Bertolak dari sini kemudian berbagai masalah dan benturan muncul, yang akhirnya menimbulkan kekacauan yang besar bagi pemerintah. Pada mulanya, sebelum mereka pergi ke sana, tampaknyaperlu dibuat aturan untuk mencegah dampak-dampak yang tidak diinginkan, karena mungkin akan menghambat imigrasi dan mengurangi kebebasan mereka. Baru ketika pengalaman telah diperoleh dan imigrasi tidak dapat lagi dicegah, saatnya tiba untuk mengatur dalam pembukaan tanah-tanah baru. Tentang ini akan kita bahas kemudian.
Satu-satunya kewajiban yang dibebankan kepada pendatang adalah pembukaan saluran air komunal. 0rang dapat menghindarinya dengan menunjuk seorang pengganti yang dibayar 50 sen sehari kerja. Ada beberapa orang kaya juga yang memanfaatkan hak ini. Bagaimana kelangsungan imigrasi ini sebenarnya?
Pada mulanya ada kemungkinan untuk memperoleh status raja (suatu posisi sebagai kepala yang sangat diharapkan oleh orang Batak) menjadi salah satu daya tarik untuk mendorong emigrasi dari Tapanuli ke wilayah ini. Orang-orang yang berpengaruh di Toba, yang di sana tidak bisa menjadi raja, mencoba mengajak sejumlah orang untuk ikut serta pindah ke Simalungun untuk membuka pemukiman baru di sana, dan dia menyatakan dirinya sebagai kepalanya (pimpinan). Dia tidak segera diakui, tetapi segera seorang kepala mengumpulkan lima tangga (keluarga), dia menjadi kepala rodi (rodi berarti kerja wajib); jika jumlah ini tumbuh menjadi tujuh keluarga, orang mengakuinya sebagai penghulu. Jumlah lima tangga memberinya hak menyandang gelar raja iutan.
Gelar pertama dan terakhir diambil dari Tapanuli. Hanya penghulu yang merupakan kata Simalungun. Kini (tahun 1921) orang tidak lagi mengakui raja iutan dan kepala rodi di Simalungun. Semua kepala adalah penghulu. Pengadilan dalam kasus-kasus kecil diserahkan kepada kepala adat. Kasus besar akan diselesaikan oleh Kontrolir dan Toehan Bandar. 0rang sama sekali tidak berani menyerahkan kaum imigran kepada para penguasa adat, karena sifat mereka masih terlalu despotis dan menurut pandangan yang ada masih terlalu mengeksploitasi warganya sendiri. Kaum pendatang pasti akan mengalami penderitaan.
Perlahan-lahan kini kelompok imigran berkuasa di bawah pimpinan orang yang menganggap dirinya sebagai kepala mereka dan bertanggungjawab atas pembentukannya menurut aturan yang ada. Di tanah asalnya, kaum emigran didorong dan ditopang oleh berbagai faktor. Untuk Samosir dengan penduduknya yang padat dan miskin, semua faktor ini tampaknya menguntungkan. Namun, meskipun sebagian penduduk di sana masih hidup dari ubi karena kekurangan beras, orang Samosir sebagai petani ladang merasa kurang cocok untuk membuka sawah. Selain itu, mereka sangat terikat dengan danau Toba, sehingga mereka hanya untuk sementara pindah guna mencari penghidupan di tempat lain. Kebanyakan mereka kembali setelah bekerja sebagai buruh harian ke daerah asalnya. Hanya sedikit yang tinggal menetap di Simalungun.
Toba juga berpenduduk padat dan di sini banyak terdapat persawahan di tanah basah, walaupun irigasi di sana masih belum maju, sehingga semua orang yang ingin dan bisa membuka sawah bisa melakukannya di daerah Simalungun. Dari faktor ini jumlah emigran ke Simalungun meningkat. Di Silindung dan Angkola orang menjumpai tanah-tanah paling indah dari Tapanuli, tetapi juga di sana tidak lagi memadai menampung semua orang, sehingga banyak yang pindah ke daerah lain yang masssih tersedia sawah.
Terdapat banyak kendala untuk meninggalkan tanah bagi para emigran ini. Jelas para kepala adat tidak senang melihat penduduk mereka pindah ke daerah lain. Pencegahan (meskipun tidak terbuka) merupakan hal yang sifatnya alami. Berbagai kewajiban adat harus mereka penuhi sebelum meninggalkan daerahnya. Mereka harus menyerahkan upeti kepada kepala adat berupa berbagai macam rempah-rempah. Selain itu, mereka harus membayar kepada kepala adat f 3 dan melunasi pajak serta kerja wajib selama setahun sebelum mereka pergi. Mereka harus "menyelesaikan urusannya sendiri" seperti bunyi istilah itu, sehingga mereka (bila berutang) tidak bisa tenang sebelum utangnya dilunasi. Sementara itu kekejaman raja sering menimbulkan berbagai kesulitan lain yang harus dicegah atau diawasi oleh pemerintah Eropa. Para kepala adat mendadak ingat pada adat lama bahwa mereka sebelum meninggalkan tanahnya harus menyerahkan 10% tanahnya kepada para kepala adat. Kadang-kadang kepala adat melarang mereka yang akan pindah itu untuk menjual tanahnya guna membiayai kewajiban keuangannya sebelum mereka pindah. Jadi, banyak orang yang bisa pindah setelah mengorbankan segalanya. Kemudian ada pula yang pergi secara diam-diam untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab yang harus dipenuhi di daerah asalnya. Memang, di antara para pendatang ini dijumpai orang-orang yang meninggalkan Tapanuli dengan tujuan untuk menghindari penguasa atau hal lain. Bagi pemerintah Eropa sangat sulit untuk menempuh jalan yang wajar dalam kondisi ini.
Namun, setelah semuanya jelas terbukti bahwa emigrasi dari Tapanuli ke Simalungun merupakan akibat dari dorongan yang ada dari dalam diri penduduk sendiri, meskipun ada pencegahan dari pihak penguasa pribumi, mereka tidak mengalami kesulitan. Suatu gelombang besar terjadi dan di Siantar, Pane dan Tanah Jawa (tiga daerah Simalungun di mana ditemukan banyak tanah berpengairan) tumbuh sejumlah pemukiman Toba, di daerah alang-alang yang sampai sekarang masih sedikit penduduknya dan terbengkalai. Kini, setelah lahan berpengairan di Tanah Jawa (daerah Bah Tungguran) diberikan, arus ke sana menjadi sangat besar.
Pencarian calon emigran tidak ada, karena orang membiarkan perpindahan alami dan kaum pendatang membawa serta kerabat dan anggota keluarganya ke Simalungun, agar mereka bisa hidup lebih baik di wilayah yang baru ini. Karena Tapanuli merupakan daerah yang diperintah secara langsung dan Simalungun terdiri atas daerah-daerah penguasa pribumi, kesulitan muncul berkaitan dengan hubungan antara kaum pendatang sebagai warga pemerintah yang memasuki daerah penguasa pribumi tempat mereka tinggal. Mereka tetap menjadi warga pemerintah dan berada di luar wewenang penguasa pribumi.
Pada bulan Juli 1914 untuk sementara jabatan kepala Toba dibentuk oleh pemerintah, sehingga pengaturan terhadap orang Toba dilepaskan dari penguasa pribumi. Situasi ini, yang didasarkan pada keputusan hukum yang tidak ada dalam lembaran negara, tidak dipahami baik oleh penduduk maupun oleh penguasa pribumi. Penguasa pribumi mengajukan pertanyaan apakah mereka bukan sebagai warga pemerintah. Semua ini berubah pada tahun 1918, ketika perubahan dalam aturan-aturan tentang kewargaan di daerah penguasa pribumi Simalungun dinyatakan berlaku dan semua orang pribumi, yang juga datang dari daerah lain seperti Jawa, Toba , dan sebagainya menjadi rakyat penguasa pribumi (lihat Bab IV, sub 3).
Pada mulanya ada kesulitan karena orang Toba Kristen kurang suka diletakkan di bawah pemerintahan para penguasa kafir atau Islam, yang biasanya kurang maju dibandingkan dengan banyak orang Toba atau orang Batak lain dari barat. Hubungan kaum pendatang dan penguasa pribumi sering dijadikan alasan adanya masalah yang kemudian berakhir dengan pertarungan berdarah dan para raja Simalungun tidak mampu untuk menyelesaikannya; terutama karena mereka tidak mengenal hubungan keluarga dan aturan adat orang-orang ini, tetapi juga karena dengan kebodohan mereka yang tidak bisa diharapkan tindakan-cerdasnya dalam mengatasi situasi sulit ini.
Yang dapat dilakukan terhadap aturan ini adalah pembuatan aturan yang lebih murni dan lebih mudah mereka pahami. Jabatan kepala orang Toba melalui hubungan baru ini menjadi kehilangan maknanya, sehingga jabatan ini kembali dihapuskan. Sekarang para kepala kampung pendatang berada di bawah penguasa pribumi. Peradilan atas mereka dilakukan oleh karapatan tradisional, sehingga semuanya bisa berjalan normal. Seperti telah dipahami, masih ada kesulitan sehubungan dengan perbedaan dalam adat dan sifat antara kaum pendatang yang sangat rajin dan penguasa pribumi yang terbelakang, tetapi perlahan-lahan perubahan juga terjadi terutama bila suatu generasi berikutnya dari penguasa pribumi dapat mencapai tingkat lebih tinggi melalui pendidikan dan pengajaran (terdapat sekolah dan asrama bagi anak-anak para kepala ini).
Dengan tujuan untuk mencegah agar di daerah irigasi baru muncul pemukiman baru yang tidak teratur, seperti yang sampai sekarang terjadi di kompleks persawahan yang ada, pada tahun 1920 dirancang suatu aturan untuk membagi sawah dan tempat tinggal kampung di daerah Bah Tungguran (daerah Tanah Jawa), yang pengairannya dibuka pada tahun itu. Aturan ini ditetapkan setelah perdebatan dalam komisi irigasi. Dengan adanya keinginan pemerintah untuk melakukan kerjasama lebih baik antara pemerintah daerah, dinas irigasi dan dinas informasi pertanian, melalui keputusan daerah nomer 641 tanggal 14 Juli tahun itu dibentuk suatu komisi. Komisi ini terdiri atas kepala pemerintah daerah (sebagai ketua), insinyur irigasi dan guru pertanian.
Pedoman yang telah dibuat diikuti di sini, tetapi perluasan berikutnya muncul kembali. Setelah dipetakan seluruh daerah irigasi yang dibagi dalam seksi-seksi, lahan pertanian mereka berhasil diairi. Setiap seksi di kompleks persawahan dibagi dalam sembilan sawah, masing-masing 1 hektar. Tempat pembangunan kampung ditunjukkan dalam peta dan diuraikan di lahan itu. Kompleks seluas 9 hektar itu dibuka bersama-sama oleh mereka yang memiliki hak, termasuk yang akan membuka sawah. Setelah itu, setiap orang menggarap sawahnya sendiri, memperhatikan peraturan pengaturan pekarangan dan peraturan pembuatan rumah.
Kepada setiap pendatang suatu petak sawah disediakan yang diberi angka pada peta dan catatannya dibuat dalam daftar. Juga kepadanya disediakan pekarangan tertentu yang dibuka secara layak di kampung tempat dia tinggal. Sebanyak mungkin dalam pembagian ini perlu diperhitungkan letak ladang mereka yang untuk sementara tinggal di daerah ini. Dicoba untuk menempatkan kaum pendatang di kampung-kampung ini, dapat dijamin perkembangannya dengan menampung kelompok atau rombongan keluarga yang tidak saling bermusuhan di suatu kampung. Hal ini merupakan persoalan yang belum begitu diperhatikan dalam membuka pemukiman Batak. Jalan-jalan dibuka di sepanjang saluran air utama dan untuk menghubungkan antarkampung,
Kunjungan ke Simalungun dilakukan yang menunjukkan keberhasilan yang besar dari kolonisasi ini bagi daerah itu, terutama bila diingat beberapa tahun lalu kondisi pertanian tradisional di wilayah ini masih terbelakang dan kondisi di antarpenduduk pribumi tidak menguntungkan. Petak luas tanah dengan tanaman sawah yang tumbuh, pemukiman Toba yang tersebar di mana-mana, yang secara perlahan-lahan permahan diperbaiki, menunjukkan pemandangan yang lebih bersih, dan membuktikan kemajuan kesejahteraan. Kompleks pasar dan hubungan darat meningkat sehingga dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa ada kemajuan di antara penduduk sendiri. Pantai Timur Sumatera ini bagi masyarakat pribumi menunjukkan kehidupan ekonomi yang mentakjubkan.
Jika orang menyebut Deli, maka orang mengacu pada perkebunan, yang kesejahteraan warganya bertumpu pada industri perkebunan besar. Di wilayah ini perekonomian dasarnya lebih kokoh karena ditopang dan diperkuat oleh pertanian penduduk yang menghasilkan kesejahteraan, sebagai konsekuensi dari lancarnya lalu-lintas perdagangan tradisional.
Kolonisasi Jawa di Luar Perkebunan
Selama beberapa tahun di luar wewenang pemerintah, di berbagai tempat wilayah Pantai Timur Sumatera dibentuk pemukiman orang Jawa, bekas kuli kontrak yang ingin bermukim di daerah itu. Di Simalungun dijumpai kampung-kampung Jawa di sekitar dan di ibukota Pematang Siantar, selanjutnya di daerah dekat Pantoan, beberapa kilometer sebelah timur Siantar, di daerah Jorlang Hataran dan di Bandar (bagian timur laut daerah Siantar).
Koloni Bandar Jawa
Pemukiman terbesar adalah Bandar Jawa yang tidak jauh letaknya dari pusat perdagangan yang berada di daerah irigasi Bandar Meratur. Kaum pendatang di kampung ini semua memiliki pekarangan; pemukim pertama memiliki lahan seluas 50 kali 60, tetapi orang yang tinggal kemudian memiliki ukuran jauh lebih kecil dan memiliki sebidang tanah sekitar 3/4 hektar. Sementara mereka dapat mencapai kesejahteraan tertentu tanpa bantuan pemerintah. Pada awalnya, bagi pertanian keluarga primitif, mereka memperoleh izin untuk menebang kayu di hutan, sementara hasil tanah mereka semuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Biasanya, kaum pendatang pertama umumnya adalah orang-orang yang memiliki sedikit tabungan, atau bekerja kepada orang lain untuk berusaha memperoleh kebutuhan pada tahun-tahun pertama yang sulit. Juga tampak bahwa mereka berusaha memperoleh hak milik atas tanah di perkebunan, tempat mereka bekerja dan selama kontrak di perkebunan masih belum berakhir, kaum wanita menggarap tanah itu hingga suatu saat kaum pria datang untuk memetik hasilnya. Keduanya menemukan mata pencahariannya melalui kerja di perkebunan ini.
Di Bandar Jawa kaum pendatang pertama tinggal pada tahun 1915. Setiap tahun jumlah mereka bertambah. Kerabat dan kenalan (saudara), bukan hanya dari sekitar wilayah itu tetapi juga dari jauh seperti Tamiang. Mereka datang bergabung dengan orang-orang yang telah tinggal di sana. Mereka juga memperoleh sebidang tanah untuk dikerjakan dan secara perlahan-lahan pemukiman ini berkembang. Kini sekitar 800 jiwa tinggal di sana. Sebagai akibat malaise yang menimpa perkebunan, banyak kuli kontrak dipecat. Namun, Jumlah pemukim pada tahun 1920 dan tahun-tahun berikutnya meningkat pesat.
Seorang pemukim pertama yang sangat berpengaruh pada pendatang lain dianggap sebagai kepala dan diakui oleh penguasa setempat. Sebuah rumah ibadah dan sekolah didirikan, disediakan seperangkat gamelan serta wayang. Sekolah di sana seluruhnya dianggap sebagai volkschool (sekolah rakyat). Bangunan ini didirikan oleh tenaga gotong-royong dan sedikit bantuan dana dari pemerintah. Guru digaji dari anggaran kampung menurut aturan yang berlaku bagi pendidikan rakyat, sementara uang sekolah yang kecil jumlahnya dipungut yang kemudian disetorkan ke kas daerah.
Di pemukiman ini muncul ikatan kampung. Kaum pendatang baru tiba di sana, dan mereka merasa terikat dengan alasan kekerabatan atau hubungan lain. Sementara kepala kampung mereka hormati karena kepala kampung itu memiliki kekuasaan. Dalam membuka koloni baru kebutuhan untuk membentuk ikatan kampung tertentu dan mengembangkannya kurang mendapatkan perhatian. Namun, keberhasilan koloni itu kebanyakan tergantung pada adanya ikatan ini. Salah satu perkebunan yang terdiri atas sejumlah besar orang tidak otomatis merupakan kampung yang memiliki ketahanan sebagai ikatan hukum. Untuk itu, diperlukan ikatan itu agar mereka saling merasakan ikatan hukum ini. Di Bandar Jawa ikatan ini muncul secara alami bersamaan dengan terbentuknya koloni ini.
Kolonisasi Jawa oleh Pemerintah
Malaise yang terjadi sebagai akibat Perang Dunia I, menyebabkan banyak perkebunan teh dan karet harus memecat sejumlah besar tenaga kontrak. Dengan tujuan berusaha menampung sebagian besar kuli yang dipecat di wilayah ini, gubernur dalam keputusan tanggal 17 Maret 1921 nomer 203 membentuk Dana Kolonisasi yang dananya berasal dari sumbangan dari penguasa, lembaga dan penyumbang. Dana ini digunakan untuk menutup beaya kolonisasi yang diorganisir. Meskipun harapannya agak mengecewakan banyak pihak, karena jumlah kuli kontrak yang kembali ke Jawa sangat kecil bila dibandingkan dengan yang datang, kolonisasi walaupun perlahan-lahan semakin luas. Pada tahun 1921, 200 keluarga ditetapkan untuk itu tinggal di daerah dekat Pematang Bandar. Juga ketika pemerintah mendengar berita bahwa sejumlah besar kuli kontrak dipecat di perkebunan tertentu, tindakan diambil untuk memperkenalkan orang-orang ini dengan kolonisasi dan mencoba mendorong mereka untuk tetap tinggal di wilayah itu.
Seleksi dilakukan terhadap kaum pendatang. Tingkah laku yang baik, status perkawinan, daerah asal di Jawa di mana persawahan dibuka, juga ditanyakan. 0rang yang lemah dan orang-orang yang dikenal tidak baik tidak diizinkan tinggal di sana. Pertama-tama lahan kolonisasi dihitung, seluas 900 hektar di sekitar perkebunan Kerasaan dan Pematang Bandar. Lahan ini memiliki kemiringan yang cocok untuk irigasi khususnya sekitar 1:200 atau 5 meter per kilometer, sementara saluran pengaliran sekitar 8 1/2 km panjangnya yang airnya diambil dari Bah Pamudian.
Kampung-kampung akan dibuka di suatu daerah dalam jarak dekat dari sungai tersebut. Luas setiap kampung sekitar 25 hektar. Setelah ditentukan tanah khusus untuk penggembalaan ternak, dilakukan pengukuran tanah yang cukup teliti bagi setiap orang Batak yang tinggal di sana. sebidang tanah seluas 650-700 hektar tetap disediakan bagi mereka untuk membuka sawah. Setiap kampung (ada 6 kampung) menampung antara 100 dan 120 keluarga. Setiap keluarga menerima pekarangan 40 kali 50 meter. Direncanakan dibangun kampung dengan alun-alun, tempat ibadah, sekolah dan sebagainya. Sebelumnya, fasilitas umum ini disiapkan sendiri oleh kaum pendatang.
Mereka wajib bersama-sama membuat jalan ke dan dari kampung. Saluran irigasi digali dengan sistem kerja upah. Kaum pendatang saat itu bisa segera menikmati fasilitas itu. Mereka harus merawat pekarangan yang telah ditentukan dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat oleh pemerintah. Pada mulanya, mereka menerima peralatan dan setelah itu makanan dan perlengkapan, dan bila perlu disediakan bahan untuk pembuatan rumah; semuanya sebagai uang muka. Uang muka ini diberikan tanpa bunga dan harus dilunasi dengan menggunakan sistem angsuran bulanan. Sementara pelunasan seluruhnya dilakukan setelah panen.
Pengalaman menunjukkan bahwa bagi kaum pendatang, diberikan uang muka senilai f 60 yang dianggap memadai untuk membangun rumah sesuai dengan keinginan mereka, sementara uang muka untuk kelangsungan hidup mencapai sekitar f 10 per bulan per keluarga. Mereka dapat membangun rumah mereka sendiri sesuai pilihannya. Perhatian terus diberikan agar penempatannya tampak teratur.Seorang pengelola dibebani untuk mengawasi kolonisasi yang tinggal di Pematang Bandar yang harus melaporkannya setiap hari dengan para pemukim. Aktivitas mereka tidak hanya terbatas pada kolonisasi di Bandar, tetapi juga di tempat lain. Dia memberikan bimbingan bagi pemukiman kaum kolonis. Seorang mantri disediakan di daerah kolonisasi ini. Para pemukim juga diminta untuk melakukan propaganda dan membantu mereka yang ingin tinggal di daerah kolonisasi.
Selain di atas, di Bandar masih ada beberapa lahan lain seluas beberapa hektar. Sementara itu di lain tempat juga masih ada tanah yang memadai untuk memberikan pemukiman bagi sejumlah besar pemukim. Pada akhir September 1921 kampung pertama, yang disebut Purwodadi, dihuni seluruhnya oleh 117 pria, 97 wanita dan 71 anak-anak dan di kampung kedua dikeluarkan 72 buah persil, yang ditempati oleh 72 pria, 71 wanita dan 58 anak-anak. Pada tanggal 15 Nopember seluruh kampung kedua telah penuh dihuni, dan dimulai pembangunan proyek ketiga. Jumlah itu kini tumbuh akibat banyaknya aktivitas penduduk. Para anggota keluarga, saudara, teman-teman dan kenalan datang bergabung dengan kaum pemukim di sana untuk menduduki sebuah tempat di sepanjang jalan itu.
Kolonisasi perkebunan masih belum menonjol di Simalungun (1921). Meskipun di Deli dan Serdang muncul kolonisasi pekerja yang berhasil di hampir semua perkebunan, perkebunan di Simalungun masih belum menunjukkan hasilnya. Tampak bahwa di daerah ini kolonisasi di luar perkebunan mencapai hasil yang penting untuk dicatat. Dana kolonisasi yang disediakan oleh Gubernur Westenenk merupakan awal organisasi ini, yang akhirnya bisa menyelesaikan masalah kolonisasi penting di seluruh daerah Pantai Timur Sumatera. Wilayah ini juga tetap tidak bertumpu pada suatu sistem kerja yang diakui sejak dulu oleh setiap orang di bawah bayangan peraturan kuli dengan poenale sanctie. Setiap orang yang ada di sana belum memahami tindakannya, terutama dari pihak pengusaha yang lebih mengarahkan perhatiannya pada kepentingan perkebunan itu sendiri. Akhirnya penduduk mulai menyadari bahwa dengan cara ini terbuka jalan lebar bagi mereka yang akan menggarap lahan dan di luar Jawa khususnya di perkebunan, mata pencaharian tersedia bagi mereka yang ingin tinggal di daerah yang baru. Suatu gagasan baik muncul di sini bahwa organisasi Budi Utomo bersedia untuk melakukan kerjasama untuk memajukan wilayah ini.
Cara kolonisasi baru ini merupakan faktor penting dalam perkembangan Pantai Timur Sumatera sebagai daerah perkebunan besar, yang pengusahaannya tidak terbatas pada beberapa lahan, tetapi juga dalam pembentukan kampung-kampung koloni. Pada tanggal 1 September 1921 di seluruh wilayah itu dipekerjakan 136.638 pria dan 47.804 wanita sebagai tenaga kontrak di perkebunan. Kini apalah artinya beberapa ratus kuli kontrak yang lama dibandingkan dengan kebutuhan tenaga kuli kontrak yang baru. Angka-angka ini menunjukkan bahwa diperlukan dorongan kuat dan organisasi yang dikelola dengan baik, sehingga dalam segala aspeknya diharapkan agar gagasan-gagasan yang berasal dari Gubernur dapat dibantu yang menyadarkan para kuli kontrak lama tetap bersedia untuk tinggal di daerah itu. 0rang-orang itu sendiri ingin dapat menempati sebidang tanah sebagai hak milik dengan membangun rumah sesuai seleranya (meskipun terikat dengan beberapa aturan tertentu). Jika keinginan ini tidak terpenuhi, maka kerjasama penduduk yang menjamin keberhasilan kolonisasi ini tidak mungkin tercapai. Akhirnya, jika tujuan itu tercapai, kini usaha kolonisasi diarahkan pada perkebunan tanpa mengabaikan keinginan penduduk.
Kuli Kontrak
Sebagian besar penduduk pribumi terdiri atas kuli kontrak, yakni pada awal 1921 berjumlah sekitar 44.000 dari 164.000 penduduk. Pada tahun ini sebagai akibat resesi di sejumlah perkebunan, dari jumlah ini lebih dari 11.000 orang dipecat dan diambil alih oleh perkebunan tembakau atau dikirim kembali ke Jawa. Di seluruh wilayah ini 24.500 pria dan 20.337 wanita dipecat, termasuk 18.178 pria dan 2.127 wanita dikembalikan ke Jawa, sementara 4.446 kuli kontrak (kebanyakan pria) yang diambil alih oleh perkebunan tembakau. Yang lain tinggal di daerah kolonisasi atau di tempat lain di Pantai Timur Sumatera. Hanya sedikit yang tinggal sebagai pemukim di daerah itu. Di antara para kuli kontrak yang tinggal di Simalungun terdapat 12.000 orang wanita, yang hanya sedikit dari mereka yang mau menikah dengan kuli kontrak.
Di seluruh Simalungun ada 50 perkebunan. Pada mulanya orang menghadapi banyak kesulitan terutama di bidang kesehatan. Dengan maksud untuk memberikan gambaran yang benar dan jelas, disajikan penjelasan yang diberikan oleh Dr. W.J. Bais yang diterima di sini, tentang sejarah dan kondisi perawatan kesehatan pekerja. Perawatan kesehatan para kuli kontrak Simalungun tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan di tempat lain di Sumatera Timur, yang memerlukan suatu gambaran khusus. Namun, beberapa kenyataan sejarah dapat dijadikan gambaran singkat yang dimuat dalam monografi.
Kondisi kesehatan di perkebunan Simalungun pada mulanya sangat terpengaruh oleh kesalahan yang masih sering dibuat dalam pembukaan perkebunan. Masa depan yang kabur di perkebunan yang baru dibuka menjadi penyebab semua rencana penghematan yang menyangkut perawatan kesehatan. Rumah sementara, yang semakin dipenuhi dengan kedatangan para pekerja baru, tidak memadai lagi, khususnya dalam menyediakan air minum dan pembuangan kotoran, letak rumah yang tidak sesuai, kurangnya perhatian dalam bantuan kesehatan, tidak adanya rumah sakit pusat yang cocok yang dapat digunakan sebagai tempat karantina bagi para pekerja baru. Hal ini merupakan kesalahan organisasi yang sangat berat.
Sejauh menyangkut Simalungun pada saat itu masih tampak bahwa selama terjadi ledakan karet (1911-1912) impor tenaga kontrak Jawa dilakukan sangat cepat sehingga hampir tidak ada perumahan yang memadai atau dalam artian tidak ada yang kondisinya baik. Perlu diberikan perhatian kepada mereka, sementara permintaan yang tinggi akan tenaga kontrak membuat pengawasan atas para pekerja dari Jawa ini mengendor, yang mengakibatkan banyaknya tenaga yang secara fisik tidak layak untuk dipekerjakan. Tentang hal ini Kuenen mengatakan, "Persaingan yang ketat di antarpengusaha sangat mengurangi pengawasan kepada kuli kontrak. Berkali-kali tampak bahwa para pengusaha menerima tenaga kerja yang ditawarkan hanya untuk menutup target jumlah kuli kontrak, sehingga banyak orang yakin mereka akan diterima sebagai kuli kontrak. Sementara itu, kondisi menunjukkan bahwa hampir tidak ada pemeriksaan bagi mereka. Mereka sangat dibutuhkan oleeh perusahaan perkebunan. Kondisi kuli kontrak yang buruk kondisinya menyebabkan angka kematian menjadi sangat tinggi di perkebunan Pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1911 dan berikutnya: sampai sekarang (1914) banyak orang yang belum sadar akan kesalahan yang telah mereka buat. Kesalahan ini tidak terletak pada dokter yang memeriksa melainkan pada pengusaha itu sendiri yang membantu mencari tenaga (yang hampir tidak memeriksanya) tanpa menanyai para buruh kontrak, sehingga pencari tenaga itu tidak peduli akan kondisi mereka dan hanya mementingkan keuntungan yang tinggi". Angka kematian yang tinggi di antara para pekerja kontrak (jelas ditetapkan sampai 180 setiap 1000 orang di beberapa perkebunan) kemudian juga tampak pada tahun-tahun pertama di perkebunan di Simalungun; kematian ini terutama disebabkan oleh penyakit cacing dan disentri. Di beberapa tempat kematian mereka disebabkan oleh penyakit tipus dan malaria. Pada tahun 1910 dokter pertama tiba di Siantar yang tergabung dalam Ikatan Dokter Siantar. Mereka membangun sebuah rumahsakit di ibukota (rumahsakit pusat Siantar). Pada tahun 1912 perkebunan milik Perusahaan Investasi Perkebunan Karet memisahkan diri dari yayasan ini. Kemudian tiba dokter yang kedua. Beberapa tahun kemudian perusahaan ini membangun sebuah rumahsakit, yang mulai digunakan pada tahun 1915 (rumahsakit pusat Simalungun). Pada tahun 1920 sebanyak 20 ribu orang dirawat di rumah sakit Siantar, termasuk 10 ribu kuli kontrak. Di rumahsakit Siantar sejak tahun 1918 ditugaskan dua orang dokter dan sejak 1919 tiga dokter ditempatkan di sana, yang satu ditempatkan di poliklinik Dolok Merangir. Dengan perawatan kesehatan yang lebih baik dalam beberapa tahun belakangan ini, angka kematian dan penyakit menurun. Angka-angka berikut ini, yang sebagian diperoleh dari laporan Inspeksi Tenaga Kerja, memberikan contoh untuk tahun 1915 dan tahun-tahun berikutnya. Sebelum tahun 1915 daerah Siantar, di wilayah inspeksi yang berdiri sendiri, terlepas dari rumah sakit Siantar, angka kematian tidak diketahui, tetapi jelas sangat tinggi. 0rang juga berpikir bahwa daerah Siantar dalam inspeksi tenaga kerja ini tidak disatukan dengan Simalungun.
Pada tahun 1917 di wilayah inspeksi tenaga kerja ini angka kematian diketahui lebih tinggi daripada tahun 1916. Sementara, untuk perkebunan yang tergabung dalam dua rumahsakit pusat di ibukota (pada Perusahaan Investasi Perkebunan Karet dari 10,4 menjadi 8,2 per 1000 kg) jumlahnya menurun.
Angka-angka dalam kurung dihitung oleh Dr. Vervoort dari laporan rumah sakit. Dibandingkan dengan seluruh jumlah rata-rata di Pantai Timur Sumatera, angka kematian di Simalungun sangat tinggi. Namun, orang jangan melupakan bahwa:
Malaria hampir selalu berjangkit di Simalungun. Meskipun pusat ibukota hampir bebas dari malaria, perkebunan di sekitarnya menunjukkan jumlah penderita malaria yang tinggi. Selama mewabah penyakit malaria padatahun 1918 di Siantar, disebutkan penyebarnya adalah nyamuk anopeles, yang berkembang biak di kubangan belukar, di tanah garapan dan got-got buntu di perkebunan karet. Di sana ditemukan sejumlah besar tempat perkembangbiakan nyamuk dan akibatnya orang yang terserang penyakit itu jumlahnya meningkat. Meskipun biasanya di tempat lain di Simalungun nyamuk lain bisa memegang peranan, tempat pembiakan di belukar khususnya perlu diberi perhatian oleh tenaga kesehatan.
Dulu penyakit tipus banyak menyebar. Sekitar tahun 1918 di berbagai perkebunan, vaksinasi umum penyakit ini diberikan, yang mengakibatkan kemerosotan tajam jumlah orang yang terserang penyakit tipus. Vaksinasi kemudian tidak diulangi. Namun jumlah kasus tipus tetap rendah pada tahun 1919-1921, yang seharusnya dianggap berasal dari perbaikan kesehatan umum.
Disentri amuba dalam beberapa tahun ini juga sangat meluas, sebagai akibat banyaknya genangan air terbuka yang berasal dari sumber air di sejumlah ngarai, yang berfungsi baik sebagai tempat pembuangan kotoran maupun untuk mengambil air minum. Kondisi kesehatan yang buruk pada saat itu membuat banyak pekerja mudah tertular penyakit. Penularan ini terjadi melalui cara ini. Berbagai perkebunan saat ini memiliki saluran air minum atau sumber air minum yang diolah dengan cara layak.
Kolera di perkebunan masih dihubungkan dengan kasus yang terjadi pada penduduk kampung, yang tidak pernah mengalami perluasan berarti. Hal ini terjadi mungkin karena dalam kasus ancaman kolera, penduduk kuli kontrak juga cepat disuntik untuk melawan penyakit ini.
Penyakit cacing pada mulanya ditemukan di perkebunan Simalungun yang berasal dari tempat tinggal kuli yang tidak sehat. Dari sini menyebar ke wilayah lain, terlebih lagi karena banyaknya penderita yang terjangkit, dirawat tanpa karantina yang memadai. ketika itu penumpasan sistimatis penyakit ini dilakukan melalui pemberantasan cacing dalam ukuran besar yang berakibat pada berkurangnya penyebaran penyakit. Namun, perjuangan keras masih harus dilakukan karena tanaman karet dan teh di yang ditanam di lahan sekitar rumah para kuli memicu timbulnya infeksi yang memudahkan bagi berjangkitnya penyakit infeksi cacing tanah. Pemberantasan penyakit ini yang dicontohkan oleh Dr. Baermann memberikan hasil baik, meskipun harus tetap diwaspadai.
Influensa di perkebunan Simalungun merupakan penyakit rumahtangga dan pada tahun 1918 menyebabkan kematian 16 orang per 1000 orang (di seluruh Pantai Timur Sumatera 8 dari setiap seribu orang). Pengaruh apa yang ada di sini yang menimbulkan penyebaran penyakit tidak bisa dikatakan dengan pasti. Ditetapkan bahwa orang Jawa pada umumnya jauh lebih menderita daripada orang Cina (di Simalungun hanya dalam jumlah kecil orang Cina yang bekerja).
Penyebaran penyakit kelamin berkaitan dengan pengaruh lokal. Kemungkinan berhubungan badan dengan lacur (merupakan saluran utama penyebarannya) bagi para wanita Jawa tergantung pada jarak dari perkebunan menuju pusat. Dinyatakan bahwa di beberapa perkebunan teh jumlah perempuan melebihi kaum pria. Perkembangan kehidupan keluarga yang sehat terhambat dengan berkembangpesatnya pelacuran.
Demikianlah dikatakan Dr. Bais. Persoalan pelacuran di Siantar sangat penting. Kondisi ini terjadi karena didatangkannya para wanita tidak menikah yang bekerja di perkebunan teh (kebanyakan di Jawa terpisah dari lingkungannya atau tempat lain karena termasuk lapisan penduduk terbawah), setelah bekerja di perkebunan, merteka mencari tambahan penghasilan lain apakah dengan melacurkan diri, atau dengan hidup sebagai gundik buruh Cina, penggergaji kayu dan sebagainya atau bekerja di rumah orang lain sejauh memungkinkan. Pada sore hari bisa dilihat mereka memasuki kompleks perkebunan, sering dibimbing oleh langganan yang akan mengeksploitasinya, apakah di hotel Jepang atau Cina yang sangat terkenal,"kedai kopi" atau menjajakan usaha keduanya di sepanjang jalan.
Jika di mana-mana pemberantasan pelacuran menemui kesulitan, di sini masalahnya lebih parah lagi sebagai akibat banyaknya wanita tidak menikah yang didatangkan dari tempat lain. Pemeriksaan terhadap para pelacur yang dilakukan oleh Dewan Kota di Pematang Siantar memberikan sarana untuk membatasi aktivitas ini. Namun, dengan pemeriksaan itu (yang juga sangat penting) ancaman sebagai pelacur tidak berkurang. Selain itu, kondisi yang dialami tenaga kontrakan tidak jauh berbeda dengan daerah perkebunan lain di Sumatra Bagian Timur. Penerbitan mengenai kontrak kerja dan persoalan perkebunan lain bisa memberikan informasi yang cukup memadai.
0rang Eropa dan Timur Asing
Menurut sensus yang diadakan pada bulan Nopember 1920 di Simalungun tinggal 816 orang Eropa, termasuk 479 di Siantar, 172 di Pane, 146 di tanah Jawa, dan 19 di daerah lain. Menurut suku dan keturunannya, kelompok penduduk ini terdiri atas:
Legenda ini menyangkut kemunculan parsilihi. Seorang anak Barita penghulu kampung, sakit keras. Di rumah si Barita juga tinggal pengumpul bagot (tuak) yang pada suatu hari di dalam hutan mendengar tiga begu saling berbicara. Mereka akan pergi ke rumah Barita pada malam hari dan mengambil tondi anaknya (anak itu akan meninggal). Para begu itu adalah Si Berang, Si Sorpu, dan Si Siri-siri. Si Berang berkata takut pergi ke rumah manusia, karena di sana manusia menyiapkan sepotong kayu andorasi yang menyala (andorasi adalah sejenis pohon).
Si Sorpu menjawab bahwa sebaiknya mereka saling menjaga dan menempuh jalan yang berbeda. Dia sendiri akan masuk ke dalam lewat tangga. Si Berang menyusulnya melalui tiang tengah dan Si Siri-siri akan memanjat tiang yang pendek. Di tengah, mereka akan saling menunggu karena di sana mereka akan mati. Kini Si Berang bertanya bagaimana melakukannya bila manusia mengetahui rencana mereka dan mendatanginya dengan api. Tetapi Si Sorpu menjawab: “Kita bukanlah begu yang bisa menunggu bila tidak bisa menemukan persimpangan di jalan itu. Ketika seorang anak berada di sana, maka akan lebih mudah.” Pencari bagot mendengar lebih lanjut, “Kita semua puas dengan pengganti berupa penyakit. Ketika orang memotong batang pisang dalam bentuk manusia dan ada seekor ikan bakar, seekor ayam dan seikat bunga dari tiga jenis bersama empat lembar daun sirih yang diikat dalam empat batang, maka kita akan puas juga”.
Pencari bagot terburu-buru pulang ke rumah Barita. Setelah menyampaikan semuanya yang dia dengar, dia membakar sesuatu pada ranting pohon andorasi dan menyiapkan adonan sirih sambil berdoa: “Hung sipasarasara sipasirisiri, laga diam nagori. Songkik nagori songkik, sungkak songkikon begu paralop sahmat”. Terjemahannya berbunyi: “Bersihkanlah segalanya karena mereka membahayakan tanah ini, jadi tenanglah, cekiklah mereka demi tanah ini, usirlah para begu yang menanti”.
Selain itu orang berusaha memenuhi semua yang diinginkan oleh begu menurut pencari bagot. Misalnya, anak itu disiapkan dan sebagai gantinya roh-roh jahat puas dengan parsilihi dan sesaji yang dibuat anggota keluarga pasien. Kini kebiasaan itu masih sering diterapkan, tetapi (seperti yang disampaikan penyaji lagenda itu) tidak selalu berhasil, karena begu sangat berani hingga berani memasuki rumah pasien. Beberapa kali terjadi yang menyebabkan pasien meninggal.
Ketika seseorang meninggal, tondinya yang berkeliling di sekitar itu akan diperhatikan dan diberi makan, diberikan apa yang dia butuhkan. Orang tidak akan mengganggu tondi ini karena hanya akan menimbulkan penderitaan. Tondi dari seorang yang sudah meninggal juga disebut begu, tetapi perasaan takut tetap melekat bila mendengar kata ini. Dari situ bisa terbukti bahwa harimau disebut begu pangatah atau begu pemakan daging mentah. Roh leluhur yang telah lama meninggal disebut silaon, sementara kerabat yang baru saja meninggal disebut simagot.
Hal ini dianggap sangat penting bila seseorang mendadak meninggal menuntut janji perlindungan dari yang masih hidup. Menurut keyakinan ini terdapat asal usul upacara mengerikan yang dimaksudkan untuk memberikan sesaji (panihat atau pupuk) yang terdiri atas bagian tubuh wanita yang diambil oleh pria setelah kematian yang mendadak untuk memenuhi janjinya. Orang lebih suka menggunakan wanita hamil, sementara anak bajang yang belum lahir dicampur dalam sesaji yang berupa bubur itu.
Untuk itu, orang mencari seorang wanita yang kondisinya seperti itu, memberinya makan selama beberapa saat, sambil mengatakan kepadanya bahwa dia akan dibunuh yang akan menjadi berkah demi kepentingan suku yang menangkapnya. Ketika akhirnya wanita itu mengajukan pertanyaan apakah ia tetap dibiarkan hidup (sering dengan tujuan untuk mengakhiri semua penderitaan) yang dijawab dengan “ya” sambil mendongakkan kepalanya dan orang memasukkan cairan timah ke dalam mulutnya, yang telah disiapkan sebelumnya. Orang mendadak memotong urat nadinya, dan tidak lagi mendengar teriakan terakhir wanita. Janin yang belum lahir dan masih berada di dalam perut wanita dikeluarkan dan dibuat bubur kemudian dicampur dengan beberapa daging binatang lain. Suatu masakan sejenis panihat menurut informan saya sudah tidak ada lagi selama tiga generasi.
Selain unsur-unsur dari tubuh masnusia, masih ditambahkan lagi bagian tubuh harimau, beruang, macan kumbang, babi hutan, anjing dan kera. Selain itu kepala ular beracun (dareh tongor, dareh tungkil, dareh arsam, upar, tobayas, batgu burung dan ohok) atau berbagai serangga beracun seperti owol-owol, sikusui, waltong, bala borngin, huramah (lebah), ranggiting dan guan serta daun dari tanaman beracun akan menjadikan adonan itu sangat dipercaya kekuatannya oleh manusia.
Ketika sesaji yang berupa panihat telah layak disiapkan, orang bisa menggunakannya dengan tiga cara:
- Pangulu balang: Orang meletakkan bubur pada patung batu untuk melindungi agar tidak terjadi perang huta dan menghindari penyakit yang memasuki desanya.
- Pagar pangorom: bubur ini diletakan di sebuah mangkuk timah di rumah untuk melindungi rumah ini. Kadang-kala ada sedikit yang dibawa serta dalam perang untuk digunakan sebagai jimat.
- Tunggal Panaluan: sesaji yang telah digambarkan pembuatannya ini digunakan dalam perang untuk melemahkan pasukan musuh melalui gangguan begu. Bubur ini juga digunakan untuk mengusir penyakit dan bencana yang disebabkan oleh roh jahat. Tunggal Panaluan tidak hanya menolak bencana, tetapi memberikan balasan kepada mereka yang telah mengundang roh-roh jahat atau menggunakan sarana lain untuk menimbulkan bencana (ujar-ujaran).
Permalim
Kini akan diulas sekte permalim (parmalim) yang telah disebutkan pada awal buku ini. Ada banyak hal yang ditulis tentang permalim, biasanya dalam arti peringatan yang menunjuk pada musuh, terhadap pemerintah dan pandangan para pengikut ajaran Kristen. Saya kembali pada pandangan yang tidak benar ini. Selanjutnya ada penjelasan tentang sekte ini tersendiri, kemunculannya dan ajarannya.
Ada berbagai sekte yang disebut permalim, tetapi saling berbeda pandangan.Tentang makna kata permalim terdapat perbedaan pendapat. Keterangan bahwa istilah ini berasal dari kata Arab mo’alim (malim), ulama, guru, pemimpin, suku, yang oleh banyak orang juga dimaksud sebagai orang yang taat, sangat mungkin bagi saya. Sekte asli ini dicetuskan oleh Guru Somalaing, seorang kepercayaan (beberapa menyebutnya datu yang hidup) dari Sisinga Mangaraja. Dia telah mengikuti peneliti Italia Modigliani mengembara pada tahun 1889/1891 dalam perjalanannya ke selatan danau Toba dan membantu menangkap serangga dan mencari tanaman. Dalam perjalanan ini seperti dikatakan dalam literatur tentang permalim, dia telah banyak mendengar ajaran Katolik. Dari situ, dia telah menggunakan ajarannya untuk membentuk agama baru sehubungan dengan keyakinan Batak asli, yang memasukkan unsur-unsur Islam. 0leh seorang saudaranya yang banyak berhubungan dengan para pedagang Melayu di pantai timur Sumatra, dia sangat mengenal Islamisme dan setelah itu ia mengambil alih unsur-unsur yang ada dalam keyakinan Islam.
Dari pihak zending pembentukan ajaran baru ini dijelaskan dari perasaan tidak puas dengan keyakinan animisme dan penolakan untuk menerima Kristen atau agama orang asing lainnya. Beberapa saat setelah kemunculan sekte Guru Somalaing, Nasiakbagi atau Porsiakbagi (yang lahir dalam kondisi miskin dan menderita) telah menyebarkan ajaran yang dalam beberapa hal agak menyimpang di Balige. Permalim yang muncul di Simalungun mengambil ajarannya dari aliran ini.
Tentang ajaran ini kami bisa memberikan wawasan karena kami pernah menghadiri ibadahnya, yang diadakan setiap hari Sabtu. Ternyata, ini menyerupai ajaran yang terdiri atas berbagai bagian, yang bertumpu pada prinsip tertentu dan menerapkan beberapa formalistas. Untuk memulai ibadah ini, digelar sebuah tikar di tanah. Ketika itu, sebuah pot tanah dan sebuah mangkuk porselen dengan panguras diletakkan sebagai penghormatan, yang disertai dengan kemenyan. Panguras ini merupakan sejenis minuman yang terdiri atas air, yang dicampur dengan getah jeruk, kunyit dan ruku-ruku (daun bane-bane).
Guru atau tokoh agama menempatkan dirinya di tengah tikar itu. Di sampingnya duduk tiyangaras. Tiyangaras adalah sejenis dokter (para tabib dan tokoh agama), yang membawa obat tertentu untuk segala penyakit, yang ramuannya telah dipelajari oleh Porsiakbagi. Getah jeruk, kunyit dan sebagainya berada di tempat ini untuk memunculkan unsur-unsur kehidupan. Cairan ini ditambahkan kikisan timah ditambahkan yang kemudian digunakan oleh tiyangaras.
Seperti telah dikatakan, orang berdoa agar bersih, agar bisa menghapuskan semua kotoran dalam tubuh dan melenyapkan kegelapan jiwa agar perintah para dewa bisa diikuti. Berturut-turut dipanggil:
- Mula Jadi Nabolon, asal-usul semuanya yang telah kita kenal dari kisah penciptaan; cairan panguras yang suci dan murni ditumpahkan kepada orang-orang agar keinginannya terkabul.
- Raja Naga Padoha Ni Aji, juga pemikul dunia kita, dewa tertinggi dari alam bawah seperti kata mantera:”dia, yang menjadi dasar tempat ini, begitu rata seperti tikar, di mana semua hidup, duduk dan juga bale tungkup atau bale pasogit berada (bale tungkup ini adalah tempat di mana Sisinga Mangaraja mengundang para dewa. Tempat ini disebut sebagai sejenis altar atau mesjid dan dari situ bisa disimpulkan bahwa dia juga memeluk Islam. (Jika hal ini benar, maka dengan ini pukulan berat bisa diberikan pada teori Snouck Hurgronje, yang dalam diri setiap orang Islam memiliki tugas untuk menyebarkan agamanya)”.
- Yang Mulia Delapan Arah Angin, yang juga kita pelajari dari kisah penciptaan Batak. Para dewa dunia ini dipanggil untuk melindungi pengetahuan tentang tenung. Dari pustaha tampak para datu atau guru pada status Pane Na Bolon. Juga timbalan ruji-ruji disebutkan dalam doa, yakni seni untuk membuat mantera melalui penempatan bilah bambu disertai dengan pengejaan nama-nama.
- Kedua orang pertama;
- Nantuhan di Batakharus; tidak jelas siapa yang dimaksud.
- Boru ni debata, Si Boru Deak Parujar dan Si Boru Sortamalim; di sini tampaknya deitujukan untuk para dewi. Si Boru Deak Parujar adalah saudari Mula Jadi Nabolon yang melaksanakan perintah dewa tertinggi;
- Para leluhur;
- Patuan Raja Utih dan Rajanta Sisinga Mangaraja. Raja Utih adalah raja legenda Barus (dengan ekor babi). Di tempat tinggalnya muncul Sisinga Mangaraja pertama dan darinya diperoleh simbol-simbol. Simbol yang berasal dari Raja Utih adalah tombak (Si Tonggo Moal), sebuah pisau (Gajah Dopak), dan sebuah tikar (Si Babiat: babiat adalah harimau). Raja Utih meminta Sisinga Mangaraja seekor kuda dengan tanduk, seorang wanita dengan telinga, yang kepalanya tertutup dan seorang pria dengan puting susu panjang, untuk menunjukkan bahwa dia memang seorang raja besar seperti yang dijanjikan kepada Raja Utih. Segera Sisinga Mangaraja setelah mengungkapkan semua ini, menerima penghargaan dan simbol-simbol.
- Ompu Palti Raja. Ini adalah tokoh legendaris dari benteng Urat Mulana. Selama pengepungan benteng ini, Sisinga Mangaraja kehilangan gajahnya karena tembok yang bisa bergerak seperti Sumplegade dari perjalanan Argonut, rubuh menimpa hewan ini. Pertemuan Ompu palti Raja dan Sisinga Mangaraja sebagai benda pemujaan sangat menarik, karena keduanya menjadi lawan dan kini para pengikut kepercayaan pada Ompu Palti Raja menolak kesucian Sisinga Mangaraja.
- Patuan Raja Rum, Patuan Raja Stambul, Patuan Pagarruyung, Raja Ujung Aceh
Ibadah diakhiri dengan doa yang disertai dengan mantera agar bersih dari kotoran dan kegelapan menjauh dari kita. Hal ini dimaksudkan agar kita bisa mengikuti perintah dewa secara layak. Setelah itu, guru meniup uap dupa dari pot tanah, setelah api mengepulkannya. Guru juga meniup kembali sesuatu yang diberikan kepada seseorang. Akhirnya, sedikit uap dari panguras yang ada di porselin diminum.
Ajaran ini selanjutnya menuntut agar setiap tahun pada bulan Batak ketujuh (Sipaha Pitu) para pengikut permalim menggunakan belukar pahit selama tujuh hari dan pada hari kedelapan menggunakan tanaman manis (mungkin dengan ini dimaksudkan sebagai semacam puasa).Pada bulan delapan (Sipaha waluh) sebuah upacara sesaji besar diadakan. Kemudian sejenis altar (langgatan) dibangun, yang dibuat dari sebuah pagar segi empat dari kayu di mana lauk-pauk diletakkan terbuka di atas rotan. Sebuah bendera berwarna merah, putih dan hitam menutup seluruhnya (ini adalah warna yang dalam keyakinan Batak juga digunakan oleh guru dan datu. Kita telah melihat bahwa Bindu Matoga digambarkan dalam tiga warna pada penggunaan mantera ini di atas tanah). Pada puncak keempat ujung bingkai kayu dari langgatan ini diletakan ranting tanaman. Selama upacara, disajikan sebuah kotak. Orang membawa nasi serta bahan makanan lain, dicampur kembali dengan air jeruk dan kunyit, yang merupakan tindakan dan peralatan para pengikut permalim. Setelah itu muncul wanita dan anak-anak.
Pada bulan kesembilan (sipiga siah) dilakukan upacara pesta umum. Selain itu menurut ajaran permalim darah, daging babi (di sini para penulis lama tentang permalim kembali menduga menjumpai pengaruh Islam. Namun, mereka bisa merujuk pada berbagai tempat dalam Perjanjian Lama seperti Lviticus 17; ayat 10-16, yang bisa memberikan bukti asal-usul dari Kristen), anjing, tikus dan kucing dilarang dimakan. Sepuluh aturan atau larangan seperti telah disampaikan ditemukan pada pengikut permalim.
Mereka percaya seperti halnya para pengikut Adven Hari Ketujuh bahwa segera tujuh hari yang mengerikan akan terjadi, didahului dengan sehari pengadilan terakhir. Semua yang bukan pengikut permalim akan mengalaminya. Dengan membawa jimat orang permalim bisa kebal, sehingga pada hari-hari tertentu para penjual jimat bisa meraih keuntungan besar. Penulis berkali-kali telah mengadakan kontak dengan pengikut permalim Simalungun dan memiliki kesan bahwa mereka adalah warga yang patuh.
Mengapa sekte ini dianggap sebagai sekte berbahaya, tidak jelas diketahui. Tentang hal ini, pada tahun 1911 dan 1912 letnan pada dinas topografi Horsting telah bertindak, yang dalam laporannya memberikan gambaran simpatik tentang permalim. Pada bulan Maret 1913 dalam sebuah polemik, Pendeta Brinkschmidt membantah dengan tegas pandangan pendeta dan orang-orang lain yang menganggap sekte ini membahayakan bagi pemerintah dan zending. Jelas mengapa penyebaran ajaran permalim menjadi duri di mata para pendeta. Para pengikutnya permalim memeluk kepercayaan positif. Ketika unsur Kristen muncul, penyebaraan agama Kristen terhambat. Sejauh ini sekte permalim menolak Kristen dan zending, dan orang bisa menyebut pandangannya bermusuhan. Namun, tampak bagi saya bahwa pertimbangan tersebut, sehubungan dengan beberapa ungkapan yang bersifat membahayakan (seperti penjualan jimat) dan mengarah pada tindakan tegas terhadap permalim, perlahan-lahan muncul pandangan bahwa orang di sini menghadapi suatu gerakan yang memusuhi pemerintah. Akan tetapi, di sini orang lupa bahwa membawa jimat merupakan kebiasaan yang tersebar luas di kepulauan ini dan sekitarnya dan juga tidak pernah bisa dianggap sebagai bukti pelanggaran hukum.
Ibadah seperti yang saya hadiri diadakan secara khidmat. Di kampung-kampung permalim terdapat warna kedamaian. Dalam kesatuan ini tinggal beberapa orang pada pemukiman yang letaknya saling terpisah, yang tidak tergabung dalam sekte ini atau kembali menarik diri tanpa mengalami tekanan baik dari permalim maupun dari mereka sendiri. Selain itu, orang berpikir bahwa banyak prinsip yang muncul pada permalim bersifat umum yang berlaku sepanjang waktu di seluruh dunia.
Mereka yang mendirikan ajaran ini dianggap berada di antara semi-dewa atau orang suci, dan ketika meninggal doa-doa dikirimkan ke makamnya, yang jelas menunjukkan kesalahan karena ditonjolkan daftar dosa mereka sebagai faktor pengikatnya. Di mana-mana di tempat lain orang bisa menemukan bentuk yang berbeda. Kami tidak perlu beralih pada orang suci Katolik untuk mencari doa-doa yang bentuknya mirip. Dalam karya Profesor Snouck Hurgronje tentang Aceh pada halaman 158 jilid I dapat dibaca,"Dari lingkungan ini para wali muncul, sahabat Allah yang menurut simbol-simbol keajaibannya (keramat) diangkat oleh Tuhan menjadi di atas manusia, karena mantera dan kemampuan menyembuhkannya, doa-doanya untuk sementara bisa memberikan manfaat atau penderitaan. Setelah kematiannya makam-makam mereka masih memiliki berpengaruh". Dan sebelumnya dikatakan,"Selanjutnya mistik yang tumbuh dalam Islam membawa serta bahwa para pendiri ikatan mistik (tariqat) di lingkungan mereka menjadi guru mantera mereka atau ajaran mistik sebagai wakil Tuhan yang ditaati oleh para muridnya, ditakuti dan dihormati oleh orang lain".
Sesuatu yang kita temukan di masa lalu, melalui pendewaan orang-orang yang berjasa menambah panjangnya sejarah para dewa ini. Kemudian, apakah penghormatan fetisisme Sisinga Mangaraja di sini dan Raja Brooke oleh suku Dayak merupakan sesuatu yang berbeda?
Kami tidak bisa meninggalkan masalah agama sebelum berbicara sedikit tentang gerakan Parhudamdam, yang bersifat agama (beberapa orang menduga politik keagamaan), dan yang pada tahun 1917 para pengikutnya di Simalungun meledak bagaikan lautan api. Sebagai akibat dari terjalinnya hubungan dengan daerah-daerah lain yang dihuni oleh suku Batak (terutama dengan Toba dan Samosir), ungkapan-ungkapan yang ada di seberang danau Toba muncul dari apa yang sedang terjadi di antara penduduk. Misalnya, gerakan ini berhasil menyebar dari Tapanuli ke Simalungun dan daerah-daerah lain di pantai timur Sumatera. Penyebaran pesat ajaran ini sangat mengagumkan dan membuat pendeta zending yang berkarya di sini pada tahun ini keberhasilannya pembabtisan masuk Kristen kurang mencolok, menuntut agar ada tindakan seperti yang terjadi dengan agama baru ini.
Namun gerakan Parhudamdam ini bukan agama baru, meskipun orang menyebut agama Parhudamdam. Berbagai guru muncul dan menyampaikan berbagai hal takhayul kepada penduduk. Mereka menyebarkan bahwa dengan masuk parhudamdam tidak akan ada lagi kesulitan dengan penggarapan kerja wajib dan pembayaran pajak. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa orang akan dibebaskan dari kewajiban yang menekan sehingga dari pihak pemerintah harus diambil tindakan tegas, tetapi selain itu semua gerakan itu memberikan jalan bagi pengungkapan ketidakpuasan yang telah lama terbungkam, kadang-kadang menunjuk pada kekecewaan yang meledak, sementara para guru (yang banyak pendukungnya) mengakui bahwa masa yang lebih baik akan tiba dan roh Sisinga Mangaraja, satu-satunya raja Batak yang besar, akan tenang dan semua yang meminta bantuannya akan terlindungi dengan memasuki parhudamdam ini.
Gerakan parhudamdam bukanlah gerakan pertama yang menarik sebagian bangsa Batak dalam janjinya untuk memperoleh masa depan yang cerah. Suatu prinsip serupa muncul pada tahun 1910 ketika para guru meramalkan kedatangan sejenis Mesias, yang mereka sebut Porsiakbagi dengan kelahiran penuh penderitaan, yang kedatangannya akan didahului dengan pembasmian umum dari semua yang tidak mengikuti ajaran baru ini. Untuk itu, orang menjual jimat agar setiap pengikut akan selamat. Setelah uraian di atas tentang sekte permalim, tidak perlu terlalu ditekankan untuk mengetahui bahwa gerakan ini berkaitan erat dengan ajaran permalim. Kisah-kisah mitos tentang penghancuran dunia, yang membawa jimat yang telah dijual akan terlindung, beredar dan diterima dengan yakin oleh orang-orang yang percaya.
Terhadap hal ini orang menduga hanya bisa bertindak dengan tegas, seolah-olah sarana untuk memberantas kebodohan! Semakin lama semakin banyak gerakan parhudamdam yang muncul di Tapanuli pada tahun 1917. Gerakan ini berasal dari Barus. Pada bulan Agustus 1915 seseorang bernama Jahman telah membawa ajaran gerakan itu. Pada bulan ini dia sakit keras atau setidaknya dilaporkan demikian. Ketika itu dia kehilangan kesadarannya. Dia berada dalam kondisi ini selama jangka waktu lama dan hanya gerakan lemah dari anggota tubuh dan badannya yang tampak, sehingga dia dianggap masih hidup. Ketika orang berkumpul dia mampu kembali menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dia melaporkan telah dibawa pergi oleh seorang pemuda ke langit, yang tinggal di sana siang dan malam. Di sini Debata (dewa) telah mengajarkan sebuah agama baru kepadanya yang membuatnya kebal. Dia menerima perintah turun ke bumi dan menyebarkan ajaran itu.
Dia memiliki pengikut langsung. Betapapun aneh tampaknya, banyak orang bodoh di antara mereka yang menerima begitu saja kisah-kisah dan ramalan yang sulit dipercaya. Jahman di mana-mana ada pengikutnya. Selama gerakan Parhudamdam di Simalungun seorang kepala kampung biasa mengakui dirinya adalah Allah sendiri dan banyak orang datang kepadanya dari dekat dan jauh untuk membuktikan sendiri, menghormatinya dan memberinya upeti. Ketika Allah ini ditangkap, dijumpai uang sebanyak f 240 di rumahnya yang dikumpulkan oleh penduduk kampung yang diberikan kepadanya (di Sulawesi Selatan kemunculan Batara Gowa yang kembali menghebohkan, lebih dari satu abad lalu telah dibuang ke Ceylon sebagai raja Gowa, karena berbagai alasan mengakui kembali sebagai penipu yang mengungkapkan dirinya yang akhirnya mati menggantung diri).
Yang menarik pada parhudamdam adalah ungkapan kultus kemakmuran, yang juga sering muncul dalam kepercayaan orang-orang primitif. Pada tahun 1917 dan 1918 seolah-olah upacara meriah pemujaan Dionysos untuk menghormati Daemon Sabazios mendadak muncul kembali di tanah Batak. Kita tidak perlu pada masa ini menghidupkan kembali gambaran pesta pora Yunani dan Romawi dari buku para arwah, kami bisa menghadiri drama seperti yang digambarkan di sana pada masa kini, sandiwara yang pada malam gelap setelah tidak disadarkan dengan menggunakan panguras, melalui gerakan kepala dan tubuh tertentu dalam sikap duduk, berada di luar dirinya (ekstasi = keluarnya roh). Kemudian, orang berada dalam kondisi bahwa roh Sisinga Mangaraja atau pribadi lain yang telah didewakan merasuki tubuhnya. Mereka bisa ditanya yang jawabannya ingin diketahui orang.
Selain meminum panguras, orang menghisap dupa (kemenyan) dan berbagai kata-kata yang sulit dipahami diucapkan sebagai doa keselamatan. Manteranya adalah "Digi digi dam dam besi dam dam dam sigudam dam besi dam". Untuk gerakan ini disebut parhudamdam atau pargudamdam. Kadang-kadang orang memberinya nama parhorasan (horas = sejahtera) atau sebutan lain yang sejenis (penggunaan berbagai sebutan gerakan ini telah membuat beberapa orang menduga bahwa dimaksudkan untuk membuat pemerintah kebingungan. Namun pandangan ini tidak bisa dibuktikan. Sebaliknya pergantian nama pada orang dan barang memiliki peranan dalam masyarakat Indonesia, sehingga dalam prinsip seperti gerakan parhudamdam juga tidak ada hal khusus yang bisa dilihat). Jika orang tidak sadar, maka dia akan berada dalam kondisi agak gila dan drama yang lucu akan muncul.
Keyakinan ini di mana-mana dikenal di kepulauan ini dalam bentuk syamanisme, tetapi juga di luar daerah dan di sepanjang sejarah baik dalam bidang agama maupun dalam bidang lain (somnambulisme, profeten, medium). Keterlibatan dalam kondisi bawah sadar bisa disebut sebagai "bangun" dan ketika para murid guru yang di mana-mana rajin mencari pengikutnya bisa terjebak dalam kondisi ini secara mudah, rakyat yang bodoh takut untuk mengikutinya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa banyak (terutama anggota muda) yang percaya pada ramalan para guru itu.
Para pengikut Jahman melakukan tindakan pelanggaran, menghasut dan menyebarkan ajaran yang membahayakan ketertiban, sementara juga sejumlah penipu menyalahgunakan kepercayaan penduduk untuk memperkaya dirinya, yang merupakan penyebab pengambilan tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, gerakan ini harus diberantas secara cepat dan tegas bila mereka terbukti dengan pandangan serupa yang dianut rakyat bisa tumbuh dengan cepat yang akhirnya membahayakan mereka.
Dengan demikian jangan pernah dilupakan bahwa massa yang percaya di satu pihak muncul karena kebodohan, di lain pihak karena tidak puas dengan kondisi yang ada. Meraka bergabung untuk meramalkan kondisi lebih baik dan mengenal sarana untuk membangkitkan fantasi rakyat. Ajaran umum ini menjadi bukti bahwa ada hal-hal yang membuat rakyat gelisah. Dalam kasus itu, tugas para pejabat pemerintah adalah memberantas ungkapan-ungkapan (betapapun bodohnya) dan menarik kesimpulan dari situ untuk memberikan bimbingan yang benar kemudian menindak mereka yang tampak jelas terlibat. Jika mereka bertindak terlalu tegas, maka mereka akan kehilangan hubungan dengan penduduk. Semua ini dilakukan dan diteruskan secara diam-diam, sementara kesempatan bagus untuk mendengar tuntutan rakyat lenyap. Suatu bangsa Timur yang terbelakang bisa dikuasai oleh orang asing, yang tetap tidak paham dengan tindakan itu karena mereka dicegah untuk berbicara.
Pandangan serupa yang hidup di seluruh rakyat Batak telah banyak dikenal, tetapi selalu diabaikan. Cara memungut kerja wajib dan pajak tidak bisa melalui hasil penelitian yang netral. Ungkapan kekecewaan tentang ini ditonjolkan sebagai unsur yang berlawanan dengan gerakan itu. Dalam tinjauan dari pihak zending, pemerintah dan pihak lain yang lebih obyektif tentang gerakan parhudamdam dan permalim, kadang-kadang tanpa usaha apapun ingin membuktikan pandangannya, memberikan keterangan bahwa ajaran itu ditujukan kepada pemerintah.
Ketakutan yang muncul menimbulkan dampak yang besar akan hal ini terutama ditujukan pada kaum politisi yang minimal bisa menimbulkan gangguan ketenangan pada mereka yang percaya, walaupun mereka hanya membangkitkan perasaan yang dapat mendorong gerakan itu. Parhudamdam di Simalungun paling berhasil karena tanahnya sangat gersang, terjadi gagal panen, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kemiskinan pada penduduk. Dengan pembongkaran guru-guru palsu, dengan terjebak pada kesulitan yang diketahui, melalui pendekatan kepada penduduk, gerakan parhudamdam bisa ditekan penyebarannya dan akhirnya akan lenyap.
12.Aturan Pantangan, Larangan dan Pertanda Buruk
Ada serangkaian larangan yang berlaku dari dulu, yang sebagian besar masih berlaku hingga sekarang di suku Batak Simalungun yang menciptakan bencana atau hukuman dalam pelanggaran. Selain itu, orang mengenal juga sejumlah pertanda buruk. Bisa dibedakan dalam tiga kategori:
- Marobu
- Pantangan atau hamali (kemali); ini hanya berlaku di Tanah Jawa dan daerah- daerah sekitarnya, yang kadang-kadang digabung dengan pantang hamali.
- Simandatang
Kini orang menggunakan kata itu sebagi jenis pelanggaran lain atas aturan larangan yang dibuat oleh adat. "Pantangan" merupakan setiap tindakan atau peristiwa yang mendatangkan bencana. Namun, dalam bahasa pergaulan kata ini juga memiliki makna yang lebih umum, sehingga semua yang menyangkut marobu atau simandatang juga bisa disebut dengan istilah "pantangan". "Simandatang" bisa diterjemahkan dengan "tanda-tanda, bahwa akan terjadi suatu bencana". Bila sesuatu dianggap pantang, ada peluang melanggarnya, merupakan tanda-tanda awal datangnya bencana. Mandatangi merupakan suatu tindakan yang sengaja untuk tidak menciptakan bencana. Dengan melakukan tindakan ini, malahan dianggap sebaagai mengundang bencana.
Misalnya ada marobu untuk menyebut nama raja dan di Tanah Jawa dengan mengucapkan suatu kata yang dimulai atau diakhiri dengan "hor", karena dulu ada seorang raja yang bernama Horpanaluan. 0rang harus menyebut seekor kerbau "Siranggas" (horbo); untuk pembelian orang tidak digunakan istilah "tuhor" tetapi "boli". Di Siantar orang tidak boleh menyebutkan kata yang dimulai atau diakhiri dengan "sang", juga menyebut kata "walu" (delapan) karena raja dahulu bernama Sangnawalu. Di sini sebagai ganti "sangge-sangge" (semacam sayuran) orang menggunakan "hosaya ganjang" pisang disebut "punci" sementara orang tidak menyebut angka 8 "uwalu" melainkan delapan. Ketika kini orang mendengar kata yang dilarang diucapkan, orang bisa mengadukan pelanggar karena marobu. Sebaliknya, selalu ada pantangan (juga apabila orang sepakat) untuk menyebut nama sendiri atau nama orangtuanya.
Kini di bawah terdapat aturan-aturan larangan dalam beberapa kasus. Pantang mangimas ladang (dalam membuka ladang) adalah pantangan menggarap ladang ketika pada awal pembukaan suatu peralatan dari baja hilang. Ketika baragi (burung) berbunyi "piut-piut", orang berpikir sebaiknya tidak meneruskan pekerjaan. Karena hasil yang akan dipetik adalah piut (menciut).
Sebaliknya apabila suatu tanda dianggap sangat baik, ketika leto atau siburuk (jenis burung) berbunyi "gup-gup", yang berarti penambahan hasil. Pantang di tongah juma (aturan larangan di ladang) terdiri atas:
- Di ladang orang tidak boleh makan, karena akan memanggil kera dan babi liar.
- Ketika ada sebuah petak tanah di ladang di mana benih tidak muncul (haliouan), maka ini disebut simandatang.
- Di sepanjang tanaman tembakau atau katun orang tidak boleh mengangkut orang sakit karena mengancam panen.\
- Ketika orang menebang batang pohon di ladang selama tahun-tahun pertama gajah akan merusak tanaman.
- Tidak boleh ada tali direntang dan besi tergeletak dalam sopo (rumah ladang).
- Orang tidak boleh mengisi kolam berbentuk silinder dari batang kayu atau hobon dengan kapur atau minyak (dari pohon simarnangka, torop atau banitan untuk menimbun padi) , karena akan membusuk.
- Ada pantangan ketika memasang tiang rumah ladang burung bossala mengeluarkan bunyi tertentu seperti "paisir sopo pilit" yang berarti pindahkan sopo ini.
- Ada pantangan ketika dalam sopo dijumpai seekor kala (gassip golang atau ganjou bunt
- Ada pantangan untuk menggunakan tiang atau balok yang sudah patah dalam persiapan membangun.
- Orang juga tidak boleh menggunakan kayu dari batang pohon yang setelah ditebang tidak terlepas dari induknya.
- Ada pantangan ketika mempelai wanita "tarsuruk tohang-tongah" yang menyebutkan ketika dibawa ke rumah suaminya ia tidak boleh melewati tohang. Balok penghubung yang disambung disebut "tohang jolojolo, tohang tongah-tongah, dan tohang pudipudi. Dia harus mencapai tempat di mana dia akan tinggal tanpa harus melewati balok tengah itu.
- Ada pantangan ketika wanita muda segera setelah menikah pergi bekerja di ladang. Harus menunggu antara 4 dan 8 hari sebelum dia bekerja. Sebelumnya dia harus menanam tebu atau bunga, sebelum melakukan pekerjaan di ladang.
- Seorang wanita hamil dilarang duduk di pintu terbuka. Hal ini akan mempersulit proses kelahirannya nanti.
- Ada pantangan pada masa ini untuk mengawinkan anak di samping meminjamkan barang atau uang.
- Pria tidak boleh memotong rambut selama isterinya hamil karena anaknya tidak akan botak. Dia tidak boleh mengambil sumpah. Jika dia mengambil sumpah sah, maka ia akan disumpahi oleh orang lain.
- Orang tidak boleh memasang atap bila balok ujung retak.
- Atap harus tetap berada di atas bubungan (bogasna taralang). Jika orang mengakhiri di tengah jalan maka ia akan menemui bencana.
- 0rang tidak boleh meneruskan dengan mengikat atap bila tali patah;
- Ada pantangan ketika patah mengeluarkan bunyi retak, ketika ada sesuatu muncul dari atap dalam simpul tali, kemudian ketika atap ditunjukkan dan agak ditonjolkan. Orang harus menyimpul atap dari bawah ke atas dengan tali, sehingga serat pengikatnya menjadi kencang.
Pantang sanga ro simaring kuning pantangan selama senjakala di ufuk pada sore hari, yang terdiri atas:
- Anak-anak yang giginya belum dipangkas tidak boleh keluar pada saat ini. Ketika mereka berada di luar bersama orangtuanya di ladang, maka mereka harus memasang daun di belakang telinganya untuk mencegah bencana.
- Bagi wanita hamil ada bahaya selama senjakala untuk duduk di pintu rumah. Jika tetap terjadi bencana, maka dia harus membersihkan diri dengan abu di tempat memasak dan menyemburkan ke bawah sambil berteriak "Peh Ko".
- Ada pantangan bersiul selama pengumpulan bagot karena hasil yang akan diperoleh sedikit.
- 0rang tidak boleh segera meminumkan bagot yang diperoleh itu kepada seseorang;
- Ada marobu bila membawa bagot untuk raja dalam sebuah bambu terbuka atau pindak kiri. Tuak ini harus ditutup dengan daun aren dan dipikul ke rumah dengan pundak kanan.
- ada pantangan bagi seseorang untuk menyebut "bawalah banyak ikan" ketika ikan muncul, karena hasilnya akan sedikit.
- Juga ada pertanda buruk bila melihat seekor ular di sawah ketika orang mencari ikan.
- Jika orang bisa memperoleh dua ikan di sebuah kail, maka orang membawa pulang kail itu dengan kedua ikan untuk mencegah simandatang atau bencana.
- Begitu juga bila orang menduga menangkap seekor ikan besar dan hanya mendapatkan sebuah ikan kecil di kail, 0rang boleh mematahkan kail itu dan melepaskan ikan itu kembali.
- Untuk menangkap seekor ikan dengan ekornya merupakan simandatang.
- Ada pantangan untuk berteriak langsung (ketika seekor burung ditangkap dengan getah) yang dilakukan orang. Bila dilakukan, ada peluang burung itu terlepas kembali.
- Dalam membuat jala atau jaring untuk menangkap burung ada pantangan bersiul.
- Ada pantangan bila seekor kerbau melahirkan anaknya tanpa bulu atau tanpa pasang surut (pusar).
- Ada pantangan bila babi atau anjing hanya mengeluarkan seekor anak (harom). Harom hululuan adalah bila binatang itu melahirkan anak jantan, harom hutalaga bila melahirkan anak betina. Jika semua anaknya jantan, maka mereka dibawa ke sungai dan seorang anggota marga akan menangkapnya kembali; jika betina, maka orang harus melakukan hal yang sama dan anak borulah yang harus melakukannya, agar bisa tetap dipelihara semua anaknya.
- Ada pantangan untuk mencabut bulu dari seekor ayam, selama mengerami telur. Hal ini akan merintanginya bertelur kembali.
- Ada simandatang bila seekor ayam mengerami telor pada malam hari dan bila seekor ayam biasanya mengeluarkan telor besar, tiba-tiba secara mendadak mengeluarkan telor kecil.
- Ada simandatang luar biasa bila seekor ayam mematuk dan memakan telornya sendiri.
- Ada pantangan untuk tetap menumbuk padi bila seseorang kecapaian (marholih).
- Ada pantangan untuk menumbuk tepung, sementara tangan masih basah oleh ludah.
Pantang mardahan boras pantangan dalam memasak nasi. Pantangan untuk menyanyi ketika memasak nasi atau ketika seorang wanita melepas ikat kepalanya (bodang-bodang), atau bila dua periuk saling berderet diletakkan dan air akan dituang pada beras (marsibake). Pantang sangat makan adalah pantangan pada waktu makan terdiri atas:
- Ada pantangan memegang sendok (yang terbuat dari bambu) di atas makanan yang akan digunakan.
- Juga ada pantangan bila seorang wanita mengambil nasi dan orang pria mengambilnya dengan sendok.
- Ada pantangan bagi pria tanpa ikat kepala (gotong) untuk makan. Ini menimbulkan mandatangi besar.
- Halibotongan marsubur yakni simandatang besar bila cahaya matahari melalui sebuah lobang kecil di atap menerpa makanan atau air minum.
- Ada pantangan membawa seseorang yang terkena luka bakar ke dalam rumah. Hal ini akan menimbulkan kebakaran menurut orang (kepercayaan ini tidak ada di mana-mana).
- Mengambil barang orang yang rumahnya terbakar berarti simandatang.
- Ada mandatangi bila membuang sebuah potong kayu terbakar.
- 0rang tidak boleh menggunakan benih padi yang selama wafatnya seseorang dibawa keluar dari kampung.
- Ada pantangan pergi ke ladang setelah orang menghadiri pemakaman (di beberapa daerah).
- Ada pantangan masuk rumah di mana tikar tempat jenazah dibaringkan masih digelar.
- Ada mandatangi bila orang membawa serta bendera atau kayu dari makam.
Pantang sangat borngin (pantangan pada malam hari):
- Pantang untuk memotong kuku atau rambut pada malam hari;
- Ada simandatang bila seekor merpati muncul di kampung pada malam hari
- Ada pantangan bagi seseorang yang masih memiliki orangtua untuk menggunakan air jeruk pada malam hari atau mengunyah tebu, tanpa sebelumnya membakarnya (di beberapa daerah).
Imigrasi 0rang Toba
Simalungun, sebagai daerah pertanian yang subur sebelum daerah ini ditenangkan di bawah pengaruh pemerintah, hampir tertutup bagi orang Toba. Perjalanan melalui danau Toba sangat berbahaya karena adanya perompakan yang dilakukan secara besar-besaran. Adanya saling perang di antara para raja di daerah ini membuat Simalungun kurang menarik bagi orang asing untuk tinggal di daerah itu. Emigrasi orang Toba ke wilayah ini juga tidak terjadi (pada masa lalu seperti yang diketahui dari legenda, lalu-lintas lebih padat. Pengaruh adat dan kebiasaan Toba di daerah Simalungun juga tampak terasa).
Setelah hubungan antara pejabat pemerintah Eropa di Labuhan Ruku dan tanah-tanah Batak yang merdeka meningkat dan pada tahun 1904 seorang pendeta dari Rhinische Missiongesellschaft ditempatkan di sekitar Bandar. Pengaruh yang lebih baik mulai terasa di antara penduduk. Namun, karena mereka dihinggapi oleh kemalasan dan keterikatan akan candu dan judi, segera pendeta ini mencoba mengajak warga dari daerah yang kelak berhasil digarap pada tahun-tahun mendatang, untuk pindah ke sana dengan maksud membuka dan menanami daerah yang luas dan subur itu untuk dijadikan ladang persawahan.
Setelah berunding dengan Kontrolir Batu Bara dan Toehan Bandar saat itu (kepala adat setempat) tanah ini dibuka bagi imigrasi orang Toba. Pemerintah menyediakan dana yang digunakan untuk pengairan, sementara juga dari pihak swasta disediakan dana untuk menyempurnakan proyek itu. Pada mulanya hanya sejumlah kecil orang yang berhasil dibujuk untuk pindah ke Bandar. Jumlah imigran (wanita dan anak-anak ikut dihitung) pada tahun 1907 masih sebanyak 280 jiwa dan pada tahun 1912 mencapai sekitar 1760 jiwa.
Penyakit dan kematian memakan banyak korban, karena kaum pendatang daerah ini bercampur dengan kaum pendatang dari daerah yang cuacanya lebih dingin, seperti Angkola dan Mandailing. Usaha yang pertama tampaknya gagal. Akan tetapi, setelah seorang kontrolir ditempatkan di Pematang Siantar pada tahun 1907 dan pada tahun itu di tempat ini juga seorang pendeta berkarya, kaum imigran mendapatkan perhatian lebih banyak. Banyak waktu disediakan untuk mereka. Pada tahun 1908 perundingan pertama dengan para penguasa otonom Siantar dan Pane dimulai, dengan maksud untuk mendorong pertanian sawah melalui imigrasi orang Toba di wilayah itu. Jadi, keinginan untuk pindah ke daerah perairan yang terletak di Pematang Siantar mulai tampak. Memang, pada tahun-tahun pertama orang mengalami kegagalan panen, tetapi segera dilakukan perbaikan. Hanya beberapa keluarga saja yang mau menetap. Namun, dengan perjalanan pulang dan pergi Simalungun semakin terkenal di antara orang Toba. Sementara itu, kondisi ekonomi penduduk mendorong mereka untuk melakukan imigrasi. Tanah yang cocok untuk pertanian hanya sedikit nilainya, sehingga para penguasa adat tidak berkeberatan. Daerah yang disediakan melalui proyek pengairan Bah Korah I dan Bah Korah II (seluruhnya mencakup luas 2000 hektar) disediakan bagi para imigran.
Kaum imigran tiba di wilayah ini hampir tanpa bekal, tetapi segera bisa menemukan pekerjaan di perkebunan yang pertama dibuka di wilayah ini. Selain itu, mereka menyetorkan beberapa material pada perkebunan yang baru itu, seperti atap dsb., serta melengkapi makanan utamanya dengan membuka ladang langsung di tanah yang kemudian akan diolah menjadi sawah. Pada tahun 1910 sawah-sawah pertama dibuka di daerah itu. Rumah kaum pendatang mirip dengan gubuk yang terbuat dari bahan sangat primitif (alang-alang dan daun-daun). Namun, setelah panen pertama selesai, mereka membangun beberapa rumah dari bahan lebih kokoh, yang kini menjadi pemukiman di daerah pengairan. Akhirnya daerah pemukiman ini berkembang menjadi kampung-kampung yang maju.
Meskipun wabah kolera pada tahun 1908 dan 1911 memakan korban yang besar dari penduduk, jumlah imigran tetap meningkat. Jumlah kaum pendatang di Simalungun bisa ditetapkan:
- tahun 1913 sekitar 6.500 jiwa
- tahun 1915 sekitar 8.800 jiwa
- tahun 1917 sekitar 11.250 jiwa
- tahun 1919 sekitar 12.840 jiwa
- tahun 1920 sekitar 20.460 jiwa
Mengingat tidak diketahuinya dampak-dampak praktis dari imigrasi ini, pada mulanya hanya struktur organisasinya saja yang dibenahi. Berbagai warga yang terdiri dari berbagai marga tinggal di pemukiman yang sama dan mereka membiarkan kaum pendatang untuk memilih tanah untuk diri mereka sendiri. Bertolak dari sini kemudian berbagai masalah dan benturan muncul, yang akhirnya menimbulkan kekacauan yang besar bagi pemerintah. Pada mulanya, sebelum mereka pergi ke sana, tampaknyaperlu dibuat aturan untuk mencegah dampak-dampak yang tidak diinginkan, karena mungkin akan menghambat imigrasi dan mengurangi kebebasan mereka. Baru ketika pengalaman telah diperoleh dan imigrasi tidak dapat lagi dicegah, saatnya tiba untuk mengatur dalam pembukaan tanah-tanah baru. Tentang ini akan kita bahas kemudian.
Satu-satunya kewajiban yang dibebankan kepada pendatang adalah pembukaan saluran air komunal. 0rang dapat menghindarinya dengan menunjuk seorang pengganti yang dibayar 50 sen sehari kerja. Ada beberapa orang kaya juga yang memanfaatkan hak ini. Bagaimana kelangsungan imigrasi ini sebenarnya?
Pada mulanya ada kemungkinan untuk memperoleh status raja (suatu posisi sebagai kepala yang sangat diharapkan oleh orang Batak) menjadi salah satu daya tarik untuk mendorong emigrasi dari Tapanuli ke wilayah ini. Orang-orang yang berpengaruh di Toba, yang di sana tidak bisa menjadi raja, mencoba mengajak sejumlah orang untuk ikut serta pindah ke Simalungun untuk membuka pemukiman baru di sana, dan dia menyatakan dirinya sebagai kepalanya (pimpinan). Dia tidak segera diakui, tetapi segera seorang kepala mengumpulkan lima tangga (keluarga), dia menjadi kepala rodi (rodi berarti kerja wajib); jika jumlah ini tumbuh menjadi tujuh keluarga, orang mengakuinya sebagai penghulu. Jumlah lima tangga memberinya hak menyandang gelar raja iutan.
Gelar pertama dan terakhir diambil dari Tapanuli. Hanya penghulu yang merupakan kata Simalungun. Kini (tahun 1921) orang tidak lagi mengakui raja iutan dan kepala rodi di Simalungun. Semua kepala adalah penghulu. Pengadilan dalam kasus-kasus kecil diserahkan kepada kepala adat. Kasus besar akan diselesaikan oleh Kontrolir dan Toehan Bandar. 0rang sama sekali tidak berani menyerahkan kaum imigran kepada para penguasa adat, karena sifat mereka masih terlalu despotis dan menurut pandangan yang ada masih terlalu mengeksploitasi warganya sendiri. Kaum pendatang pasti akan mengalami penderitaan.
Perlahan-lahan kini kelompok imigran berkuasa di bawah pimpinan orang yang menganggap dirinya sebagai kepala mereka dan bertanggungjawab atas pembentukannya menurut aturan yang ada. Di tanah asalnya, kaum emigran didorong dan ditopang oleh berbagai faktor. Untuk Samosir dengan penduduknya yang padat dan miskin, semua faktor ini tampaknya menguntungkan. Namun, meskipun sebagian penduduk di sana masih hidup dari ubi karena kekurangan beras, orang Samosir sebagai petani ladang merasa kurang cocok untuk membuka sawah. Selain itu, mereka sangat terikat dengan danau Toba, sehingga mereka hanya untuk sementara pindah guna mencari penghidupan di tempat lain. Kebanyakan mereka kembali setelah bekerja sebagai buruh harian ke daerah asalnya. Hanya sedikit yang tinggal menetap di Simalungun.
Toba juga berpenduduk padat dan di sini banyak terdapat persawahan di tanah basah, walaupun irigasi di sana masih belum maju, sehingga semua orang yang ingin dan bisa membuka sawah bisa melakukannya di daerah Simalungun. Dari faktor ini jumlah emigran ke Simalungun meningkat. Di Silindung dan Angkola orang menjumpai tanah-tanah paling indah dari Tapanuli, tetapi juga di sana tidak lagi memadai menampung semua orang, sehingga banyak yang pindah ke daerah lain yang masssih tersedia sawah.
Terdapat banyak kendala untuk meninggalkan tanah bagi para emigran ini. Jelas para kepala adat tidak senang melihat penduduk mereka pindah ke daerah lain. Pencegahan (meskipun tidak terbuka) merupakan hal yang sifatnya alami. Berbagai kewajiban adat harus mereka penuhi sebelum meninggalkan daerahnya. Mereka harus menyerahkan upeti kepada kepala adat berupa berbagai macam rempah-rempah. Selain itu, mereka harus membayar kepada kepala adat f 3 dan melunasi pajak serta kerja wajib selama setahun sebelum mereka pergi. Mereka harus "menyelesaikan urusannya sendiri" seperti bunyi istilah itu, sehingga mereka (bila berutang) tidak bisa tenang sebelum utangnya dilunasi. Sementara itu kekejaman raja sering menimbulkan berbagai kesulitan lain yang harus dicegah atau diawasi oleh pemerintah Eropa. Para kepala adat mendadak ingat pada adat lama bahwa mereka sebelum meninggalkan tanahnya harus menyerahkan 10% tanahnya kepada para kepala adat. Kadang-kadang kepala adat melarang mereka yang akan pindah itu untuk menjual tanahnya guna membiayai kewajiban keuangannya sebelum mereka pindah. Jadi, banyak orang yang bisa pindah setelah mengorbankan segalanya. Kemudian ada pula yang pergi secara diam-diam untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab yang harus dipenuhi di daerah asalnya. Memang, di antara para pendatang ini dijumpai orang-orang yang meninggalkan Tapanuli dengan tujuan untuk menghindari penguasa atau hal lain. Bagi pemerintah Eropa sangat sulit untuk menempuh jalan yang wajar dalam kondisi ini.
Namun, setelah semuanya jelas terbukti bahwa emigrasi dari Tapanuli ke Simalungun merupakan akibat dari dorongan yang ada dari dalam diri penduduk sendiri, meskipun ada pencegahan dari pihak penguasa pribumi, mereka tidak mengalami kesulitan. Suatu gelombang besar terjadi dan di Siantar, Pane dan Tanah Jawa (tiga daerah Simalungun di mana ditemukan banyak tanah berpengairan) tumbuh sejumlah pemukiman Toba, di daerah alang-alang yang sampai sekarang masih sedikit penduduknya dan terbengkalai. Kini, setelah lahan berpengairan di Tanah Jawa (daerah Bah Tungguran) diberikan, arus ke sana menjadi sangat besar.
Pencarian calon emigran tidak ada, karena orang membiarkan perpindahan alami dan kaum pendatang membawa serta kerabat dan anggota keluarganya ke Simalungun, agar mereka bisa hidup lebih baik di wilayah yang baru ini. Karena Tapanuli merupakan daerah yang diperintah secara langsung dan Simalungun terdiri atas daerah-daerah penguasa pribumi, kesulitan muncul berkaitan dengan hubungan antara kaum pendatang sebagai warga pemerintah yang memasuki daerah penguasa pribumi tempat mereka tinggal. Mereka tetap menjadi warga pemerintah dan berada di luar wewenang penguasa pribumi.
Pada bulan Juli 1914 untuk sementara jabatan kepala Toba dibentuk oleh pemerintah, sehingga pengaturan terhadap orang Toba dilepaskan dari penguasa pribumi. Situasi ini, yang didasarkan pada keputusan hukum yang tidak ada dalam lembaran negara, tidak dipahami baik oleh penduduk maupun oleh penguasa pribumi. Penguasa pribumi mengajukan pertanyaan apakah mereka bukan sebagai warga pemerintah. Semua ini berubah pada tahun 1918, ketika perubahan dalam aturan-aturan tentang kewargaan di daerah penguasa pribumi Simalungun dinyatakan berlaku dan semua orang pribumi, yang juga datang dari daerah lain seperti Jawa, Toba , dan sebagainya menjadi rakyat penguasa pribumi (lihat Bab IV, sub 3).
Pada mulanya ada kesulitan karena orang Toba Kristen kurang suka diletakkan di bawah pemerintahan para penguasa kafir atau Islam, yang biasanya kurang maju dibandingkan dengan banyak orang Toba atau orang Batak lain dari barat. Hubungan kaum pendatang dan penguasa pribumi sering dijadikan alasan adanya masalah yang kemudian berakhir dengan pertarungan berdarah dan para raja Simalungun tidak mampu untuk menyelesaikannya; terutama karena mereka tidak mengenal hubungan keluarga dan aturan adat orang-orang ini, tetapi juga karena dengan kebodohan mereka yang tidak bisa diharapkan tindakan-cerdasnya dalam mengatasi situasi sulit ini.
Yang dapat dilakukan terhadap aturan ini adalah pembuatan aturan yang lebih murni dan lebih mudah mereka pahami. Jabatan kepala orang Toba melalui hubungan baru ini menjadi kehilangan maknanya, sehingga jabatan ini kembali dihapuskan. Sekarang para kepala kampung pendatang berada di bawah penguasa pribumi. Peradilan atas mereka dilakukan oleh karapatan tradisional, sehingga semuanya bisa berjalan normal. Seperti telah dipahami, masih ada kesulitan sehubungan dengan perbedaan dalam adat dan sifat antara kaum pendatang yang sangat rajin dan penguasa pribumi yang terbelakang, tetapi perlahan-lahan perubahan juga terjadi terutama bila suatu generasi berikutnya dari penguasa pribumi dapat mencapai tingkat lebih tinggi melalui pendidikan dan pengajaran (terdapat sekolah dan asrama bagi anak-anak para kepala ini).
Dengan tujuan untuk mencegah agar di daerah irigasi baru muncul pemukiman baru yang tidak teratur, seperti yang sampai sekarang terjadi di kompleks persawahan yang ada, pada tahun 1920 dirancang suatu aturan untuk membagi sawah dan tempat tinggal kampung di daerah Bah Tungguran (daerah Tanah Jawa), yang pengairannya dibuka pada tahun itu. Aturan ini ditetapkan setelah perdebatan dalam komisi irigasi. Dengan adanya keinginan pemerintah untuk melakukan kerjasama lebih baik antara pemerintah daerah, dinas irigasi dan dinas informasi pertanian, melalui keputusan daerah nomer 641 tanggal 14 Juli tahun itu dibentuk suatu komisi. Komisi ini terdiri atas kepala pemerintah daerah (sebagai ketua), insinyur irigasi dan guru pertanian.
Pedoman yang telah dibuat diikuti di sini, tetapi perluasan berikutnya muncul kembali. Setelah dipetakan seluruh daerah irigasi yang dibagi dalam seksi-seksi, lahan pertanian mereka berhasil diairi. Setiap seksi di kompleks persawahan dibagi dalam sembilan sawah, masing-masing 1 hektar. Tempat pembangunan kampung ditunjukkan dalam peta dan diuraikan di lahan itu. Kompleks seluas 9 hektar itu dibuka bersama-sama oleh mereka yang memiliki hak, termasuk yang akan membuka sawah. Setelah itu, setiap orang menggarap sawahnya sendiri, memperhatikan peraturan pengaturan pekarangan dan peraturan pembuatan rumah.
Kepada setiap pendatang suatu petak sawah disediakan yang diberi angka pada peta dan catatannya dibuat dalam daftar. Juga kepadanya disediakan pekarangan tertentu yang dibuka secara layak di kampung tempat dia tinggal. Sebanyak mungkin dalam pembagian ini perlu diperhitungkan letak ladang mereka yang untuk sementara tinggal di daerah ini. Dicoba untuk menempatkan kaum pendatang di kampung-kampung ini, dapat dijamin perkembangannya dengan menampung kelompok atau rombongan keluarga yang tidak saling bermusuhan di suatu kampung. Hal ini merupakan persoalan yang belum begitu diperhatikan dalam membuka pemukiman Batak. Jalan-jalan dibuka di sepanjang saluran air utama dan untuk menghubungkan antarkampung,
Kunjungan ke Simalungun dilakukan yang menunjukkan keberhasilan yang besar dari kolonisasi ini bagi daerah itu, terutama bila diingat beberapa tahun lalu kondisi pertanian tradisional di wilayah ini masih terbelakang dan kondisi di antarpenduduk pribumi tidak menguntungkan. Petak luas tanah dengan tanaman sawah yang tumbuh, pemukiman Toba yang tersebar di mana-mana, yang secara perlahan-lahan permahan diperbaiki, menunjukkan pemandangan yang lebih bersih, dan membuktikan kemajuan kesejahteraan. Kompleks pasar dan hubungan darat meningkat sehingga dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa ada kemajuan di antara penduduk sendiri. Pantai Timur Sumatera ini bagi masyarakat pribumi menunjukkan kehidupan ekonomi yang mentakjubkan.
Jika orang menyebut Deli, maka orang mengacu pada perkebunan, yang kesejahteraan warganya bertumpu pada industri perkebunan besar. Di wilayah ini perekonomian dasarnya lebih kokoh karena ditopang dan diperkuat oleh pertanian penduduk yang menghasilkan kesejahteraan, sebagai konsekuensi dari lancarnya lalu-lintas perdagangan tradisional.
Kolonisasi Jawa di Luar Perkebunan
Selama beberapa tahun di luar wewenang pemerintah, di berbagai tempat wilayah Pantai Timur Sumatera dibentuk pemukiman orang Jawa, bekas kuli kontrak yang ingin bermukim di daerah itu. Di Simalungun dijumpai kampung-kampung Jawa di sekitar dan di ibukota Pematang Siantar, selanjutnya di daerah dekat Pantoan, beberapa kilometer sebelah timur Siantar, di daerah Jorlang Hataran dan di Bandar (bagian timur laut daerah Siantar).
Koloni Bandar Jawa
Pemukiman terbesar adalah Bandar Jawa yang tidak jauh letaknya dari pusat perdagangan yang berada di daerah irigasi Bandar Meratur. Kaum pendatang di kampung ini semua memiliki pekarangan; pemukim pertama memiliki lahan seluas 50 kali 60, tetapi orang yang tinggal kemudian memiliki ukuran jauh lebih kecil dan memiliki sebidang tanah sekitar 3/4 hektar. Sementara mereka dapat mencapai kesejahteraan tertentu tanpa bantuan pemerintah. Pada awalnya, bagi pertanian keluarga primitif, mereka memperoleh izin untuk menebang kayu di hutan, sementara hasil tanah mereka semuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Biasanya, kaum pendatang pertama umumnya adalah orang-orang yang memiliki sedikit tabungan, atau bekerja kepada orang lain untuk berusaha memperoleh kebutuhan pada tahun-tahun pertama yang sulit. Juga tampak bahwa mereka berusaha memperoleh hak milik atas tanah di perkebunan, tempat mereka bekerja dan selama kontrak di perkebunan masih belum berakhir, kaum wanita menggarap tanah itu hingga suatu saat kaum pria datang untuk memetik hasilnya. Keduanya menemukan mata pencahariannya melalui kerja di perkebunan ini.
Di Bandar Jawa kaum pendatang pertama tinggal pada tahun 1915. Setiap tahun jumlah mereka bertambah. Kerabat dan kenalan (saudara), bukan hanya dari sekitar wilayah itu tetapi juga dari jauh seperti Tamiang. Mereka datang bergabung dengan orang-orang yang telah tinggal di sana. Mereka juga memperoleh sebidang tanah untuk dikerjakan dan secara perlahan-lahan pemukiman ini berkembang. Kini sekitar 800 jiwa tinggal di sana. Sebagai akibat malaise yang menimpa perkebunan, banyak kuli kontrak dipecat. Namun, Jumlah pemukim pada tahun 1920 dan tahun-tahun berikutnya meningkat pesat.
Seorang pemukim pertama yang sangat berpengaruh pada pendatang lain dianggap sebagai kepala dan diakui oleh penguasa setempat. Sebuah rumah ibadah dan sekolah didirikan, disediakan seperangkat gamelan serta wayang. Sekolah di sana seluruhnya dianggap sebagai volkschool (sekolah rakyat). Bangunan ini didirikan oleh tenaga gotong-royong dan sedikit bantuan dana dari pemerintah. Guru digaji dari anggaran kampung menurut aturan yang berlaku bagi pendidikan rakyat, sementara uang sekolah yang kecil jumlahnya dipungut yang kemudian disetorkan ke kas daerah.
Di pemukiman ini muncul ikatan kampung. Kaum pendatang baru tiba di sana, dan mereka merasa terikat dengan alasan kekerabatan atau hubungan lain. Sementara kepala kampung mereka hormati karena kepala kampung itu memiliki kekuasaan. Dalam membuka koloni baru kebutuhan untuk membentuk ikatan kampung tertentu dan mengembangkannya kurang mendapatkan perhatian. Namun, keberhasilan koloni itu kebanyakan tergantung pada adanya ikatan ini. Salah satu perkebunan yang terdiri atas sejumlah besar orang tidak otomatis merupakan kampung yang memiliki ketahanan sebagai ikatan hukum. Untuk itu, diperlukan ikatan itu agar mereka saling merasakan ikatan hukum ini. Di Bandar Jawa ikatan ini muncul secara alami bersamaan dengan terbentuknya koloni ini.
Kolonisasi Jawa oleh Pemerintah
Malaise yang terjadi sebagai akibat Perang Dunia I, menyebabkan banyak perkebunan teh dan karet harus memecat sejumlah besar tenaga kontrak. Dengan tujuan berusaha menampung sebagian besar kuli yang dipecat di wilayah ini, gubernur dalam keputusan tanggal 17 Maret 1921 nomer 203 membentuk Dana Kolonisasi yang dananya berasal dari sumbangan dari penguasa, lembaga dan penyumbang. Dana ini digunakan untuk menutup beaya kolonisasi yang diorganisir. Meskipun harapannya agak mengecewakan banyak pihak, karena jumlah kuli kontrak yang kembali ke Jawa sangat kecil bila dibandingkan dengan yang datang, kolonisasi walaupun perlahan-lahan semakin luas. Pada tahun 1921, 200 keluarga ditetapkan untuk itu tinggal di daerah dekat Pematang Bandar. Juga ketika pemerintah mendengar berita bahwa sejumlah besar kuli kontrak dipecat di perkebunan tertentu, tindakan diambil untuk memperkenalkan orang-orang ini dengan kolonisasi dan mencoba mendorong mereka untuk tetap tinggal di wilayah itu.
Seleksi dilakukan terhadap kaum pendatang. Tingkah laku yang baik, status perkawinan, daerah asal di Jawa di mana persawahan dibuka, juga ditanyakan. 0rang yang lemah dan orang-orang yang dikenal tidak baik tidak diizinkan tinggal di sana. Pertama-tama lahan kolonisasi dihitung, seluas 900 hektar di sekitar perkebunan Kerasaan dan Pematang Bandar. Lahan ini memiliki kemiringan yang cocok untuk irigasi khususnya sekitar 1:200 atau 5 meter per kilometer, sementara saluran pengaliran sekitar 8 1/2 km panjangnya yang airnya diambil dari Bah Pamudian.
Kampung-kampung akan dibuka di suatu daerah dalam jarak dekat dari sungai tersebut. Luas setiap kampung sekitar 25 hektar. Setelah ditentukan tanah khusus untuk penggembalaan ternak, dilakukan pengukuran tanah yang cukup teliti bagi setiap orang Batak yang tinggal di sana. sebidang tanah seluas 650-700 hektar tetap disediakan bagi mereka untuk membuka sawah. Setiap kampung (ada 6 kampung) menampung antara 100 dan 120 keluarga. Setiap keluarga menerima pekarangan 40 kali 50 meter. Direncanakan dibangun kampung dengan alun-alun, tempat ibadah, sekolah dan sebagainya. Sebelumnya, fasilitas umum ini disiapkan sendiri oleh kaum pendatang.
Mereka wajib bersama-sama membuat jalan ke dan dari kampung. Saluran irigasi digali dengan sistem kerja upah. Kaum pendatang saat itu bisa segera menikmati fasilitas itu. Mereka harus merawat pekarangan yang telah ditentukan dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat oleh pemerintah. Pada mulanya, mereka menerima peralatan dan setelah itu makanan dan perlengkapan, dan bila perlu disediakan bahan untuk pembuatan rumah; semuanya sebagai uang muka. Uang muka ini diberikan tanpa bunga dan harus dilunasi dengan menggunakan sistem angsuran bulanan. Sementara pelunasan seluruhnya dilakukan setelah panen.
Pengalaman menunjukkan bahwa bagi kaum pendatang, diberikan uang muka senilai f 60 yang dianggap memadai untuk membangun rumah sesuai dengan keinginan mereka, sementara uang muka untuk kelangsungan hidup mencapai sekitar f 10 per bulan per keluarga. Mereka dapat membangun rumah mereka sendiri sesuai pilihannya. Perhatian terus diberikan agar penempatannya tampak teratur.Seorang pengelola dibebani untuk mengawasi kolonisasi yang tinggal di Pematang Bandar yang harus melaporkannya setiap hari dengan para pemukim. Aktivitas mereka tidak hanya terbatas pada kolonisasi di Bandar, tetapi juga di tempat lain. Dia memberikan bimbingan bagi pemukiman kaum kolonis. Seorang mantri disediakan di daerah kolonisasi ini. Para pemukim juga diminta untuk melakukan propaganda dan membantu mereka yang ingin tinggal di daerah kolonisasi.
Selain di atas, di Bandar masih ada beberapa lahan lain seluas beberapa hektar. Sementara itu di lain tempat juga masih ada tanah yang memadai untuk memberikan pemukiman bagi sejumlah besar pemukim. Pada akhir September 1921 kampung pertama, yang disebut Purwodadi, dihuni seluruhnya oleh 117 pria, 97 wanita dan 71 anak-anak dan di kampung kedua dikeluarkan 72 buah persil, yang ditempati oleh 72 pria, 71 wanita dan 58 anak-anak. Pada tanggal 15 Nopember seluruh kampung kedua telah penuh dihuni, dan dimulai pembangunan proyek ketiga. Jumlah itu kini tumbuh akibat banyaknya aktivitas penduduk. Para anggota keluarga, saudara, teman-teman dan kenalan datang bergabung dengan kaum pemukim di sana untuk menduduki sebuah tempat di sepanjang jalan itu.
Kolonisasi perkebunan masih belum menonjol di Simalungun (1921). Meskipun di Deli dan Serdang muncul kolonisasi pekerja yang berhasil di hampir semua perkebunan, perkebunan di Simalungun masih belum menunjukkan hasilnya. Tampak bahwa di daerah ini kolonisasi di luar perkebunan mencapai hasil yang penting untuk dicatat. Dana kolonisasi yang disediakan oleh Gubernur Westenenk merupakan awal organisasi ini, yang akhirnya bisa menyelesaikan masalah kolonisasi penting di seluruh daerah Pantai Timur Sumatera. Wilayah ini juga tetap tidak bertumpu pada suatu sistem kerja yang diakui sejak dulu oleh setiap orang di bawah bayangan peraturan kuli dengan poenale sanctie. Setiap orang yang ada di sana belum memahami tindakannya, terutama dari pihak pengusaha yang lebih mengarahkan perhatiannya pada kepentingan perkebunan itu sendiri. Akhirnya penduduk mulai menyadari bahwa dengan cara ini terbuka jalan lebar bagi mereka yang akan menggarap lahan dan di luar Jawa khususnya di perkebunan, mata pencaharian tersedia bagi mereka yang ingin tinggal di daerah yang baru. Suatu gagasan baik muncul di sini bahwa organisasi Budi Utomo bersedia untuk melakukan kerjasama untuk memajukan wilayah ini.
Cara kolonisasi baru ini merupakan faktor penting dalam perkembangan Pantai Timur Sumatera sebagai daerah perkebunan besar, yang pengusahaannya tidak terbatas pada beberapa lahan, tetapi juga dalam pembentukan kampung-kampung koloni. Pada tanggal 1 September 1921 di seluruh wilayah itu dipekerjakan 136.638 pria dan 47.804 wanita sebagai tenaga kontrak di perkebunan. Kini apalah artinya beberapa ratus kuli kontrak yang lama dibandingkan dengan kebutuhan tenaga kuli kontrak yang baru. Angka-angka ini menunjukkan bahwa diperlukan dorongan kuat dan organisasi yang dikelola dengan baik, sehingga dalam segala aspeknya diharapkan agar gagasan-gagasan yang berasal dari Gubernur dapat dibantu yang menyadarkan para kuli kontrak lama tetap bersedia untuk tinggal di daerah itu. 0rang-orang itu sendiri ingin dapat menempati sebidang tanah sebagai hak milik dengan membangun rumah sesuai seleranya (meskipun terikat dengan beberapa aturan tertentu). Jika keinginan ini tidak terpenuhi, maka kerjasama penduduk yang menjamin keberhasilan kolonisasi ini tidak mungkin tercapai. Akhirnya, jika tujuan itu tercapai, kini usaha kolonisasi diarahkan pada perkebunan tanpa mengabaikan keinginan penduduk.
Kuli Kontrak
Sebagian besar penduduk pribumi terdiri atas kuli kontrak, yakni pada awal 1921 berjumlah sekitar 44.000 dari 164.000 penduduk. Pada tahun ini sebagai akibat resesi di sejumlah perkebunan, dari jumlah ini lebih dari 11.000 orang dipecat dan diambil alih oleh perkebunan tembakau atau dikirim kembali ke Jawa. Di seluruh wilayah ini 24.500 pria dan 20.337 wanita dipecat, termasuk 18.178 pria dan 2.127 wanita dikembalikan ke Jawa, sementara 4.446 kuli kontrak (kebanyakan pria) yang diambil alih oleh perkebunan tembakau. Yang lain tinggal di daerah kolonisasi atau di tempat lain di Pantai Timur Sumatera. Hanya sedikit yang tinggal sebagai pemukim di daerah itu. Di antara para kuli kontrak yang tinggal di Simalungun terdapat 12.000 orang wanita, yang hanya sedikit dari mereka yang mau menikah dengan kuli kontrak.
Di seluruh Simalungun ada 50 perkebunan. Pada mulanya orang menghadapi banyak kesulitan terutama di bidang kesehatan. Dengan maksud untuk memberikan gambaran yang benar dan jelas, disajikan penjelasan yang diberikan oleh Dr. W.J. Bais yang diterima di sini, tentang sejarah dan kondisi perawatan kesehatan pekerja. Perawatan kesehatan para kuli kontrak Simalungun tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan di tempat lain di Sumatera Timur, yang memerlukan suatu gambaran khusus. Namun, beberapa kenyataan sejarah dapat dijadikan gambaran singkat yang dimuat dalam monografi.
Kondisi kesehatan di perkebunan Simalungun pada mulanya sangat terpengaruh oleh kesalahan yang masih sering dibuat dalam pembukaan perkebunan. Masa depan yang kabur di perkebunan yang baru dibuka menjadi penyebab semua rencana penghematan yang menyangkut perawatan kesehatan. Rumah sementara, yang semakin dipenuhi dengan kedatangan para pekerja baru, tidak memadai lagi, khususnya dalam menyediakan air minum dan pembuangan kotoran, letak rumah yang tidak sesuai, kurangnya perhatian dalam bantuan kesehatan, tidak adanya rumah sakit pusat yang cocok yang dapat digunakan sebagai tempat karantina bagi para pekerja baru. Hal ini merupakan kesalahan organisasi yang sangat berat.
Sejauh menyangkut Simalungun pada saat itu masih tampak bahwa selama terjadi ledakan karet (1911-1912) impor tenaga kontrak Jawa dilakukan sangat cepat sehingga hampir tidak ada perumahan yang memadai atau dalam artian tidak ada yang kondisinya baik. Perlu diberikan perhatian kepada mereka, sementara permintaan yang tinggi akan tenaga kontrak membuat pengawasan atas para pekerja dari Jawa ini mengendor, yang mengakibatkan banyaknya tenaga yang secara fisik tidak layak untuk dipekerjakan. Tentang hal ini Kuenen mengatakan, "Persaingan yang ketat di antarpengusaha sangat mengurangi pengawasan kepada kuli kontrak. Berkali-kali tampak bahwa para pengusaha menerima tenaga kerja yang ditawarkan hanya untuk menutup target jumlah kuli kontrak, sehingga banyak orang yakin mereka akan diterima sebagai kuli kontrak. Sementara itu, kondisi menunjukkan bahwa hampir tidak ada pemeriksaan bagi mereka. Mereka sangat dibutuhkan oleeh perusahaan perkebunan. Kondisi kuli kontrak yang buruk kondisinya menyebabkan angka kematian menjadi sangat tinggi di perkebunan Pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1911 dan berikutnya: sampai sekarang (1914) banyak orang yang belum sadar akan kesalahan yang telah mereka buat. Kesalahan ini tidak terletak pada dokter yang memeriksa melainkan pada pengusaha itu sendiri yang membantu mencari tenaga (yang hampir tidak memeriksanya) tanpa menanyai para buruh kontrak, sehingga pencari tenaga itu tidak peduli akan kondisi mereka dan hanya mementingkan keuntungan yang tinggi". Angka kematian yang tinggi di antara para pekerja kontrak (jelas ditetapkan sampai 180 setiap 1000 orang di beberapa perkebunan) kemudian juga tampak pada tahun-tahun pertama di perkebunan di Simalungun; kematian ini terutama disebabkan oleh penyakit cacing dan disentri. Di beberapa tempat kematian mereka disebabkan oleh penyakit tipus dan malaria. Pada tahun 1910 dokter pertama tiba di Siantar yang tergabung dalam Ikatan Dokter Siantar. Mereka membangun sebuah rumahsakit di ibukota (rumahsakit pusat Siantar). Pada tahun 1912 perkebunan milik Perusahaan Investasi Perkebunan Karet memisahkan diri dari yayasan ini. Kemudian tiba dokter yang kedua. Beberapa tahun kemudian perusahaan ini membangun sebuah rumahsakit, yang mulai digunakan pada tahun 1915 (rumahsakit pusat Simalungun). Pada tahun 1920 sebanyak 20 ribu orang dirawat di rumah sakit Siantar, termasuk 10 ribu kuli kontrak. Di rumahsakit Siantar sejak tahun 1918 ditugaskan dua orang dokter dan sejak 1919 tiga dokter ditempatkan di sana, yang satu ditempatkan di poliklinik Dolok Merangir. Dengan perawatan kesehatan yang lebih baik dalam beberapa tahun belakangan ini, angka kematian dan penyakit menurun. Angka-angka berikut ini, yang sebagian diperoleh dari laporan Inspeksi Tenaga Kerja, memberikan contoh untuk tahun 1915 dan tahun-tahun berikutnya. Sebelum tahun 1915 daerah Siantar, di wilayah inspeksi yang berdiri sendiri, terlepas dari rumah sakit Siantar, angka kematian tidak diketahui, tetapi jelas sangat tinggi. 0rang juga berpikir bahwa daerah Siantar dalam inspeksi tenaga kerja ini tidak disatukan dengan Simalungun.
Pada tahun 1917 di wilayah inspeksi tenaga kerja ini angka kematian diketahui lebih tinggi daripada tahun 1916. Sementara, untuk perkebunan yang tergabung dalam dua rumahsakit pusat di ibukota (pada Perusahaan Investasi Perkebunan Karet dari 10,4 menjadi 8,2 per 1000 kg) jumlahnya menurun.
Tahun | Angka kematian per 1000 orang di Pantai Timur Sumatra | Bagi kuli kontrak di Simalungun (daerah inspeksi tenaga kerja) |
1915 | 11,28 (12,4) | 18,28 |
1916 | 10,18 (11,1) | 11,45 |
1917 | 11,08 (12,1) | 14,03 |
1918 | 22,3 (23,6) | 37,78 |
1919 | 19,2 | 26,49 |
Angka-angka dalam kurung dihitung oleh Dr. Vervoort dari laporan rumah sakit. Dibandingkan dengan seluruh jumlah rata-rata di Pantai Timur Sumatera, angka kematian di Simalungun sangat tinggi. Namun, orang jangan melupakan bahwa:
- Impor besar tenaga kerja yang terjadi di daerah ini sangat tidak menguntungkan kondisi kesehatannya. Dengan tidak mengenal cara hidup dan kebiasaan mereka, para pekerja baru lebih mudah terkena ancaman penyakit (infeksi air minum, makanan yang tidak memadai, dsb.). Pada tahun-tahun pertama perkebunan di Simalungun penyakit ini menyerang banyak tenaga kuli, yang kondisinya sangat tidak menguntungkan.
- Di beberapa tempat dalam waktu lama, mereka masih bekerja dengan para buruh, yang ditempatkan di tempat ini. Mereka ini kebanyakan orang Cina yang karena kondisi fisiknya, tidak lagi bisa bekerja di perkebunan tembakau. Kelompok pekerja Cina banyak yang menjadi korban dengan jumlah yang cukup banyak.
- Angka tinggi dari tahun 1918/1919 hampir sepenuhnya terkena wabah influensa dan dampak yang ditimbulkannya.
Malaria hampir selalu berjangkit di Simalungun. Meskipun pusat ibukota hampir bebas dari malaria, perkebunan di sekitarnya menunjukkan jumlah penderita malaria yang tinggi. Selama mewabah penyakit malaria padatahun 1918 di Siantar, disebutkan penyebarnya adalah nyamuk anopeles, yang berkembang biak di kubangan belukar, di tanah garapan dan got-got buntu di perkebunan karet. Di sana ditemukan sejumlah besar tempat perkembangbiakan nyamuk dan akibatnya orang yang terserang penyakit itu jumlahnya meningkat. Meskipun biasanya di tempat lain di Simalungun nyamuk lain bisa memegang peranan, tempat pembiakan di belukar khususnya perlu diberi perhatian oleh tenaga kesehatan.
Dulu penyakit tipus banyak menyebar. Sekitar tahun 1918 di berbagai perkebunan, vaksinasi umum penyakit ini diberikan, yang mengakibatkan kemerosotan tajam jumlah orang yang terserang penyakit tipus. Vaksinasi kemudian tidak diulangi. Namun jumlah kasus tipus tetap rendah pada tahun 1919-1921, yang seharusnya dianggap berasal dari perbaikan kesehatan umum.
Disentri amuba dalam beberapa tahun ini juga sangat meluas, sebagai akibat banyaknya genangan air terbuka yang berasal dari sumber air di sejumlah ngarai, yang berfungsi baik sebagai tempat pembuangan kotoran maupun untuk mengambil air minum. Kondisi kesehatan yang buruk pada saat itu membuat banyak pekerja mudah tertular penyakit. Penularan ini terjadi melalui cara ini. Berbagai perkebunan saat ini memiliki saluran air minum atau sumber air minum yang diolah dengan cara layak.
Kolera di perkebunan masih dihubungkan dengan kasus yang terjadi pada penduduk kampung, yang tidak pernah mengalami perluasan berarti. Hal ini terjadi mungkin karena dalam kasus ancaman kolera, penduduk kuli kontrak juga cepat disuntik untuk melawan penyakit ini.
Penyakit cacing pada mulanya ditemukan di perkebunan Simalungun yang berasal dari tempat tinggal kuli yang tidak sehat. Dari sini menyebar ke wilayah lain, terlebih lagi karena banyaknya penderita yang terjangkit, dirawat tanpa karantina yang memadai. ketika itu penumpasan sistimatis penyakit ini dilakukan melalui pemberantasan cacing dalam ukuran besar yang berakibat pada berkurangnya penyebaran penyakit. Namun, perjuangan keras masih harus dilakukan karena tanaman karet dan teh di yang ditanam di lahan sekitar rumah para kuli memicu timbulnya infeksi yang memudahkan bagi berjangkitnya penyakit infeksi cacing tanah. Pemberantasan penyakit ini yang dicontohkan oleh Dr. Baermann memberikan hasil baik, meskipun harus tetap diwaspadai.
Influensa di perkebunan Simalungun merupakan penyakit rumahtangga dan pada tahun 1918 menyebabkan kematian 16 orang per 1000 orang (di seluruh Pantai Timur Sumatera 8 dari setiap seribu orang). Pengaruh apa yang ada di sini yang menimbulkan penyebaran penyakit tidak bisa dikatakan dengan pasti. Ditetapkan bahwa orang Jawa pada umumnya jauh lebih menderita daripada orang Cina (di Simalungun hanya dalam jumlah kecil orang Cina yang bekerja).
Penyebaran penyakit kelamin berkaitan dengan pengaruh lokal. Kemungkinan berhubungan badan dengan lacur (merupakan saluran utama penyebarannya) bagi para wanita Jawa tergantung pada jarak dari perkebunan menuju pusat. Dinyatakan bahwa di beberapa perkebunan teh jumlah perempuan melebihi kaum pria. Perkembangan kehidupan keluarga yang sehat terhambat dengan berkembangpesatnya pelacuran.
Demikianlah dikatakan Dr. Bais. Persoalan pelacuran di Siantar sangat penting. Kondisi ini terjadi karena didatangkannya para wanita tidak menikah yang bekerja di perkebunan teh (kebanyakan di Jawa terpisah dari lingkungannya atau tempat lain karena termasuk lapisan penduduk terbawah), setelah bekerja di perkebunan, merteka mencari tambahan penghasilan lain apakah dengan melacurkan diri, atau dengan hidup sebagai gundik buruh Cina, penggergaji kayu dan sebagainya atau bekerja di rumah orang lain sejauh memungkinkan. Pada sore hari bisa dilihat mereka memasuki kompleks perkebunan, sering dibimbing oleh langganan yang akan mengeksploitasinya, apakah di hotel Jepang atau Cina yang sangat terkenal,"kedai kopi" atau menjajakan usaha keduanya di sepanjang jalan.
Jika di mana-mana pemberantasan pelacuran menemui kesulitan, di sini masalahnya lebih parah lagi sebagai akibat banyaknya wanita tidak menikah yang didatangkan dari tempat lain. Pemeriksaan terhadap para pelacur yang dilakukan oleh Dewan Kota di Pematang Siantar memberikan sarana untuk membatasi aktivitas ini. Namun, dengan pemeriksaan itu (yang juga sangat penting) ancaman sebagai pelacur tidak berkurang. Selain itu, kondisi yang dialami tenaga kontrakan tidak jauh berbeda dengan daerah perkebunan lain di Sumatra Bagian Timur. Penerbitan mengenai kontrak kerja dan persoalan perkebunan lain bisa memberikan informasi yang cukup memadai.
0rang Eropa dan Timur Asing
Menurut sensus yang diadakan pada bulan Nopember 1920 di Simalungun tinggal 816 orang Eropa, termasuk 479 di Siantar, 172 di Pane, 146 di tanah Jawa, dan 19 di daerah lain. Menurut suku dan keturunannya, kelompok penduduk ini terdiri atas:
PRIA | WANITA | |
WARGA BELANDA | 337 | 219 |
WARGA INGGRIS | 55 | 12 |
WARGA JERMAN | 64 | 15 |
WARGA JEPANG | 34 | 31 |
WARGA SWISS | 26 | 8 |
WARGA DENMARK | 7 | 2 |
WARGA AMERIKA | 4 | - |
WARGA AUSTRIA | 2 | - |
Sebagian besar orang Eropa ini hidup di perkebunan, orang Jepang sebagai pedagang kecil dan pekerja ringan. Di ibukota (Siantar) tinggal 174 orang Eropa dan 28 orang Jepang.
Jumlah orang Timur Asing mencapai 10.865 jiwa termasuk 10.122 orang Cina. Di antara yang lain hanya mencakup 20 orang Arab, sementara yang lain adalah 740 orang Keling dan Bengala. Mereka terutama tinggal di daerah perkebunan. Di ibukota terdapat 3.161 orang Cina dan orang Timur Asing lainnya. 0rang Cina dibagi dalam dua kelompok besar, yakni kelompok pedagang yang merupakan unsur dominan dalam kompleks perdagangan padat di ibukota dan di tempat lain, dan para pemilik kedai (Perdagangan, Sorbalawan, Pematang Tanah Jawa dan sekarang di pusat-pusat pemukiman lain). Kelompok lain diisi oleh para pekerja. Mereka kembali dibedakan antara tukang kayu dan kuli. Meskipun di sejumlah perkebunan beberapa kuli kontrak Cina digunakan, tetapi jumlah mereka hanya sedikit terutama di daerah perkebunan karet, teh dan serat.
0rang Keling dan Bengala juga dijumpai, tetapi jumlahnya sangat kecil. Di antara para pemilik kedai dan persewaan mobil; sebagian mereka bekerja sebagai penarik kereta, pemelihara ternak atau kuli. Tanpa kelompok penduduk yang rajin ini, pasti tidak ada pertumbuhan kesejahteraan seperti yang terjadi di Simalungun dalam 10 tahun terakhir. Memang, melalui sifat-sifat mereka keuntungan besar dari penjualan produk-produk daerah tidak mengalir kepada penduduk pribumi, tetapi kepada mereka. Di sisi lain, orang Cina menjadi penghubung yang penting dalam bidang ekonomi antara penduduk pribumi dan dunia perdagangan yang terletak di luar pandangannya. Kami melihat dalam pembicaraan tentang kebun rambung, bagaimana para produsen bekerja melalui sistim uang muka yang sangat tergantung pada para pembeli Cina. Mereka menerima produk itu sebagai pembayaran utang. Oleh karena itu, untuk memperoleh keuntungan yang tinggi ditawarkan dengan harga yang tinggi juga oleh para penjual rambung.
Hubungan serupa juga tampak dalam hubungannya dengan penjualan komoditi pasar (sayuran, ubi, telor, dsb.) seperti terdapat di mana-mana bila penduduk Cina tinggal di sekitar kompleks sawah, yang juga menjualnyaa saat terjadinya panen padi di sawah. Pada hari pasaran terlihat dari jarak jauh (biasanya satu atau tiga kilometer dari pasar), orang Cina membawa produk dengan kereta pedati pribumi dan para pengunjung pasar mengambilnya dengan harga lebih murah daripada bila sudah sampai di pasar. Yang penting uang muka diberikan terlebih dahulu kemudian diizinkan untuk memungut produk-produk ini. Jelaslah bahwa orang Cina yang memiliki uang bisa memetik keuntungan yang sangat besar.
Setelah panen hal serupa bisa diduga bila kreditur Cina mengangkut padi dengan kereta kuda (sekarang sering dengan mobil) dari sawah, yang harus disetorkan untuk membayar kembali uang muka yang dulu diberikan kepada petani. Seperti telah disebutkan sebelumnya, hubungan itu kini mengakibatkan terjadinya benturan. Pada tahun 1919 muncul perselisihan antara para petani sawah Toba dan orang Cina, sehingga tindakan tegas diperlukan untuk mencegah konflik.
Pada umumnya orang Cina merupakan kelompok yang taat di antara para penduduk. Pada mulanya para petualang dan pengadu nasib akan mencari kebun di daerah perkebunan baru; kini banyak orang Cina Hokkian yang bermukim di sana sebagai pedagang, yang merupakan bukti bahwa kelompok penduduk Cina yang lebih maju telah terbentuk. Di ibukota dari 160 pemilik kedai 100 orang adalah Hokkian, 27 orang Keh dan sisanya orang Macao termasuk 8 pengrajin emas.
Kehidupan berorganisasi di antara orang Cina berkembang sangat pesat. Suatu cabang Kongsi Dagang Medan (Siang Hwee), sebuah yayasan sekolah, kelompok belajar (Soe Po Sia), sebuah Societeit (Bon Hwa Thing) di samping usaha penginapan untuk rekan-rekannya, Christian Young Man Association (atas petunjuk yayasan sekte Metodis Amerika) dan beberapa organisasi keahlian seperti penjahit (Ik Khoen Thoan) dan para pekerja pengrajin emas (Man Wah) yang membentuk organisasi tersendiri.
0rganisasi keahlian para pengrajin emas pada tahun 1920 berusaha mengadakan pemogokan, tetapi kedua pihak berhasil mencapai kesepakatan. Pemogokan berlangsung selama 14 hari dan berakhir dengan kesepakatan yang dicapai lewat perantaraan letnan Cina di Pematang Siantar, sehingga upah pengrajin dinaikkan sebesar 30% dan selanjutnya ditentukan bahwa tidak lebih dari 10% upah akan diberikan sebagai uang muka; tanggal 1 dan 16 ditetapkan sebagai tanggal pembayaran angsuran. Dalam kondisi sakit selama satu bulan upah akan tetap dibayarkan. Jam kerja berlangsung dari pukul 7 pagi sampai 12 siang, dan pukul 2 sampai pukul 6 sore.
Sebuah bank dagang Cina yang dikelola secara primitif berusaha memenuhi kebutuhan dagang orang Cina.
Di antara penduduk kuli Cina resesi di perkebunan mendatangkan banyak penderitaan. Puluhan pekerja bebas, kebanyakan bekas kuli kontrak, dipecat dan banyak yang tidak menemukan pekerjaan, berkeliaran tanpa tujuan dan tidak jarang meninggal dalam kondisi sangat menyedihkan di parit atau jalan sempit, yang dimiliki kota kecil seperti Pematang Siantar.
Mengenai tindakan yang diambil untuk mengatasi kondisi ini, akan dibicarakan mengenai kesejahteraan sosial.
http://sibayakindoalihendra.blogspot.com/2011/10/simaloengoen-atawa-timoer-01.html J, TIDEMAN AND STAFF AT SIMALUNGUN |
Segala masukan dan koreksi sangat terbuka untuk mengedit artikel ini (open source) yang tentunya dengan data dan fakta serta sumber berita yang akurat sehingga apa yang menjadi koreksi bisa bermanfaat untuk menambah "celah-celah" yang hilang dari sejarah SIMALUNGUN pada umumnya, dan sejarah MARGA/BORU GIRSANG pada khususnya.
Terimakasih
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
0 komentar:
Posting Komentar
No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -