-DORI ALAM GIRSANG(DENPASAR)-MARTHIN GIRSANG(JAKARTA)-HANSON MUNTHE(MEDAN)-RIKO GIRSANG(JAKARTA)-BENYAMIN PARULTOP GIRSANG(NIGERIA)-SAMSON GIRSANG(BATAM)-BAGUS FEBRIANTO GIRSANG(MEDAN)-HORASTON GIRSANG(PERAWANG.RIAU)-OBET NEGO GIRSANG(YOGYAKARTA)-BOSTON GIRSANG(RIAU)-YAN FEBRIANSON GIRSANG(JAKARTA)-FRIPANSUS IPAN GIRSANG(JAKARTA)-POSMAN FIRNANDUS GIRSANG(JAKARTA)-RAJAMIN RP GIRSANG(BRASTAGI)-SEPTA GLORA GIRSANG(MEDAN)-HAMONANGAN GIRSANG(SUKABUMI)-HELZBERD JUSTIANUS HAMONANGAN GIRSANG(MAKASSAR)-HERTHA VERONIKA SINAGA(MEDAN)-SUZANNA GIRSANG(PEMATANG SIANTAR)-GIO ADAM ARTHANTA GIRSANG(MALANG)-ANTON GIRSANG(BANDUNG)-ABRI ANTO GIRSANG(LAMPUNG)-INDRA WALDIN GIRSANG(MEDAN)-ALBERTO ELPINSON GIRSANG(MEDAN)-ELJUNI EDIN GIRSANG(BIMA/NTB)-BARENOF GIRSANG(JAKARTA)-MICHAEL GIRSANG(MEDAN)-HOTBERDUANI YM GIRSANG(MALAYSIA)-NURSAIDAH NATALIN GIRSANG(MALAYSIA)-GUNTUR JULIANTO GIRSANG(SINGKAWANG)-MAYARANI GIRSANG(MEDAN)-PANGERAN CIPTA SETIA GIRSANG(SEMARANG)-ROBERT GIRSANG(BEKASI)-BOBBY ANGGA GIRSANG(MEDAN)-PAISAL GIRSANG(MEDAN)-JENNY OKTAVIANA GIRSANG(MALAYSIA)-JIMMI MOHSEN(DEPOK)-BERNAWATY GIRSANG(DAIRI)-VITA SILVANA UDUR GIRSANG(BANDUNG)-BIRMAN BAHAGIA GIRSANG(BEKASI)-VERA LISA GIRSANG(BANDAR LAMPUNG)-FEBRIYATI VERONICA GIRSANG(JAKARTA)-YAN RICKY DAMANIK(BANDAR LAMPUNG)-ROY IXEL GIRSANG(BATAM)-RAHEL DEWI YULINA GIRSANG(PALEMBANG)-SONDANG SARIAHMA GIRSANG(JAKARTA)-GUNAWANTA GIRSANG(JAKARTA)-HENDRA JANI GIRSANG(TANJUNG GADING)-HENDARTO WIJAYA GIRSANG(MEDAN)-

Kamis, 24 November 2011

J, TIDEMAN ; SIMELOENGOEN : HET LAND DER TIMOER-BATAKS (II - SEJARAH)

GIRSANG VISION : IDE ARTIKEL DAN DOKUMEN MILIK SAUDARA DORI ALAM GIRSANG. SEJARAH SEBELUM KEDATANGAN ORANG EROPA 
Tentang suatu daerah yang belum lama ini tidak dikenal dan terbebas dari pengaruh Belanda seperti telah dibicarakan, tidak banyak dilaporkan sejarahnya. Beberapa peristiwa dari beberapa dekade lalu dapat diketahui dari nota dan laporan atau penerbitan umum. Selain itu, data lainnya terbatas pada kisah-kisah lagenda yang dikenal dari dongeng yang hidup di antara penduduk termasuk sejarahnya hanya sedikit yang dapat dipertanggungjawabkan bila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi yang didasarkan pada artefak yang berkaitan dengan peristiwa itu.

Sebelum berdirinya pemerintahan di daerah ini, rasa saling bermusuhan di antara raja-raja, persaingan, persoalan wanita dan budak serta ambisi petualangan di antara kaum bangsawan, merupakan penyebab terjadinya beberapa kali perang dan perampokan yang menghambat perkembangan daerah, penduduk, serta menghambat kemajuan ekonomi. Hal ini harus diterima sebagai suatu kenyataan. Di satu pihak konflik yang terjadi di antara pemimpin dan bawahannya, khususnya dalam pembagian kekuasaan dan di pihak lain adanya perubahan kondisi politik yang menyebabkan kurang kuatnya organisasi penduduk pribumi menyebabkan terjadinya kemerosotan intern, seperti dijumpai dan dilaporkan oleh para pejabat pemerintah pertama yang mengunjungi Simalungun. Dampak selanjutnya dari keadaan itu harus kita hadapi sekarang, dalam meninjau manfaat pemerintahan dan munculnya kondisi yang menguntungkan dari segi ekonomi bagi penduduk itu sendiri.

Dari kerajaan Batak Aru, yang hidup pada abad ke-16 telah memperluas batas-batasnya sampai ke Aceh di bagian utara, Johor dan sungai Rokan di sebelah selatan, tetapi tidak ada legenda tentang hal itu muncul di Simalungun. 
KERAJAAN BATAK ARU
(Source image kerajaan batak aru: http://gintink.blogspot.com/2010/11/lokasi-kerajaan-haru.html Dua kerajaan yang kini sudah tidak ada yakni Nagur dan Batangio, di mana Nagur kini mencakup daerah Dolok Silou, Purba, Raja, dan Pane, dan Batangio mencakup daerah luas di Siantar, Tanah Jawa, dan sebagian Asahan, sangat dikenal. Kini masih ada banyak kampung yang ada di Tanah Jawa, tempat-tempat dimana dulu terbukti manusia tinggal yang pada umumnya disebut dengan nama Parik Parhutaan Batangio (tembok kampung Batangio). 

Dalam berbagai naskah yang membahas tentang sejarah daerah ini, saya tidak menemukan apapun tentang kerajaan Batangio. J.A.Kroesen dalam notanya tentang penaklukan Tanah Jawa menyebut “Tuan Batang Nior” (sebutan Raja), yang kerajaannya membentang dari utara, dari Pamatang Tanah Jawa sampai ke pantai, berlangsung sebelas keturunan. Nama ini menurut dia bisa diambil dari kata Nior (kelapa), mengingat di sana terdapat kebun kelapa luas. Kemudian, dia juga menyampaikan bahwa raja Tanah Jawa hanya digantikan oleh seorang putra dari puang (isteri raja) Batang Nior, yang menurut cerita telah memerintah selama delapan keturunan. Dengan Jerlangkataran (Jorlang Hataran), Kroesen mengatakan bahwa Batang Nior oleh penduduk disebut sebagai pilar utama Tanah Jawa. Batang Nior inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Batangio. Pengunaan kata Nior berasal dari kata pribumi ‘kelapa’ yang tampaknya perlu diragukan; tentang hal ini orang melihat lagenda tentang Batangio di Bab III. Buku Encyclopedia dalam keterangannya tentang luar Jawa; Pantai Timur Sumatera, jilid I, menyebutkan rangkuman berikut ini tentang apa yang diketahui dari sejarah lama wilayah Batak. “Di daerah sebelah selatan Deli dan Serdang, serbuan orang-orang Melayu juga melanda daerah pantainya (Padang, Bedagai, dan Batubara), tetapi di sini orang Batak lebih mampu melawan orang-orang asing. Mereka berhasil mempertahankan kebebasan di bagian selatan Simalungun. Meskipun juga di sini kembali tidak dapat dipastikan sejarah dari berbagai kisah dan lagenda keberadaan Nagur kerajaan Batak (yang masih hidup dengan nama Nagaraja atau Nagur Raja di Padang-Deli) bisa disimpulkan. Ini bukan hanya membenatang atas daerah Simalungun, tetapi juga ada sebagian besar di dataran tinggi timur. Kemudian kerajaan ini dibagi menjadi empat bagian: Silau, Panei, Siantar, dan Si Tonggang, yang meskipun merdeka tetapi saling berkaitan erat. Kekuasaan Aceh yang meningkat memaksa para raja di kerajaan ini (seperti yang terjadi di Tanah Gayo) selama jangka waktu lama mengakui kekuasaan sultan. Beberapa lembaga pemerintahan menurut sistem empat raja Aceh (yang juga diterapkan di dataran tinggi Karo oleh Aceh) masih dianggap berasal dari pengaruh ini.

Kekuasaan para raja yang semakin berkurang tidak bisa lagi mencegah kejatuhan Nagur lama; Silau dibagi menjadi Dolok dan Purba, sementara Raya tampil dengan mengorbankan Silau dan Panei. Si Tonggang tampaknya mengalami serbuan dari Jawa-Minangkabau, yang kemudian berubah namananya menjadi Tanah Jawa, dianggap berasal dari sini. Akhirnya, di daerah Hulu Asahan orang masih menemukan beberapa tanah Batak kecil yang sebagian tetap merdeka, sebagian pada pertengahan pertama abad ke-19 ditaklukkan oleh Asahan, seperti sebagian besar dari Tanah Batak di Batu Bara (Si Tonggang atau yang bernama Si Tanggang, adalah nama raja yang berhasil lari dari Siantar ke Tanah Jawa).

Yang menarik adalah bahwa empat raja (raja naoppat) di Simalungun (Silo, Panei, Siantar, dan Tanah Jawa) setidaknya sejauh diketahui tidak membentuk suatu perserikatan yang terpadu, tetapi masing-masing menerapkan kebebasannya terlepas dari kekuasaan lain di kerajaannya. Semua keterangan yang saya peroleh dalam kaitan ini di antara para kepala kampung menunjukkan bahwa keempat raja ini sebagai wakil dari Sisingamangaraja, raja pendeta terkenal dari Batak, yang berada di sana. Kini orang masih menunjuk pada bale tempat mereka menunggu Sisingamangaraja, ketika mengunjungi Simalungun dan mereka menerima perintahnya; kemudian upeti penting dibawa kepada raja ulama ini. 
SISINGAMANGARAJA
Bale ini muncul sebagai rumah tinggal dan berada di Dolok Saribu di Panei Hulu sebelah timur Dolok Simarjarunjung, terletak di sebuah kampung yang dulunya menjadi daerah netral yang tidak memiliki kepala kampung yang diangkat. Empat wakil marga yang menghuni Simalungun pada saat itu yakni empat kerajaan dari tiga marga (dua marga Purba untuk Silou dan Panei, satu dari marga Damanik untuk Siantar dan satu dari marga Sinaga untuk Tanah Jawa). Mereka memerintah dan menyelesaikan semua urusan penduduk yang terbagi menjadi empat: di Dolok Saribu ditempatkan seorang wakil raja (Tuhan Salain), yang oleh raja Jawa diangkat, walaupun bertentangan dengan keinginan raja Panei sebagai hadiah atas jasa-jasanya dalam perompakan oleh raja di wilayah ini, diakui sebagai kepala dan diletakkan di bawah Panei.

Di Bale tersebut, setiap raja ini memiliki sebagian wewenangnya, antara lain:
  1. Bale Bona (sebelah kiri kanan depan), Silo; 
  2. Bale Bona lopah (kiri depan), Tanah Jawa; 
  3. Bale Ujung (kanan belakang), Siantar; 
  4. Bale Ujung lopah (kiri belakang), Panei; 
Di sekitar Dolok Saribu orang masih menunjuk pada salah satu cabang Si Marjarunjung sebagai nama tempat (pongkalan Uruk Siantar), dimana raja Siantar selama tinggal di sana dapat mengumpulkan tuak. Ketika Sisingamangaraja datang ke wilayah ini, orang membawa upeti tertentu yang terakhir kali sebagai seperti apa yang disampaikan oleh saksi mata tiap lima penduduk memberikan seekor ayam dan satu solup. Setiap penghulu menyetorkan seekor kambing, dan satu gantang beras, sementara Tuan (raja) seekor kerbau, seekor sapi atau lainnya. Raja daerah Raya menyetorkan seekor kerbau pada raja pendeta ini.

Dari besarnya hadiah diberikan oleh raja di daerah Raya dapat disimpulkan bahwa jumlah denda atas perampokan yang dilakukan oleh Tuan Rondahaim pasti ada, kecuali penguasa raja mencoba menghadap Sisingamangaraja untuk memihak pada empat raja ini. Bagaimana uraian di atas disampaikan masih penuh dengan dugaan yang sangat umum bahwa keempat raja ini sulit memahami penaklukan Aceh bagi rakyat di kerajaannya. Dapat ditetapkan bahwa keempat raja ini diangkat semasa kekuasaan Aceh atau sebelumnya sebagai wakil Sisingamangaraja. Memang bisa diduga bahwa Sisingamangaraja menerima simbol kebesaran dari sultan Aceh, bila dihubungan dengan cap atau segelnya yang berangka tahun 1625 atau 1635. Menurut salah satu dongeng yang beredar di antara penduduk, dia menerima dari raja Putih, seorang raja mitos yang sebelumnya tinggal di Barus.

Karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa empat raja ini merupakan jajahan Aceh. Memang, sultan Aceh telah menerima raja ini sebagai raja perwakilan, ketika pada abad ke-17, dominasi Aceh tidak hanya mengangkat raja-raja pelabuhan di daerah pantai, tetapi juga menerapkan kekuasaan di pedalaman (lagenda tentang Silou). Namun, pengangkatan keempat raja saat itu masih dapat dipahami.

Prof. Mr. C. van Vollenhoven mengajukan pertanyaan apakah empat raja ini pada mulanya berasal dari Aceh, atau Aceh menjumpai empat raja di daerah sekitarnya dan menerimanya sebagai kepala perwakilan, tidak bisa dijawab. Di sana kita dapat membaca bahwa tidak diputuskan bagaimana pemilihan perwakilan ini, pilihan keempatnya muncul dari Aceh atau dari kedua pihak. Kata-kata bentuk baru di sini tidak hanya berkaitan dengan kepala perwakilan. Keempat raja itu tetap ada. Hal ini bukannya tidak mungkin. Tidak ada alasan lain yang bisa diterima adanya kenyataan bahwa di tiga keempat raja ini sejak dulu telah ada, sementara dengan Aceh tidak ada hubungan. Selain itu tidak ada kepala perwakilan Aceh. Di sisi lain harus dinyatakan bahwa juga di tanah Gayo dan Alas terdapat empat raja, sementara tidak dapat diduga bahwa, juga di sini, Sisingamangaraja memiliki perwakilan, apakah diterima kemungkinan bahwa Sisingamangaraja memang menjadi penguasa seluruh rakyat Batak dan juga Gayo, Alas dan Tanah Karo yang menjadi wilayahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin, mengingat suatu keyakinan pada figur Sisingamangaraja, seperti yang muncul pada tanah Batak yang terletak lebih ke selatan tidak disinggung di wilayah ini. Pengetahuan kita tentang figur sistem Sisingamangaraja belum memadai untuk menyimpulkan kekuasaan rohani yang dimilikinya. Penafsiran upeti teratur secara khusus yang disetorkan penduduk dalam kunjungannya ke Simalungun, sulit menjelaskan pandangan ini. Juga keputusan dalam kasus perang dan tuntutan atas para pelanggar, yang dijalankan oleh Sisingamangaraja ketika dia berada di tempat itu menunjukkan kekuasaan lain selain rohani. Istilah raja pendeta, yang ditunjukkan orang, tampaknya menjadi alasan pemilihan dan raja Dewa meskipun masih tampak kaku. Lebih disukai yang berhubungan dengan lagenda tentang asal-usul kedewaannya dan kekuatan gaib yang diceritakan dan diyakini oleh penduduk.

Selain itu masih ada juga pertanyaan yang sulit: dalam hubungan apa keempat raja dengan Sisingamangaraja di satu pihak dan sultan Aceh di pihak lain. Tentang lagenda yang menyangkut hubungan lama dan kemunculan berbagai kerajaan serta keturunannya, akan dibahas dalam nomor tiga bab ini.

SEJARAH SETELAH KEDATANGAN ORANG EROPA  
Atas pertanyaan bagaimana terjadi bahwa dua setengah abad lalu setelah kedatangan orang-orang Belanda di kepulauan ini berhasil menjadikan Pantai Timur Sumatera sebagai daerah perkebunan. Tuan W. H. Schade dalam sejarah Pantai Timur Sumatera menjawab bahwa sebabnya harus dicari pada hubungan politik yang tidak menguntungkan, yang menghambat perkembangan daerah ini. Secara sosial orang-orang Batak di pedalaman berasal dari masyarakat yang taraf hidupnya rendah, (demikian kata Schade) dan ada sedikit alasan bagi bangsa-bangsa di sekitarnya untuk bergaul dengan mereka. Kanibalisme telah mengejutkan orang asing. Hubungan dagang antara orang-orang Melayu dan Batak yang tinggal di dataran rendah dihambat oleh rasa saling curiga. Selain itu, orang Batak muncul secara berkelompok menuju pasar yang terletak di tepi sungai yang dapat dilayari. Apabila ada di antara mereka meninggalkan kelompoknya dengan tujuan untuk memperoleh kesempatan atau keuntungan yang lebih besar, dapat dikenakan hukuman dengan perbudakan. Perdagangan budak tumbuh dengan pesat. Budak kebanyakan berasal dari tawanan yang tertangkap dalam peperangan, yang oleh pemenang dijual kepada orang Melayu. Juga warga yang tidak mampu membayar hutangnya kepada raja, kehilangan ladangnya dapat dijual sebagai budak.

Sebaliknya orang-orang Melayu menyetorkan senapan dan mesiu kepada orang Batak demi kepentingan perang mereka. Tentang penyetoran budak secara besar-besaran, satuannya adalah sapi dengan 20 ekor. Budak terutama dijual kepada orang-orang Cina di Selangor, Perak dan kerajaan-kerajaan seberang lainnya. Di sana mereka dipekerjakan di tambang timah. Di Penang, seorang Arab memiliki depot budak. Pada tahun 1865 dan 1866 untuk pertama kalinya orang Eropa mengunjungi Simalungun. Pada tahun 1865 kontrolir A. C. van Den Bor melaporkan Tanah Jawa serta mengunjungi Batu Bara (L. De Scheemaker). Ketika dalam laporan perjalanannya ke Batubara terbaca bahwa tidak jarang dijumpai seorang wanita tampak sedang menghisap candu dan di Tanah Jawa para putera kepala dididik dalam menghisap candu dan berjudi, maka orang bisa membuat gambaran tentang kondisi yang dominan di wilayah Simalungun saat itu. Pada tahun berikutnya kontrolir J. A. M. van Cats Baron de Raet mengadakan perjalanan ke Silimakuta dan Purba. Di sana dia disambut baik di mana-mana. Pada tahun 1883 Dr. B. Hagen mengadakan perjalanan melalui Tanah Batak Timur. Dia harus kembali karena sikap raja yang mengancam (pada masa ini orang biasanya berbicara tentang raja karena mereka tidak mengenal status orang lain kecuali kepala perompak, yang terbukti dengan ketidakmampuannya menunjukkan tanah yang khusus menjadi wilayahnya. Dengan penaklukannya, batas-batas kerajaan telah ditetapkan, yang sejak lama sebagai negara tersendiri dipisahkan dari Silo lama).

Perjalanan pertama yang melewati Tanah Batak Deli melalui Danau Toba menuju Sibolga dilakukan pada tahun 1887 oleh J. Freiher von Brenner dan Von Mechel. Saat itu pada tahun 1889/92 perjalanan itu diikuti oleh kontrolir D. A. Kroesen dan P. A. L. E. Van Dijk. Dalam perjalanan terakhir pada tahun 1892 pada pagi hari sebelumnya tanggal 11 September pada huta Aek Buluh, oleh kelompok Tuan Raimbang, oleh Dolok Paribuan mereka diserang. Semua barang dan catatan mereka lenyap. Mereka sendiri tetap terdesak dan pergi setelah membuka jalan melalui barisan marsuse menuju Sipangan Bolon, dimana penduduk menyambut mereka dengan ramah dan memberi mereka semua yang diperlukannya.

Permusuhan lebih jauh dengan penduduk daerah ini dijumpai oleh orang-orang Belanda ketika daerah Raya saat itu rajanya Tuan Rondahaim, yang menguasai daerah di mana-mana dan melakukan perampokan di Siantar, Tanah Jawa, Dolok, dan sekitarnya, muncul di Padang dan Bedagai untuk melakukan serangan dan mengganggu rakyat di wilayah pemerintah. Suatu ekspedisi dikirim ke sana. Pada tahun 1889 Tanah Jawa diletakkan dibawah pengaruh kita. Dalam penerimaan ketundukan ini pada tanggal 20 Juli tahun itu raja Maligas oleh kaum bangsawan diakui sebagai raja Tanah Jawa. Semua kepala yang berada di Tanah Jawa mengikuti contoh raja dengan perkecualian Tuan Raimbang dari Dolok Panribuan. Dia memberi tahu orang-orang yang dikirim oleh kontrolir bahwa dia tidak mau menerima para pejabat pemerintah dan tidak mau menuduh bahwa mereka datang di huta-nya. Dia menyatakan merdeka dari Raja Maligas yang tidak mau lagi diakuinya sebagai raja Tanah Jawa, karena dia menjadi rakyat pemerintah. Begitu disampaikan bahwa Raja Maligas memahami kata Kompeni, Raimbang tidak memahami bahasa itu.

Dia berani menyerang kontrolir Kroesen dan P. A. L. E. Van Dijk dalam perjalanannya tahun 1892, seperti yang telah disebutkan di atas. Segera setelah itu, dia ditangkap dan dibuang. Saingan Tuan Maligas, Tuan Naposo, yang pengikutnya sedikit dan tidak hadir dalam upacara penyerahan Tanah Jawa, menerima keterangan itu. Segera setelah itu, dia menyerah dengan mengakui Raja Maligas sebagai majikannya yang syah. Sebagai syarat untuk penerimaan ini, ditetapkan pencegahan kanibalisme di lingkungan perdagangan budak. Setelah ketundukan Tuan Naposo pada tahun 1890 ditetapkan bahwa tokoh ini (saudara raja) sebagai orang kedua di kerajaan itu akan diakui sebagai raja muda dengan gelar Tuan Naposo. Saudara-saudara raja yang lain akan dibantu di dalam pemerintahannya; semua penghasilan kerajaan akan dibagi menjadi tiga dimana dia bertiga diserahkan kepada Raja Maligas, untuk membantu beberapa Harajaan, sementara sebagian sepertiganya lain kembali dibagi tiga. Sebagian dari ini diberikan Tuan Naposo dan sebagian kepada Tuhan Batu Urat. Sementera bagian ketiga yang terakhir kembali dibagi dua dan sebagian diberikan kepada saudara Tuan Maligas yang lain.

Pembagian penghasilan negara ini sengaja dibuat sebanyak mungkin untuk mempertahankan hasil yang telah dipungut, agar setiap orang tetap menjaga persahabatan itu (seperti yang telah ditetapkan). Kemudian, pembagian ini yang secara umum memerlukan banyak waktu untuk melaksanakannya, terutama ketika menyangkut pembagian hasil tanah dan lain-lainnya, diganti dengan gaji tetap. Sementara itu, di Tanah Jawa, masih ada seorang bangsawan yakni Tuan Marjandi Asih (oleh Kroesen disebut Tuan Marjanji di Aceh, kepala keturunan musuh Tanah Jawa) yang belum mau tunduk. Dia mengikuti Tuan Naposo dalam perampokan. Kini ia mencari bantuan dari kaum bangsawan di Toba, kemudian kembali pada Tuan Rondahaim dari Raya atau dari para Raja Pardembanan. Lihat bahwa semuanya akhirnya kembali terbukti baru dan baru tumbuh pada tahun 1890.

Kontrolir Kroesen pada tahun 1888 juga berangkat ke Siantar untuk melakukan penaklukan kerajaan itu. Raja Sang Nawaluh yang saat itu berusia 17 tahun di bawah perwalian pamannya yakni Tuhan Anggi, Raja Hitam dan Bah Bolak, salah satu bangsawan. Pada tanggal 16 September raja dan kaum bangsawan mempertegas sumpah janji setia kepada pemerintah Belanda. Segera setelah itu beberapa kerusuhan di pedalaman terjadi di Siantar, karena raja mengusir pamannya Tuan Marihat dari kediamannya di kerajaan itu. Dia menduga bahwa Tuan Marihat berkomplot dengan daerah Raya, yang menyerang tanah itu dan menyusun rencana untuk menyerbu Tanah Jawa. Terhadap ancaman itu sejak lama orang khawatir bahwa ketika kontrolir pada bulan Maret 1891 mengunjungi Tanah Jawa dan Siantar, dia menemukan semua pria memiliki senjata. Melalui perantaraannya sengketa itu dapat diselesaikan.

Satu persoalan lain, yang mengancam ketenangan Siantar adalah sengketa dengan Tanjung Kasau tentang pembayaran pancung alas, pemungutan atas produk tanaman rambung dan kebun lada di aliran tanah Bah Hapal, yang diberikan kepada Tuan Bandar, raja Siantar, Sebagai akibat keputusan residen Pantai Timur Sumatera yang harus membayar 200 $ kepada Tuan Tanjung Kasau sebagai ganti rugi. Meskipun pada mulanya diterima, kemudian berbagai keberatan muncul terhadap residen tetapi juga kepada raja Siantar dengan mendahului Tuan Bandar, yang mengakibatkan terjadi perpecahan antara keduanya. Juga dengan Dolok Merawan dan Dolok Kaheian yang saat itu adalah vazal-vazal Pane, muncul sengketa tentang berbagai masalah. Raja Siantar terbukti tidak mampu menguasai semuanya sendiri walaupun dia menjadi penguasa, dan berikut ini juga terbukti pada suatu peristiwan yang terjadi pada masa itu. Seorang tahanan yang melarikan diri dari tahanan Tengku Maharaja Muda di Padang, dijumpai di Siantar sebagai pengawal Raja. Ketika kisah penyerahannya diminta pada tahun 1902, raja menjawab bahwa dia akan mengabulkan tuntutan itu apabila orang-orang yang berada di Padang akan disetorkan kepadanya. Melalui para kontrolir yang terkait (di Padang dan Bedagai serta Batu Bara) akhirnya permasalahan itu dapat terselesaikan.

Raja Siantar, Sang Nawaluh pada tahun 1901 masuk Islam. Ia mencoba untuk mengajak orang lain di daerahnya mengikuti agama itu, sehingga muncul penolakan terhadap dia dan beberapa orang lari dari daerahnya. Dia segan menyerah karena adanya tuntutan dari kontrolir Batu Bara untuk menyelesaikan berbagai tindakan. Yang tidak bisa dilakukan adalah menangkap para warga melalui jalur anggota keluarga, dan ia tetap tidak muncul ketika dipanggil oleh kontrolir Batu Bara. Dalam penyelesaian masalah Sipolha, dia mengambil sumpah seorang pengganti yang akan meneruskan kepadanya (meskipun adat melarang). Akhirnya, masih ada keluhan lain yang muncul tentang pengambilan keputusan tentang candu yang diberikan hanya bagi dirinya oleh pemerintah. Sementara itu, dia perlu membayar sebagian dengan harga lebih murah daripada harga pasar kepada para kepalanya.

Dengan adanya tindakan ini pada tahun 1906 berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 24 April No.1, seluruh martabaatnya dihapuskan dan bersama bangsawan pertamanya Bah Bolak dia dibuang ke Bengkalis. Kesalahan yang dituduhkannya ada sepuluh masalah, yang diuraikan secara cermat. Tahanan ini oleh penguasa otonomi sekarang di Siantar, Riah Tuan Kadim, dibawa kepada Pendeta Guillaume di Purba yang berusaha membebaskan dia dari pengaruh Islam. Oleh pemerintahan di Siantar diserahkan kepada suatu komisi dimana kontrolir Simalungun dan dua bangsawan Siantar yakni: Tuan Marihat dan Tuan Sidamanik ikut duduk. Baru pada tahun 1916 Riah Tuan Kadim yang disebut Waldemar Tuan Nagahuta, diangkat menjadi penguasa otonom.

Kini kita kembali beberapa tahun dalam sejarah ini dan berbicara tentang penampilan raja ketiga yang menyerang daerah yang telah tunduk kepada kekuasaan Belanda (Padang, wilayah Deli). Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang kemungkinan penyerahan konsesi pertanian di Padang dan Bedagai, oleh dua kontrolir yang ditunjuk, diketahui bahwa sikap raja sangat bermusuhan. Oleh karena itu, komisi menyampaikan pandangannya bahwa hanya di daerah Melayu dapat dilakukan pelepasan tanah kepada orang-orang swasta karena para pengusaha mencoba, dalam kaitannya dengan orang Batak, untuk memperhatikan hal ini. Memang, Tuan Raya selama kunjungan residen ke Pagurawan pada tahun 1884, mengirim beberapa utusan yang mengarah pada hubungan yang lebih bersahabat daripada sebelumnya. Tuan Rondahaim beberapa tahun kemudian mengadakan hubungan yang sama seperti yang disebutkan terdahulu, seperti menyerang Padang ketika Tengku Muhammad Nurdin berkuasa. Karena pencopotan jabatannya itu, ia memerlukan bantuan dari pimpinan perompak. Meskipun sultan Deli ingin menyerang Raya dan suku-suku Batak lain melawan Tuan Rondahaim, atas usulnya, suatu ekspedisi dikirim kepadanya, tetapi tidak ditanggapi, karena residen saat itu mengkhawatirkan pemberontakan umum dapat terjadi di tanah Batak. Ketika Tuan Rondahaim dipanggil untuk tampil di depan pemerintah kita, dia mengirim wakilnya Tobayas (yang disebut Robias oleh Schade), yang menyebutkan bahwa orang mencegah dia dan mengancamnya. Raya sementara itu telah terbukti berkuasa, dengan rencana perangnya melawan Tanah Jawa. Untuk keperluan itu, ia harus menenangkan Padang.

Tetapi akhirnya pada tahun 1887 mereka melakukan serangan ke Padang Hulu dan mengusir orang-orang Melayu dari Bandar Bejambu. Di perkebunan tembakau dan sekitarnya aksi mereka mengakibatkan banyak kerugian. Ketika itu, 60 orang pasukan di bawah Kapten J.C.R.Schenck dikirim ke sana. Dalam pertempuran pada tanggal 9 Oktober 1887 musuh dipukul mundur. Mereka harus mundur setelah memakan 22 orang korban. Pada tanggal 12 pasukan berangkat ke kampung Sibarou dan pada tanggal 17 mereka pergi ke Dolok Sagala, dimana perjalanan mundur harus dilakukan mengingat Raya terbukti tidak lagi berani berperang. Dari Tebing Tingi Kapten Schenck pada tanggal 21 Oktober berangkat ke Dolok Merawan. Raya kembali diserang yang mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban. Kampung Dolok Kaheian direbut, setelah itu pasukan mundur ke Medan, meninggalkan wilayah pendudukan di Tebing Tinggi.

Meskipun sudah ada peristiwa ini, pada tahun 1888 Raya kembali menyerang Baja Linggei yang mnyisakan sejumlah tawanan. Ketika pada tahun itu Kepala Padang yang diturunkan pada tahun 1885 kembali diberikan jabatan di pemerintahan oleh sultan Deli, hubungan dengan Raya membaik. Hal ini terjadi ketika Tuan Rondahaim meninggal pada tahun 1891, dan Perdana Menteri saat ini Kapultakan menggantikannya sebagai raja di daerah Raya. Setelah tahun 1902, Raya dan Pane menyerah, walaupun bagian paling barat daerah Simalungun masih merdeka. Akan tetapi dua tahun kemudian Silimakuta dan Sipitukuta atas permintaan yang diajukan kepada kontrolir C. J. Westenberg yang saat itu ditempatkan di Damak Jambu, untuk memasukkan daerah mereka ke dalam wilayah Hindia Belanda.

Perjalanan Letnan Kolonel Van Daalen ke daerah Alas menjadi sebab sampingan dari berkah tak terduga yang muncul sekitar masa ini. Perjalanan di daerah selatan Aceh ini di mana-mana banyak dibicarakan di Tanah Karo. Orang Alas akan menawarkan bantuan kepada kerabatnya di Tanah Batak dan sejumlah besar jago tempur mendengar panggilan ini meskipun para kepala Karo kebanyakan netral. Pada saat koloni ini kembali, De Graaf melakukan ekspedisi melalui daerah Pakpak dan terlibat dalam perselisihan antara dua pihak di Suka Piring (Tanah Karo). Apakah ini sengaja atau tidak, di daerah ini pada arah pasukan kita, terjadi penembakan di mana kampung Suka Julu direbut oleh salah satu pihak. Para Panglima pasukan yang dibantu oleh pasukan kita dengan cara ini berhasil menang, Sibajak Pa Melgah dan Pa Palita bergabung dengan pasukan kita dan memberikan bantuan. Jadi, muncul gambaran bahwa sebagian Karo menunjukkan ketaatan dan sekelompok orang meminta bantuan pasukan kita untuk mengalahkan musuhnya. Kini beberapa Kepala di antaranya Sikiras dari Batukarang, yang paling terkenal dan paling agresif, mencoba mengadakan persekutuan untuk mencegah pengaruh perluasan kita, menolak penempatan pendeta di dataran tinggi dan memaksa semua kepala adat Karo untuk bekerjasama melaksanakan rencana ini. Oleh kelompok ini, kepada Pamelgah dan Pa Palita dikirim ultimatum mengapa membentuk ikatan tandingan. Dicapai kesepakatan antara dua belah pihak, pemerintah menjadi perantara dan sepasukan dibawah Kolonel Blackman bersama dengan Kontrolir Westenberg mengusir musuh di Lingga pada tanggal 9 September 1904 dan pada tanggal 15 merebut kampung Batu Karang dan sekitarnya. Dengan begitu persoalan telah selesai.

Kampung-kampung yang dilanda pertempuran seluruhnya dijatuhi denda sebesar $ 15.000.- yang dananya digunakan untuk membangun sebuah kantor dan tangsi keamanan di Seribudolok, dimana pada akhir tahun 1904 kontrolir Westenberg yang diangkat menjadi asisten residen akan ditempatkan. Rumahnya selesai pada akhir 1905. Di wilayah lebih ke timur perlahan-lahan (juga meskipun pemerintah pertama kali mengatakan bahwa tidak akan ada aneksasi dalam bentuk tidak langsung) pengaruh pemerintah kita semakin kuat tertanam.

Seperti kita lihat, pada tahun 1888 Tanah Jawa mulai tunduk kepada pemerintah Belanda dan setelah itu diikuti daerah lain di Simalungun. Kami tidak dapat menutup bab ini sebelum menyebutkan sebab sampingan dari pembentukan ikatan erat dengan kerajaan Simalungun. Raja-raja di sini menyampaikan keuntungan apa yang diberikan dari jasa penanaman tembakau di Deli kepada raja Melayu yang mulai menguasai tanahnya. Raja Siantar berhubungan dengan Baron von Horn, seorang Jawa kelahiran Amerika dan dalam kesepakatan rahasia dia memberikan hak monopoli untuk membuka tanah di wilayahnya. Sebaliknya Von Horn akan memberikan bantuan kepada raja untuk melawan musuhnya. Orang menulis tentang petualangan ini, menyusun rencana untuk membentuk protektorat Jerman di pedalaman di sepanjang jalan daerah Siantarnya.

Karena itu pada tahun 1885 kontrolir Batu Bara Heymans van Anrooy, diminta melakukan penelitian atas kondisi di daerah Batak yang terletak di atas Batu Bara, dengan tujuan mengetahui pedoman apa yang akan diikuti oleh pemerintah dalam hubungan lebih jauh dengan negara-negara ini. Pada saat ini “tidak adanya campur tangan” menjadi prinsip. Pada tahun 1891 pemerintah berusaha menjadikan pemerintahan daerah Pantai Timur Sumatera, sehingga mereka tidak berusaha melakukan aneksasi tetapi (apabila kondisi memaksakan perluasan pengaruh kita) pemerintah harus berpikir untuk mencari sarana langsung jika menutup pengeluaran pemerintah; tetapi penduduk dibiarkan melestarikan lembaga dan peradilan adatnya, sejauh sesuai dengan kekuasaan Belanda. Kanibalisme dan perdagangan manusia (yang saat itu masih banyak disebutkan) dilarang dan pelakunya dijatuhi hukuman. Pedoman yang dianut seluruhnya memiliki sifat oportunisme; pemerintah sebanyak mungkin bertumpu pada pandangan ini seolah-olah daerah Batak berada di daerah pemerintahan langsung tanpa memberikan penjelasan tegas.

Pelajaran penting yang diberikan bangsa Karo seperti disebutkan di atas memiliki dampak di Simalungun. Dengan ini penaklukan dapat dicegah. Semua penguasa otonom pada tahun 1907 menandatangani Plakat pendek; Panei, Raya, dan Silimakuta pada tanggal 4 September, Purba pada tanggal 5 September, Tanah Jawa dan Dolok Silou pada tanggal 10 bulan ini, sementara Siantar mengikuti pada tanggal 16 Oktober. Pada tahun-tahun pertama setelah penegakan pengaruh kekuasaan Belanda, perubahan besar terjadi dalam kondisi itu. Orang Batak berada dalam kondisi baru, yang menurut asisten residen Westenberg yang berada di Seribudolok berasal dari tindakan preventif dari sejumlah patroli dan selain itu kenyatan bahwa kita datang bukan sebagai orang asing, tetapi bermaksud baik. Namun jelas di sini bisa disebut keberhasilan Tuan Westenberg yang dalam memenuhi tugasnya juga memperhatikan rakyat di sekitarnya. Kami sepenuhnya menyetujui kata-kata penghargaan yang dicurahkan untuk mengenangnya dalam laporan Kantor Encyclopedia di Pantai Timur Sumatera.

Para kepala melihat pengaruh kita semakin meningkat, menyadari kelemahan mereka dan mulai menentang kompeni. Mereka menghadapi dilema karena tidak bisa berbuat lain. Keuntungan yang muncul dari perbudakan, perjudian dan pemerasan bagi mereka lenyap untuk selamanya. Muncul kondisi teratur. Sejumlah besar orang menghadap orang yang memerintah untuk meminta hak, suatu bukti kepercayaan yang dimiliki penduduk pada pemerintah kita. Orang menyadari bahwa kondisi buruk masa lalu harus dicegah. Bukan hanya penduduk, tetapi juga perusahaan swasta yang mendapatkan hasil melimpah di Deli mencoba mempertahankan keuntungannya dalam kondisi yang berubah. Pada tahun 1905 oleh perusahaan Deli Amsterdam percobaan dengan penanaman tembakau di daerah Raya hilir dilakukan dan perusahaan tembakau Deli-Batavialah yang membuka perkebunan di ujung barat laut Dolok Silou (Banjar Nagori).

Zending Rhein pada tahun 1904 menempatkan seorang pendeta di Saribudolok, (Tuan Guillaume yang sekarang masih bekerja di sana), sementara di Pematang Siantar seorang pendeta masih bekerja. Segera pembukaan jalan dimulai pada tahun 1905 muncul trayek sepanjang 14 km yang dibuka lewat kerja wajib antara Saribudolok dan Rematang Raya.

Para penguasa Otonom (dulu raja-raja) tidak menjadi penguasa yang bermanfaat sekaligus. Hubungan yang dibentuk dengan lingkungannya tidak bisa dipertahankan. Kini banyak peristiwa yang harus ditangani dengan tindakan tegas untuk mengatur mereka. Penguasa otonom Tanah Jawa, Tuan Jittar harus diturunkan karena dia melakukan tindakan pemerasan dan telah menyingkirkan bekas pegawai kerajaannya, melalui pembunuhan agar tidak bisa menjadi saksi dalam tuntutan yang diajukan kepadanya, karena hubungan gelap dengan isteri seorang bangsawan dari tempat lain. Selama penyelesaian masalah ini, dia meninggal dunia di Medan (1920). Segera setelah itu penguasa otonom Sangma Raja Maligas ditunjuk sebagai penggantinya.

Ketika orang berpikir bahwa sejarah daerah ini mengalami banyak perkembangan di bidang ekonomi, khususnya setelah memperoleh pengaruh peradaban melalui hubungan dengan lembaga dan pandangan Barat, mengakibatkan meningkatnya kesejahteraan, maka orag merasa (meskipun kesalahan masih dibuat) sesuatu yang indah dan maju dalam pelaksanaan tugas pemerintahan selama situasi yang kondusif dapat terjaga, akan dapat memenuhi kebutuhan daerah dan rakyat yang sebelumnya tidak pernah ada. Apa yangterjadi lebih jauh di daerah ini akan dibahas dalam bab tentang Irigasi, Pendidikan, Kesehatan, Perkebunan, Pertanian, sehingga kita bisa melihat sejarahnya.

LEGENDA DAN DONGENG TENTANG ASAL-USUL SUKU DAN KETURUNAN RAJA.
Tentang kerajaan lama Nagur sedikit orang yang mengetahuinya. Memang di daerah ini dan di sekitar perbatasan timur daerah Pane (Simalungun) kerajaan itu membentang, terbukti dari sejumlah nama kampung seperti Nagur Bayu (Bayu berarti baru) Nagur Usang (Usang berarti lama), Nagur dan Ganaraja yang sering disebutkan dalam lagenda.

Nagur atau Nagore (sekarang Pidie di Aceh) seperti yang diduga Rouffert tidak disebutkan di dalam Lagenda. Salah satu raja Nagur menjadi tokoh besar. Selama perang ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat, orang-orang memperingatkannya tetapi dia hanya memperhatikan permainan judinya. Beberapa alasan yang muncul lewat mulutnya adalah ungkapan: “Syah-Syah”. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia terbunuh apabila dia tidak menyerahkan batangan emas hasil judi kepada lawannya dan musuh saling berebut untuk mendapatkannya. Pada kejadian ini dia bisa lolos, seperti Jason yang mampu lolos dalam serbuan Argonauten, yang membunuhnya, melemparkan pasir ke matanya sehingga dia tidak lagi bisa melihat dan mengakibatkan korbannya lolos.

Kini muncul gejolak di Simalungun, khusus di daerah Raya, di mana orang memiliki hubungan erat antara penduduk Tanah Karo yang sangat menghormati permainan catur dan yang menyingkir dari Raya. Suatu kesimpulan yang agak tergesa-gesa menyatakan bahwa pada masa lalu, permainan catur di Simalungun tampaknya sudah dikenal. Orang masih menunjukkan sebuah batu pada Bah Bolak di Tanah Jawa dimana raja Batangio biasa bermain catur dengan Tuan Syahkuda Bolak. Dengan melihat peninggalannya, sisa papan catur ini masih bisa dilihat. Juga di daerah Buttu Parsaturan (percaturan) di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Pane), arus hulu dari kampung Pane, sebuah patung batu dalam sikap duduk (patung itu kini berada di Balai Pengadilan, Pematang Siantar) dan beberapa batu lain tanpa bentuk jelas, yang menjadi sisa dari permainan catur, diletakkan di tempat itu agar supaya para raja Nagur dan Batangio bisa bermain catur. Para budak yang diperlukan diberi tugas untuk memindahkan potongan-potongan buah catur itu. Patung ini adalah Tuan (raja) sementara orang bisa menunjuk batu lain yang lebih menyerupai lesung padi sebagai timpa (kastil), potongan lain disebut sitori atau ratu, gajah atau menteri, kuda atau huda, dan bidak atau pion.

Di seberang Bah Sawa menjulang gunung Datas, sekelompok bukit dengan puncak daratan atau kumpulan puncak. Saat itu seperti disampaikan orang, muncul raja Nagur. Dalam penggalian di tanah ini yang saya lakukan berdasarkan keterangan itu, ditemukan beberapa peralatan rumah tangga yang nilainya sulit ditafsirkan, tetapi dalam kasus ini menunjukkan makna yang melekat pada sebuah kampung di puncak itu. Selain banyak serpihan pot dan potongan porselin, beberapa benda logam dan potongan jam ditemukan. Kira-kira di sebelah timur tempat inilah batas antara Nagur dan Batangio.

Tentang hal ini lagenda mengatakan sebagai berikut: Tuan Batangio dan Tuan Silo Malela dari Nagur sepakat bermain catur di Buttu Parsaturan dekat Gunung Datas. Pada hari yang disepakati mereka saling bertemu, masing-masing disertai banyak anak buahnya, bertemu di tempat yang telah ditentukan. Permainan berlangsung dengan taruhan 12 budak. Hanya tiga atau empat kali permainan diadakan dan pada suatu hari hanya dua atau tiga set. Permainan berlangsung satu tahun dan Tuan Silou Malela kalah, tetapi dia tidak mau membayar taruhan, melainkan kembali ke Silou Malela, di dusun Bahal Gajah (bekas Gajah) di Siantar.

Tuan Batangio kini berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malela dan membawa mereka ke Batangio. Ini menjadi alasan bagi kedua raja itu untuk berperang. Belum ada penyelesaiannya, hanya Tuan Batangio yang memiliki bedil Pamuras (senjata api dengan Toenam, Toenam adalah sejenis bahan untuk membuat Mesiu yang ditemukan di makam kaum bangsawan untuk menunjukkan jalan bagi jiwa almarhum, karena masih berada dalam kegelapan seperti malam).

Pertarungan berlangsung selama setahun. Kedua raja Batangio terluka dalam pertarungan. Sebagai akibatnya mahluk ini lumpuh. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur (Tajur=pincang). Ketika musuh mendekati benteng raja Batangio, Huda Sitajur tidak lagi bisa berfungsi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, seorang budak yang bernama Si Jalak Letteng membawa kuda buruan “Huda Bunga-Bunga” yang membawa lari Tuan Batangio ke Siantar. Di sini ia tertangkap dan terbunuh. Warga Batangio meninggalkan semua kampung mereka termasuk Gunung Datas. Warga pindah ke Onggo Sipoldas (Pane). Tentang Huda Sitajur masih dikisahkan bahwa Si Jalak Letteng berusaha menembak musuh dengan bedil Pamurnas, meskipun dia tidak memiliki peluru atau mesiu. Tetapi dia berteriak “Dengar Kami, Kami masih memiliki sedikit mesiu dan hanya sedikit peluru. Apabila ada yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”.

Mengenai Batangio, Tuan Batangio yang saat itu juga memiliki nama Dongpati (kepala kampung Batangio di Tanah Jawa) menyampaikan sebagai berikut: “Pada masa lalu, ketika Simalungun belum dihuni manusia, di daerah Urat (Samosir) tinggal seorang raja dari marga Sinaga Bonor. Dia memiliki seorang putra dan Datu (ahli nujum) yang menjamin bahwa hari kelahirannya membawa keberuntungan, sehingga anak itu akan lebih kuat dari ayahnya dan harus berbakti kepadanya.

Di sini orang menjumpai Tea dari legenda Oeidipus lama, kisah hantu lain, dan kisah seorang Ayah yang khawatir akan kehancuran anaknya. Dia mencoba mengatasi bahaya itu dengan membunuh anak tersebut. Ketika anak Si Naga Bonor mencapai usia 13 tahun ayahnya menyuruh dia untuk dikirim ke hutan, sementara dua warga disuruh membuat batang, seperti yang digunakan untuk membaringkan jenazah, sementara sambungannya harus ditutup agar orang bisa mengatakan bahwa benda ini adalah Batang Rapotan (Batang Rapotan adalah peti kayu yang di Tanah Toba yang digunakan menyimpan aji untuk dipendam di tanah lawan, karena setelah rusaknya kayu, penyakit dan bencana akan menyebar). Anak itu dimasukkan dalam peti dan dibuang ke danau Toba. Setelah beberapa tahun berkeliling, peti itu akhirnyamencapai muara danau dan tiba di sungai Asahan (sungai Asahan merupakan muara danau Toba). Ketika orang sedang mandi di sungai ini, mereka melihat batang itu lalu mengambil benda itu dari sungai (dengan dugaan melihat kayu bakar). Di kampung, mereka membuka kayu itu tetapi ketika mengetahui bahwa di dalamnya terdapat manusia, mereka berteriak: “Batang ijo, batang ijo”. Mereka sangat heran ketika pemuda di dalam peti itu bangun dan hidup kembali.

Setelah menyampaikan apa yang terjadi padanya, orang membawanya dan memberinya tempat tinggal untuk dirawat. Ketika mencapai usia remaja, dia menikah dengan putri salah seorang warga kampung dari marga Simargolang (raja Batak pertama di lingkungan Tanjung Bale sekarang sebelum sultan Asahan. Ia disebut orang dari marga Simargolang yang berasal dari Kualu yang hidup di sana). Marga ini memberinya sebuah kampung untuk ditempati. Di sana dia mengingat kata-kata orang yang menemukannya. Dia menyebut kampung itu Batangio. Dia tinggal di sini dalam waktu lama, tetapi akhirnya pindah ke Simalungun. Di sana dia membangun sebuah tempat kokoh yakni Pematang Batangio.

Dari sini rakyatnya bertambah dan mereka memindahkan beberapa kampung ke barat sampai perbatasan kerajaan Nagur, ke utara sampai daerah Datuk Lima Puluh (Batu Bara) dan ke timur sampai kerajaan Simargolang (Asahan). Peninggalan Batangio Asahan masih tampak. Di kampung Batangio yang sekarang ada (yang terletak di timur laut Pematang Tanah Jawa) tinggal tukang cerita Dongpati.

Raja Batangio biasanya mengambil permaisurinya (puang bolon) dari Bandar. Tetapi pada hari tertentu raja Tanah Jawa Nai Tongkarang Bale (dimakamkan di Tongkarang Bale) juga pergi ke Bandar untuk mendapatkan Puang Bolon di sana. Tentang hal ini, Tuhan Batangio tidak berbicara, mengapa ia juga berangkat ke sana dan mencoba membunuh Nai Tongkarang Bale. Tetapi dia gagal, yang menyebabkan raja Batangio pergi ke Asahan dengan perasaan malu, tinggal dalam waktu lama di sana, dan akhirnya kembali ke kerajaan lama.

Akhirnya raja Batangio menawarkan perhiasannya kepada raja Tanah Jawa, yakni parpaneian atau pustaha, yang memuat sejarah kuno Batangio; gong yang disebut Simanjujur; gondang Si Porhas dan sarune Si Porhas. Sejak masa ini dia ada tidak lagi yang disebut raja, terutama menyandang gelar Tuan Batangio, yang menjadi keturunannya. Dongpati adalah keturunannya yang kini masih hidup.

Kini masalah itu masih berada di tangan perdana menteri Tanah Jawa, yang selain itu pasti memiliki pustaha Si Tanggang, yakni piso Suluhan, baju Taruhan (sisa kain berwarna), Tunggang bergagang suliki dan kulit padi, yang sama besarnya dengan buah kelapa. Tentang asal-usul penduduk dan keturunan raja daerah yang ada sekarang ada dalam lagenda yang dikisahkan yang ditulis dalam tarombo (jenis babad), yang tersimpan di rumah raja dan bangsawan. Sayang banyak tarombo yang rusak karena terbakar. Pembangunan dan bahan rumah serta jarak rumah kampung yang berdekatan sangat rawan sehingga bila kebakaran terjadi di sebuah kampung, kadang-kadang puluhan rumah berikut isinya dalam satu jam akan tersambar dilalap api.

Tarombo ditulis di kulit pohon dengan jenis tertentu melalui tinta berwarna hitam. Semuanya tampak seperti berasap, sebagai akibat dari pengaruh asap dapur di dekat rumahnya. Tarombo ditunjukkan kepada orang Eropa. Suatu jenis benda suci tampaknya melekat pada mereka. Meskipun orang-orang mengatakan kepada saya bahwa tarombo Tanah Jawa masih dimiliki oleh penguasa daerah itu sekarang dan saya berusaha keras untuk mendapatkan buku itu, namun saya tidak berhasil. Sejauh tarombo lenyap, lagenda tetap hidup dalam dongeng penduduk. Beberapa kisah ini tidak ditulis oleh pengunjung sebelumnya, melainkan dikutip dan diterbitkan dalam berbagai kisah perjalanan. Menurut saya, perlu dibuat sebuah catatan khusus.

SIANTAR
Di tempat di mana kini Pematang Siantar berada, pada masa lalu tinggal marga Lontung Sinaga dan raja Sitanggang, yang termasuk marga raja ini. Kampung tertua di daerah ini adalah Pamatang, dan selanjutnya Naga Bosi, Dolok Malela dan Silampuyang, yang pada masa ini tidak termasuk Siantar, tetapi berdiri sendiri dibawah Tuan Silampuyang. Penduduk yang menghuni daerah ini hingga kini berasal dari marga Saragih.

Pada hari yang baik muncul Partiga-tiga Sipunjung Damanik, yang berasal dari Siantar Matio di daerah Si Tanggang. Dia berada di Silampuyang dan menikahi putri Tuan di sana. Sebagai bandar besar aduan ayam, dia berjudi dengan Raja Si Tanggang. Dengan kemarahannya dia mempertaruhkan sebagian urung (daerah) Silampuyang kepada Sitanggang. Sitanggang kalah dan wajib meninggalkan daaerahnya. Oleh karenanya, dia pergi ke Tanah Jawa, sementara Partiga-tiga Sipunjung menjadi raja di daerah itu yang menyebut daerahnya dengan nama Siantar. Sejak masa ini ada kewajiban para raja Siantar untuk mengambil permaisuri dari keturunan Tuan Silampuyang (lihat tentang kewajiban para raja Simalungun pada nomer 2b Bab berikutnya).

Putra Partiga-tiga Sipunjung dan putri raja Silampuyang adalah Si Ali Urung yang menggantikan ayahnya setelah kematiannya. Tetapi dia lalu kembali ke Siantar Matio dan mendorong beberapa anggota keluarga, di antaranya cucu Bagot di Hitang, yang lebih berkuasa di Siantar Matio daripada dia (Hitang adalah nama jenis lemak tuak khusus, dengan mulut ketel pada penutupnya), untuk mengikutinya. Pemuda ini ingin mendudukkannya sebagai raja di Siantar untuk menggantikannya, sementara dia sendiri akan tinggal sebagai Bah Bolak, salah satu bangsawan tinggi di Pamatang. Mengapa dia melakukan itu, kisah ini tidak mengungkapkan. Tetapi atas alasan ini adat masih menuntut hingga kini bahwa raja Siantar Bah Bolak, tanpa peduli berapa usianya, berbicara dengan nenek. Bah Bolak sekarang adalah keturunan garis lurus dari Partiga-tiga Sipunjung.

Van Dijk memberikan kisah yang berlainan. Dia berkata bahwa serbuan pertama terjadi di bawah Babalak (tepatnya Bah Bolak), yang tidak bisa menaklukkan raja di daerah baru. Oleh karena itu, ia meminta bantuan kepada kepala Siantar Matio, yang berhasil mendepak mereka. Dia akhirnya menjadi raja di wilayah ini dan Bolak tetap menduduki posisi yang tinggi. Dari keturunan raja Siantar muncul Tuan Bandar dan Sidamanik.

Van Dijk mengisahkan – dan ini dipertegas, kemudian dilengkapi dengan beberapa keterangan yang tidak tepat pada Van Dijk – bahwa dua bersaudara dari seorang raja Siantar tetap ingin mandiri dan adiknya tetap diakui sebagai raja Siantar. 
RAJA SIANTAR & RAJA DOLOG SILOU (1930)
(Source image : http://www.simalungunonline.com) Yang satu berangkat ke Sidamanik dan yang lain lalu menuju Bandar. Tetapi ada perpecahan sebagai akibat kemalasan dan ketidakmampuan adiknya di wilayah ini. Saat itu kedua bersaudara – setelah para kepala Siantar meminta Tuan Bandar bersedia tampil sebagai raja Siantar (Siantar si di tongah; ketika para pejabat pemerintah pertama mengunjungi daerah ini seluruh Bandar dan Sidamanik telah lama menjadi bagian dari Siantar. Oleh karena itu mereka menjadi bagian tengah Siantar, yang dianggap sebagai daerah asli Siantar) yang ditolaknya – para kepala dan penduduk daerah ini memberitahu mereka bahwa mereka telah membuat kesepakatan: yang satu di Bandar, yang lain di Sidamanik. Yang termuda sebagai raja, yang pangkatnya paling tinggi tinggal di Siantar. Karenanya Tuan Bandarlah hingga kini masih menyandang gelar Tuan Siantar (tentang saling hubungan raja Siantar dan Tuan Bandar dan Sidamanik dibahas dalam Bab III).

TANAH JAWA 
Nama Tanah Jawa menimbulkan dugaan bahwa di sini pada masa lalu menjadi tempat tinggal koloni orang Jawa Hindu. Mungkin saja bahwa imigrasi Minangkabau dari tempat ini telah terjadi, pada masa dominasi Jawa atas Sumatera Selatan dan Tengah (Abad XIV dan XV). Dalam memori residen Bengkulu yang mengundurkan diri L.C.Wesenk, disampaikan, dengan angka tahun 1365: “Koloni orang Melayu Hindu dan orang Jawa minimal membentang sampai arus hilir (arah 2 kilometer di timur laut terletak patung Budha di dalam hutan seperti Avalokiteswara Roco), dan ke arus hulu sampai Pulu Punjung”.

Seperti telah kita lihat dalam lagenda Siantar, raja pertama kerajaan Partiga-tiga Sipunjung disebut demikian. Pertanyaan muncul, apakah tidak ada hubungan antara nama ini dan Pulu Punjung. Mungkin saja bahwa koloni dari warga ini berada di Tanah Jawa dan mungkin masuk lebih jauh atau pada saat yang sama (seperti di Padang Lawas) juga masih di daerah yang letaknya lebih jauh membentuk pemukiman koloni. Orang asing yang datang dari Minangkabau, yang telah membentuk kerajaan Tanah Jawa, disebut orang Jawa (Jawa atau Jau).

Lagenda berikut ini mengisahkan asal-usul keturunan raja Tanah Jawa sekarang. Seperti diketahui orang, juga Jawa dan Minangkabau, mereka disebut demikian. Di Urat (Samosir) orang mengisahkan, pada masa lalu hidup Nai Heong (Nadi Hoyong). Dia memiliki tiga putra, yang termuda si Mula Raja, berada dalam perjalanan ke Simalungun dan membuka tanah di Tanah Jawa sekarang dikampung Limbung (kini berada Dolok Paribuan). Dia tinggal di sini dan menjadi leluhur Tuan dari Dolok Panribuan. Nadi Hoyong memiliki dua anak: yang satu bernama Si Muha Raja, tetapi satunya lagi namanya tidak dikenal. Mereka pergi ke Simalungun untuk mencari adiknya. Mereka berhenti di danau Toba dan mendarat di Sipolha, kemudian mereka terus ke timur melalui darat. Mereka bertemu dengan seorang Minangkabau yang mengumpulkan getah pohon Jorlang untuk dijual. Dari sinilah muncul daerah yang disebut Jorlang Hataran. Saudara tertua tinggal di sini yang menjadi leluhur Tuan Jorlang Hataran. Oleh karena itu, keturunannya disebut sebagai marga “Nadi Hoyong Hataran”. Saudara tua ini membagi berbagai tugas kepada Si Muha Raja. Dia harus mengumpulkan rotan untuk keperluan saudara tuanya, memotong rumput untuk kudanya dan untuk aktivitas lainnya. Dia tidak memerintah di wilayah ini, karena dia memutuskan untuk meninggalkan Jorlang Hataran dan pergi bersama pengumpul rotan Minangkabau dalam perjalanan ini. Di mana-mana dia berkelana, juga ke Jawa. Dari pulau ini Sri Muha Raja membawa serta tanah dan air, dengan tujuan setelah kembali ke Sumatera dia akan mengusir adiknya dari Jorlang Hataran. Di Tanjung Bale, Sri Muha Raja meninggalkan temannya dan pergi ke barat menuju daerah ini. Di tempat dimana raja si Tanggang tinggal (sekarang Pematang Tanah Jawa) dia tetap singgah dan menyimpan lahan dan air Jawa di hutan.

Seperti kita lihat dalam lagenda tentang Siantar, raja Si Tangang dari Pematang Siantar tiba, dia telah melawan raja Partiga-tiga Sipunjung. Orang memberitahukan bahwa dia jauh melebihi orang biasa, tampak jelas dari fisiknya (seluruh tulangnya dimakamkan dekat Pamtang Tanah Jawa di hutan Parsimagodan). Pertama-tama Si Tanggang tinggal di Batangio, menikah dengan putri raja di sana dan menempati sebuah kampung, yang kemudian bernama Pamatang Tanah Jawa, di mana raja Batangio kemudian mengakuinya sebagai raja. Di Kampung ini muncul Si Muha Raha dengan tanah dan airnya dari Jawa.

Si Muha Raja dihadapkan raja Si Tanggang, yang bertanya kepadanya dari mana dia tiba. Dia menjawab bahwa dia adalah orang asing dan tersesat dalam hutan. Raja Si Tanggang saat itu mengajaknya untuk mencari bagot (tuak) di hutan.

Pada suatu hari si Muha Raja melihat tupai (buyut) yang memanjat pohon aren. Dia berhasil menangkapnya dengan menggunakan ketapel dari bambu (todik) yang dibuatnya. Ketika Si Muha Raja mendekat, hewan ini berbicara dengan suara manusia: “Tor gotok, tor gotok, ada bambu besar yang melengkung, yang ditarik ke atas dan ditekan ke bawah dan terikat”. Si Muha Raja sangat kaget mendengarnya, bahwa tupai itu bisa berbicara. Karena hewan ini meminum semua tuaknya, menjelang sore dia kembali tanpa membawa minuman kepada raja yang akan dipersembahkan kepada raja. Raja Sitanggang sangat marah dengan hal ini. Tetapi Si Muha Raja mengisahkan bahwa semua telah terjadi dan dia tidak bisa melaksanakannya. Raja Sitanggang yang menduga bahwa dia berbohong, tetap marah dan tidak mempecayai apapun darinya. Untuk membuktikannya, Si Muha Raja meminta agar dikirim kepercayaan raja menuju ke pohon dan melihat apakah semua yang diceritakannya itu benar. Saat itu Si Tanggang bersumpah bahwa apabila benar ada tupai yang berbicara, Si Muha Raja akan diangkat menjadi raja Tanah Jawa, tetapi bila dia berbohong, dia akan dibunuh.

Raja Si Tonggang kemudian mengirim seorang hulubalang kepercayaan yang menegaskan kata-kata Si Muha Raja, tetapi masih tetap belum percaya pada Si Tonggang. Setelah itu, dia mengirimkan permaisurinya (puang bolon), tetapi dengan hasil sama sampai raja Si Tanggang akhirnya pergi dan tidak lagi membantah kebenaran itu. Kini dia memikirkan suatu rencana untuk menyingkirkan si Muha Raja. Dia mengikatkan sebuah kain pada ranting, sehingga tampak seperti ular. Si Tanggang berkata bahwa apabila itu bukan ular maka Si Muha Raja akan terbunuh, tetapi apabila memang ular maka dia akan menjadi raja. Dia menyuruh menebang sebuah cabang, membuat kain itu jatuh tetapi berubah menjadi ular. Ini adalah ulok sawah, karena itu beberapa orang menduga bahwa Tanah Jawa berasal dari kata sawa dan yang pertama adalah Tanah Sawa. Karena malu Si Tanggang kembali.

Si Muha Raja mengingatkan pada janji Si Tanggang dengan berkata, “Tanah di mana saya berdiri adalah Tanah Jawa dan airnya adalah air Jawa”. Si Tanggang terlalu kuat dan dia mengajaknya berkelahi, dia terbunuh. Si Muha Raja menjadi raja daerah itu yang disebut Tanah Jawa. Orang-orang menduga bahwa Tanah Jawa ini pada mulanya sangat kecil, tetapi kini tumbuh sampai sekitar satu M3. Di Pematang Tanah Jawa masih ditunjukkan dimana tanah itu berada.

Desas desus bahwa Si Muha Raja menjadi raja Tanah Jawa beredar di Dolok Panribuan, di mana saudaranya menjadi raja di sana. Dia lalu berkata, “Kini saya di sini berkuasa sebagai raja atas kalian, bahwa kalian minta aku meminjamkan lopo (beranda depan) di rumahnya di Pematang Tanah Jawa untuk digunakan, dan di sana kalian membuat paratas (kedudukan) di mana kalian bisa tinggal bersama pengikut kalian, ketika kalian tiba di pematang Tanah Jawa”.

Tuan Dolok Paribuan menyampaikan laporan itu kepada raja Hatahunan, leluhur Tuan Girsang dan Simpangan Bolon agar mereka membawa kerbau ke Tanah Jawa untuk dipotong di sana sebagai saksi bagi raja baru. Mereka semua pergi ke Pematang Tanah Jawa. Tuan Dolok Paribuan menangkap tangan Si Muha Raja dan berteriak: “Kalian melihat Raja kita!” Tuan Jorlang Hataran mendudukkan adiknya (Si Muha Raja) di kursi dan mengangkatnya sebagai raja (kini masih ada adat di Tanah Jawa bahwa dalam pengukuhan penguasa, para kepala Girsang dan Simpangan Bolon harus membawa seekor kerbau). Tuan Dolok Paribuan harus membimbing raja menuju kursinya dan Tuan Jorlang Hataran menempatkan dia di atasnya. Adat masih menuliskan bahwa Tuan Dolok Paribuan memiliki lopo di rumah penguasa otonom dan harus ada kursi baginya. Tuan Jorlang Hataran hanya memiliki sebuah rumah yang terpisah di Pematang Tanah Jawa, seperti para kepala Girsang dan Sipangan Bolon. Lopo ini disebut lopo ujung, Rumah para kepala Girsang dan Sipangan Bolon disebut dengan Bale Siporling. Akan tetapi kini sudah tidak ada lagi.

Seluruh lagenda ini dicatat pada tarombo, yang terdiri atas beberapa lembar. Hanya raja atau atas perintahnya seorang guru yang boleh membaca tarombo ini selanjutnya, setelah meminta nasehat parpaneian (pustaha atau ahli nujum) tentang hari yang cocok untuk itu. Tetapi tentang bagian yang membicarakan tupai, guru tidak membacanya. Kroesen menyebutkan bahwa di sini tenda didirikan dan guru yang datang ke sana harus menyerahkan tarombo kepada raja, agar apabila dia menghendakinya, bisa dibaca. Kini orang bisa menulis syair. Tarombo tersimpan rapi di rumah penguasa dan dianggap sebagai pusaka.

PANE 
Keturunan raja Pane menurut dongeng dari Suha Nabolak, sebuah kampung yang didirikan oleh raja Silo, muncul di sekitar Tiga Runggu (di jalan Pematang Raya – Saribudolok yang terletak KM 180). Tuhan Suha Nabolak memiliki dua orang anak: yang sulung adalah petani, yang muda setiap pagi pergi untuk mengambil tuak dan dibawa pulang, kemudian pergi berburu. Karena biasanya dia pulang terlambat, saudaranya makan dan minum tuak itu lebih dahulu, dan hanya meninggalkan sisa baginya. Hal Ini membuat marah adiknya, yang akhirnya menyesalkan kakaknya yang menyebabkan dia akan memukulnya. Kakaknya lari meninggalkan rumah dan bersembunyi di hutan. Setelah beberapa saat dia memutuskan untuk meninggalkan Suha Nabolak selamanya. Akan tetapi karena ayahnya memiliki kitab sihir (parpaneian), dimana orang bisa mengetahui kapan saat yang benar bagi tindakan tertentu, dia pergi ke sana lebih dahulu, membawa serta buku itu dan menempuh arah ke timur sampai tiba di kampung Dusun Raja Nagur. Kampung ini sekarang terletak di sekitar Pematang Panei.

Di sini dia menikah dengan putri kepala. Karena dia berasal dari marga Purba dan dari Suha Nabolak, marga keturunannya di sebut Purba Suha Nabolak (disingkat Purba Suha, juga Purba Sidasuha). Di daerah ini orang mengenalnya setelah kematian ayah tirinya sebagai kepala. Dia mencoba memperluas wilayahnya. Dia menaklukkan dusun Sapala Toehan yang kini disebut Pamatang Pane. Karena desas desus bahwa dia memiliki kekuatan gaib parpanean dan orang menduga bahwa dia berhasil melakukan kegiatannya, kerajaannya disebut Pane dan ibukotanya Pamatang Pane. Kini penguasa Pane ketika dikukuhkan sebagai raja duduk di atas parpanean yang merupakan salah satu ornamen Pane.

Di ibukota Pane kini diangkat tiga orang bangsawan:
  1. Orang Kaya dari marga Purba Girsang, sampai sekarang masih ada dan diwakili oleh Tuan Dolok Batu Nanggar, salah seorang parbapaan yang dulu menjadi vazal Pane. 
  2. Jagoraha atau panglima pasukan, kini tidak lagi ada, tetapi jabatan ini disi oleh seorang dari marga Purba Tambun Saribu yang diwakili oleh Tuan Simarimbun, parbapaan Pane.
  3. Tuan Suhi dari marga Purba Sidadolog yang diangkat pada jabatan ini oleh Tuan Sinaman, yang juga salah seorang parbapaan Pane. 

SILSILAH

Raja pertama Pane menurunkan seorang putra yang pincang bernama Marsitajuri, "yang salah satu kakinya lebih panjang dari yang lain". Karena dia harus menaiki kuda, orang menyebutnya Parhuda Sitajur. Dia menaklukkan berbagai kampung, termasuk dusun Siantar, urung-urung Sidadolog, dan kerajaan Sapalatuhan (sekarang Pane hulu). Di sana dia membangun sejumlah kampung. Parhuda Sitajur selalu memperluas kekuasaannya dan orang takut karena "hantu Pane" yaitu roh yang jahat. Sekarang orang masih mengenal sumpah bahwa hantu ini adalah hantu yang paling jahat.

RAYA 
Raja-raja Raya berasal dari Gurgur Simanindo, sebuah kampung di Samosir. Di sini pada masa lalu hidup seorang bernama Ompu Sohajoloan marga Saragih, yang diserang oleh lawan, kemudian melarikan diri meninggalkan tempat tinggalnya bersama putranya Si Piningsori, dan putra kakaknya yang bernama Saragih Sumbayak menuju marga induknya. Seekor kerbau yang bernama Sinanggalutu dan seekor anjing bernama Si Huring Parburu mengikuti mereka.

Saragih Sumbayak memegang kuat ekor anjing Sihuring Parburu ketika merenangi danau Toba dan mendarat di Liang Deak, dekat Langgiung (Purba). Di sini dia mencoba memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu burung dan menangkap ikan. Ketika pada suatu petang Saragih Sumbayak beristirahat, Sihuring Parburu memasuki gua Liang Deak dan selalu menggonggong sampai majikannya mengetahui apa yang terjadi. Terbukti bahwa gua itu sangat besar dan dia terus berjalan sampai tidak lagi mengetahui di mana bagian depan dan belakangnya. 
Dia berjalan sepanjang malam. Pada suatu saat anjing itu mulai mengais tanah sampai akhirnya mencapai permukaan bumi dan menemukan kesempatan untuk meninggalkan gua. Dia memanjat dan muncul di daerah Raya Tongah, sebuah kampung raja dusun Nagur yang terletak di dekat Pamatang Raya sekarang. Penduduk daerah ini menduga bahwa Saragih Sumbayak bukan manusia biasa. Mereka menghormatinya sebagai raja. Namun, Saragih berkata kepada raja: "jangan berpikir bahwa aku adalah roh yang muncul dari bumi: aku hanyalah manusia miskin yang mengembara di daerah ini bersama anjingku Sihuring Parburu. Jadi apabila kalian menghormati aku terimalah aku di rumahmu karena aku sendiri tidak memiliki rumah". Raja dusun Nagur memberinya pemukiman dan menyuruhnya bekerja. Ada berkah pada karyanya dan semua yang dia lakukan berhasil, sehingga semakin lama semakin dikenal di antara penduduk setempat.

Ketika Tuan Raja Nagur sudah cukup tua dan tidak memiliki putra tetapi hanya seorang putri, dia menikahkannya dengan Saragih Sumbayak. Sertelah kematian raja, Saragih Sumbayak diangkat oleh rakyat dan dinobatkan menjadi raja. Ketika dia menjadi raja, dia menutup lobang tempat dia muncul sehingga kini tidak tampak lagi.

Ompu Sohalojaon bersama putranya Si Pinangsori dan kerbau Si Nanggalutu juga menghuni danau Toba. Keduanya duduk di punggung kerbau. Setelah turun, mereka bergerak ke Sigaringging, di utara Tanduk Banua atau Dolok Sipiso-piso di Tanah karo. Di sini mereka tinggal lama. Ketika Sipinangsori menjadi dewasa, ayahnya menyuruh dia menggembalakan kerbau. Kini setiap hari dia pergi bersama hewan itu. Dia membawa serta peniup panah untuk menangkap burung. Setelah beberapa saat, dia mendapatkan banyak burung. Ketika si Pinangsori kembali melakukan penggembalaan kerbau seperti biasanya para pemuda dengan duduk di kerbaunya, hewan ini berjalan semakin ke timur. Karena Si Pinangsori tidak bisa menghentikannya, dia tetap duduk tenang di atasnya, karena takut sesuatu terjadi terhadap kerbaunya. Akhirnya, mereka tiba di daerah Raya Tongah. Ketika tiba di sana hari sudah gelap dan Si Pinangsori tertidur di atas kerbau. Keesokan harinya kerbau itu, Si Nanggalutu, tetap berada di tempat itu dan mulai menyungkur tanah dengan tanduk dan kakinya, sampai seluruh tanah itu menjadi ladang. Si Pinangsori hidup dari daun dan ubi dan ketika dia tidur, Si Nanggalutu membangunkannya. Pada hari tertentu ketika ladang siap ditanami, Si Pinangsori melihat seekor burung (sejenis merpati) mendekati dia duduk di atas ranting. Dia membidik hewan ini dengan sumpitnya, tetapi tidak ada api untuk memasak burung itu, tetapi langit membantunya karena sebuah pohon tumbang akibat petir dan terbakar batangnya bersama rumput kering. Ladang seluruhnya bersih dan Si Pinangsori dapat memanggang burung itu untuk dimakan. Dia membedah isi perut hewan itu dan menemukan ada butiran padi dan jagung di dalamnya. Butiran itu jatuh di tanah dan tumbuh cepat menjadi padi dan jagung. Selama tahun-tahun berikutnya Si Pinangsori tetap menggarap tanah dan memanen; di pinggiran ladang, dia membuat gubuk dari batang pohon. Sebuah lobang di tanah berfungsi untuk memasak. Juga dia membuat pakaian dari kulit pohon. Dia memasak berasnya dengan sebuah potongan bambu.

Ketika kini Si Pinangsori bersama ladangnya menyimpan sejumlah besar beras, segera ada kelangkan pangan di daerah itu sebagai akibat kekeringan yang panjang. Oleh karenanya, penduduk berusaha mencari makanan, kemudian mereka tiba di ladang Si Pinangsori. Orang sangat heran melihat ladang indah di dekat Raya Tongah. Si Pinangsori kini membantu orang-orang itu dengan memberikan beras, akan tetapi meminta mereka untuk membuat sepotong pakaian, sebuah periuk dan parang. Orang dengan senang hati memenuhinya. Setelah beras yang disediakan digunakan, orang kembali meminta bantuan dan Si Pinangsori kembali membantu. Ia meminta dari mereka sebuah lesung, yang mereka kabulkan. Mereka juga membuat rumah yang lebih baik dilengkapi dengan lumbung padi untuk Si Pinangsori. Secara teratur orang datang meminta beras dan Si Pinangsori menyediakan makanan yang diperlukan. Dia tetap tinggal dan bekerja di ladang serta menikah dengan marga Damanik setelah beberapa saat, yang tinggal di Raya Tongah. Tetapi perlahan-lahan warga Raya Tongah pindah ke desa Si Pinangsori, sehingga Tuan Raya Tongah marah (seperti kita lihat Saragih Sumbayak, kemenakan Si Pinangsori), karena warganya pindah dalam jumlah besar. Dia meninggalkan daerahnya menuju ke ladang Si Pinangsori. Dia menanyakan dari mana dia datang dan mengapa dia tinggal di ladang. Si Pinangsori menjawab dengan menyampaikan kisah nasibnya sejak lari bersama Ompu Sohajoloan dari huta Gurgur Simanindo, sampai dia tiba di Raya Tongah. Kini keduanya saling mengenal. Tuan Raya Tongah membawa kembali Si Pinangsori ke ladangnya dan mengizinkan penduduk mengikutinya sebanyak mungkin. Gonrang dipukul, seekor kerbau dipotong dan orang menyerahkan dua kain kepada Si Pinangsori, ketika dia dilantik menjadi raja daerah itu, dan karena ladangnya amat luas, menjadi kampung tempatnya tinggal yang disebut Raya Simbolon (bolon adalah besar). Sekarang Tuan Raya Tongah dengan pengangkatan raja di Raya masih memotong seekor kerbau (horbo panraja), sementara dia juga harus menyerahkan dua buah kain, kain Si Junjung dan kain Ragiidup.

Karena Si Pinangsori masih belum mengenal adat Simalungun, dia selalu meminta nasehat tentang ini kepada Tuan Raya Tongah. Karenanya, sampai sekarang Tuan Raya Tongah masih disebut Raja Adat dan dia harus diberi nasehat dalam kasus adat ini. Penduduk Raya Tongah, Raya Bayu dan Raya Usang berasal dari Tuan Raya Tongah dan selain itu juga dari marga Saragih Sumbayak; keturunan dan penduduk Buluh Raya Si Pinangsori dan dari marga Saragih Garingging. Penguasa Raya sekarang, Tuan Hapoltakan membantah bahwa keturunannya berasal dari Samosir, tetapi dia berkata bahwa leluhurnya berasal dari Aji Sembah (tanah Karo) dan menjadi Raja Nisombah, raja yang disembah. Selain itu, dia membuat lagenda. Aji Sembah ini kemudian menjadi Ari Sinembah (tanah karo).

SILO 
Pada masa lalu di Tambak bawang (kini bawahan Dolok Silou) hidup Jigo, putra kepala di sana sebagai petani. Pada suatu hari dia bersama sumpitnya menangkap seekor burung (semacam merpati) tetapi tidak mati. Hewan ini juga terbang ketika dia akan mengangkapnya. Akhirnya Jigo yang mengejar burung itu tiba di Silobuttu pada malam hari, ibukota kerajaan Silo di dekat Jandi Mauli. Malam itu, Jigo tidur di hutan Silobuttu dalam gubuk milik penebang kayu. Keesokan harinya, dia duduk di depan gubuk itu dan membuat panah sumpitnya. Tiba-tiba dia mendengar suara yang berteriak: “Dokdok ma! Cabutlah akar rumput, atau padang silah, di lahan ini dan engkau akan melihat Putri Ijo”.

Setelah beberapa kali mendengar suara yang sama, Jigo mengambil tanaman rumput dari tanah itu dan dengan penuh keheranan melihat wajah putri yang cantik. Jigo bertanya dari mana ia datang dan siapa orang tuanya, yang dijawabnya, “Saya bukan manusia, jadi tidak perlu kamu minta nama orangtua saya. Panggil saja saya Putri Ijo. Katakan kepada orang lain bahwa aku adalah saudaramu, sehingga aku akan menjadikanmu raja besar di daerah ini”.

Mendadak muncul pencari rotan, warga Raja Nagur di dekat gubug itu. Kedua pemuda itu kagum akan kecantikannya dan menduga bahwa dia bukan orang melainkan dewa (debata). Dia mengisahkan ini di kampungnya dan kini banyak orang berdatangan ke hutan Silobuttu untuk melihatnya. Berita itu meluas sampai hingga mencapai Deli dan Sultan dari kerajaan ini tertarik, bahkan mengirim beberapa hulubalang ke Silobuttu untuk membuktikan hal ini. Mereka melihat Putri Ijo dan mengakui bahwa mereka sangat kagum akan kecantikannya. Menjawab pertanyaan wanita itu isteri siapa, Jigo menjawab bahwa Putri Ijo adalah saudaranya dan dia belum menikah. Saat itu utusan ini mengulanginya: “Namanya terkenal di mana-mana. Oleh karenanya, kami menyampaikan permintaan Sultan Deli untuk menjadikan Putri Ijo permaisuri”. Jigo menjawab dia merasa tidak keberatan bila mereka menyetujui. Saat itu Putri Ijo menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya, “Kami adalah orang miskin dan hidup terlantar di hutan; apakah cocok bila aku menjadi isteri Sultan? Apabila Sultan memandang layak maka aku akan menyertainya. Akan tetapi aku meminta agar Sultan menyediakan sejumlah orang untuk menemani Jigo agar dia tidak sendirian di sini; selain itu saya meminta jagung dan padi yang diperlukan Jigo agar dapat diolah dan dapat ditanam di lahannya. Juga saya meminta agar kebutuhan hidup pengawal Jigo diperhatikan, sampai mereka mendapatkan panen yang cukup untuk hidup. Dan akhirnya, saya masih meminta agar Sultan, ketika aku menjadi isterinya, akan menjawab kepada mereka yang bertanya siapa aku, bahwa aku adalah saudaranya”.

Para hulubalang kembali dengan jawaban ini ke Deli dan Sultan berjanji akan menyetujui semua ini. Sultan kembali mengutus mereka melamar Putri Ijo dan membawanya ke Deli agar menjadi permaisurinya. Jigo mendapatkan 12 pengikut dan padi serta Jagung untuk menanami tanahnya. Putri Ijo mengikuti utusan itu dan kemudian menjadi isteri Sultan Deli. Sementara itu, tanaman di ladang Jigo tumbuh sangat subur. Banyak orang dari Nagur perlahan-lahan bergabung dengannya dan akhirnya dia menikahi seorang wanita dari daerah ini.

Tetapi Putri Ijo tidak tinggal di Deli, karena pada suatu hari Sultan Aceh mengunjungi daerah ini, melihat nyonya muda yang cantik dan segera bertanya siapa dia. Sultan Deli menjawab (sesuai janjinya) bahwa dia adalah saudaranya; kemudian raja Aceh bermaksud melamarnya. Tanpa sepengetahuan Sultan Deli Putri Ijo menerimanya asalkan sultan itu mau menjadikan saudaranya menjadi raja karena, “Aku hanya minta tidak mau dinaikkan dalam status itu ; juga saudaraku harus mengikutinya”.

Ketika Sultan Aceh akan membawa Putri Ijo untuk dijadikan isterinya, Sultan Deli berusaha merintanginya. Akibatnya terjadi konflik, yang menyebabkan Sultan Deli mengalami kekalahan (Kroesen menyampaikan, “Setelah sekitar tahun 1615 atau 1620 Raja Mahkota Alam Alauddin S. Johan, Sultan Aceh, yang berkunjung tertarik pada kecantikan Putri Hijau dari Deli, Deli diserang dan direbutnya, yang menurut beberapa saksi putri tewas dalam pertempuran, akan tetapi versi lain Putri Hijau jatuh ke tangannya. Selanjutnya, dia berkata bahwa dia berlayar di sepanjang Pantai Timur Sumatera, sampai mencapai muara sungai yang lebar dan sampai Telok Pie, di samping muara dan Tanjung Balei”. Tanpa ragu-ragu bersama Putri Hijau sama seperti Putri Ijo yang diambil dari lagenda tentang kerajaan Silo). Setibanya di Aceh, Putri Ijo mendesak dipenuhinya janji menjadikan Jigo sebagai raja dan memang pasangan itu pergi ke Silobuttu untuk merayakan upacara ini.

Sangat terlambat pagi itu ketika Sultan Aceh tiba di Silobuttu, sehingga sinar matahari membutakan mata (Silo dalam bahasa Karo dan Melayu) dan karena kampung itu terletak di atas bukit, tanah ini disebut Silobuttu oleh Sultan Aceh. Kampung Silobuttu yang kini tidak lagi ada, terletak pada ketinggian 50-60 M di atas lingkungan itu. Ada jalan membentang ke timur sepanjang celah bukit sempit di mana (menurut kisah orang) dulu terdapat sebuah patung batu gajah. Patung itu (kata orang) seluruhnya dicat putih, yang dibuat orang di Bongguron (Nagori sekarang). Orang menyebut patung ini “Gajah Putih”. Semua orang melihatnya dari jauh dan menganganggap bahwa ini akan menjadi seekor gajah hidup. Dari Nagur, Toba, Cingkes (tanah Karo) dan wilayah lain mereka berduyun-duyun berangkat ke sana untuk melihat gajah.

Tukang cerita menambahkan bahwa sejak saat ini imigrasi orang Toba di satu pihak dan orang karo di pihak lain dimulai dan bahasa penduduk yang terdiri atas kedua unsur ini menjadi bahasa campuran Karo dan Toba. Penduduk kini diperintah oleh raja Silo Buttu untuk menerima dan menyambut banyak orang yang datang untuk melihat Gajah Putih dengan ramah. Hal ini dilakukan selama beberapa tahun, tetapi lama-lama perintah ini terlalu memberatkan bagi penduduk, sehingga orang mengajukan keberatan yang mengakibatkan bahwa raja menutup patung gajah Putih dengan tanah, sehingga tidak lagi tampak. Tempat itu kini masih disebut Buntu Parhapuran yang dapat diterjemahkan menjadi “bukit kapur”.

Silobuttu menjadi tempat kunjungan. Dari Pamatang Raya orang harus menempuh jalan sempit sepanjang 9 KM menuju kampung Jandi Mauli yang dibangun di Bukit. Dari tempat ini terletak Silobuttu yang terpisah hanya beberapa ratus meter. Kemudian orang menempuh jalan lewat tempat penggembalaan hijau (sompalan) dengan bambu dan tanaman lain. Segera orang menaiki bukit itu. Jalan semakin sempit dan tanjakan semakin curam. Sementara lereng bukit meskipun ditumbuhi dengan pepohonan lebat dan belukar, berdiri tegak lurus dari bawah. Ini hanya mungkin dipanjati satu persatu. Mendadak orang terbentur pada sebuah tembok karang. Ini adalah batu Parhapuran yang terletak di Butu Parhapuran yang disebutkan terdahulu. Selanjutnya, ditemukan makam raja Silo. Semuanya terletak pada pelebaran punggung bukit dan menimbulkan kesan redup dengan ditumbuhi berbagai jenis tanaman paku. Di tengahnya orang melihat sebuah monumen batu setinggi setengah meter, seorang kesatria naik kuda atau sejenis hewan lain. Ini menjadi pintu tempat penyimpanan tulang-tulang leluhur. Orang tidak merasa keberatan atas kunjungan saya ke sana (biasanya setelah berdoa dan memberikan sesaji) untuk membuka batu. Tulang-tulang putih saat itu tampak terlihat. Sebuah batu dimana tulang-tulang almarhum disimpan disebut gundaba. Rumah kecil atau bangunan kayu dan bambu disebut jerat. Dengan kata ini orang menunjukkan tempat dimana makam dapat dibuka.

Selanjutnya, orang mencapai dataran luas di atas bukit, di mana sebuah kampung besar berdiri. Di tengahnya ada rumah bolon (rumah raja); di sekitarnya ada rumah-rumah lain. Selain Buntu Parhapuran masih ada tiga jalan masuk lain yang sempit, curam dan sulit dimasuki seperti yang pertama. Di salah satu jalan ini (seperti di sisi utara) juga ditemui sebuah karang; Karang ini disebut Batu Gajah karena orang di sini menduga dapat menemukan patung gajah (seperti di Batu Parhapuran). Tempat di mana Batu Gajah berada sulit dicapai, setidaknya bagi manusia, yang merasa pusing, karena jalan kecil membentang lewat deret bukit yang curam dengan dinding tegak lurus di kedua sisinya, lebih sedikit tumbuhan daripada Buntu Parhapuran. Jalan ini mencapai tempat kampung saat itu di Buntu Panujomuran, di tempat warga kampung dulu menjemur padi di bawah sinar matahari. Pada sisi lain, istilah Buttu Pandodingan, dari ketinggian tempat orang melantunkan lagu dan kembali ke tempat lain, Buttu Partonunan merupakan tempat para gadis muda menenun kainnya untuk dipasang di tiang layar.

Tempat ini di masa lalu merupakan benteng yang hampir tidak terkalahkan. Di sini tinggal raja Silo yang daerahnya membentang di sejumlah kampung dan pemukiman, di satu sisi sampai danau Toba dan di sisi lain sampai Padang Bedagai di timur laut dan Pane di timur. Melalui penurunan, kerajaan ini akhirnya terpecah menjadi beberapa bagian (Dolok Silo, Purba dan Silimakuta), sementara raja yang berkedudukan di Silo dulunya juga merupakan saja yang kuat.

DOLOK SILO 
Di salah satu kampung yang dibangun oleh raja Silo, Silo Nabolak, Tuan (kepala) telah mengambil seorang marga Purba dari Tulang Bawang di rumahnya dan karena sifat-sifatnya yang dianggap cocok dengan “jagoan”, Silo Nabolak diangkat menjadi panglima. Kini Tuan Silo Nabolak pada saat yang sama menikah dan memiliki keturunan. Anak Jagoraha ini tumbuh semakin kuat dan pandai daripada Tuan Silo Nabolak sendiri. Karenanya, isterinya menukarkan kedua anak itu. Jagoraha menyatakan setuju tetapi isterinya menduga bahwa hanya akan menguntungkan anaknya bila dianggap sebagai putra raja dan ayahnya dalam hal ini hanya mengikutinya saja. Akan tetapi ketika putra raja asli yang muncul bagi anak Jagoraha, berusia 7 atau 8 tahun, dia terbukti memiliki sifat berkuasa. Semua anak sebayanya mengikuti perintahnya tanpa membantah. Ketika Tuan Silo Nabolak melihat bahwa putra Jagoraha (yang menjadi putranya) adalah anak pertama, kebenciannya muncul akibat keberanian yang mengakibatkan kerengganngan antara dia dan Jagoraha.

Dengan kematian Jagoraha, putranya menggantikan dia. Tokoh ini menaklukan banyak kampung kerajaan Nagur. Akhirnya, Tuan Silo Nabolak mendirikan kampung Silo Dunia, yang mengangkat Jagoraha menjadi kepala. Akan tetapi, dia lebih dihormati daripada Tuan Silo Nabolak sendiri. Jagoraha bekerjasama dengan seorang pande besi membuat sejumlah senjata, seperti: pisau, tombak dan pedang. Di antara tenaga ahli, yang mengherankan adalah besi untuk membuat senjata, semakin lama semakin besar, sehingga pande besi yang sibuk menggarapnya bermaksud menggantinya dengan yang lain. Tetapi Jagoraha pergi kepadanya dan membawanya pulang, meskipun belum selesai (pisau yang disebut Piso Niat termasuk pusaka Dolok Silo sampai sekarang).

Setelah itu Jagoraha menikah dengan putri Sibayak dari Jambur Lige (kini adalah kampung dari desa Barus Jahe) daerah Karo dan setelah kembali ke daerahnya disebut Puang Bolon (permaisuri raja). Akan tetapi isterinya merasa keberatan untuk diangkat statusnya menjadi raja karena orang tuanya bukan dari keturuan raja. Oleh karenanya, Jagoraha mengirim utusan Si Pisangbuli kepada raja Aceh (di sini yang dimaksudkan sebagai utusan ketika Deli selama dominasi Aceh atas daerah itu, karenanya kami menyebutnya Tengku) untuk meminta mereka mengangkat dia menjadi raja. Mertuanya memberinya perintah mengadakan sebuah pesta besar di rumahnya untuk menyambut Tengku. Pada perjalanannya ke sana Tengku singgah ke Barus Jahe. Sibayak daerah ini membaritahukannya mengapa dia tidak menyampaikan kedatangannya, karena dia akan menemui orang lain, seperti yang diperintahkan oleh adat. Tengku menjawab bahwa dia diminta oleh Si Pisangbuli untuk megangkat Sibayak di Jambur Lige menjadi raja. Sibayak dari Barus Jahe bertanya “Ketika adikku Sibayak dari Jambur Lige menjadi raja, di mana wilayahnya, di mana kampung dan bangsanya?”. Ketika Tengku mengetahui situasi ini dan menyatakan bahwa orang-orang akan mengangkat dia menjadi raja, yang tidak berhak, dia sangat marah dan menolak mengangkat Sibayak dari pososi orang kecil menjadi raja, dan dia langsung kembali ke rumahnya. Jagoraha dengan sia-sia menanti di Jambur Lige dan akhirnya dengan malu kembali ke kampungnya. Dia menyampaikan berbagai hal dengan tujuan menemukan alasan mengapa pengangkatan menjadi raja tidak terjadi. Peristiwa ini didengar oleh Tengku; dia memanggil Jagoraha untuk menjawab, tetapi dia menghindarkan diri dari pertanyaan ini.

Segera terjadi perang antara Tengku dan Jagoraha. Tuan Silo Nabolak, agar bisa membantu musuh besar Jagoraha, menunjukkan sebuah kampung dimana orang-orang Aceh bisa tingggal yang disebut kampung Nagori Asih (Aceh). Kampung ini kini berada di bawah Parbapaan Nagori Dolok. Jagoraha tidak berani melawan Tengku Aceh, oleh karenanya dia pindah dari Silo Dunia ke Pane. Di sana dia menunjukkan jasa-jasanya dan tampil sebagai panglima pasukan di Pane; setelah itu dia berbuat hal yang sama di Siantar dan Tanah Jawa. Kemudian ketiga kerajaan itu memihak kepadanya apabila terjadi peperangan. Raja-raja itu menawarinya sejumlah besar pasukan, tetapi dia hanya meminta seseorang yang selanjutnya diminta untuk mengikutinya. Misalnya, dari Pane muncul Partanja Batu, seorang yang bisa memecah batu dengan kekuatan sama, dengan sebuah meriam akan mampu mematahkan rantai. Dari Siantar muncul Ompu Birong, orang kebal dan dari Tanah Jawa Guru Baresa, yang sangat cakap seperti guru atau datu (nujum).

Makam tiga warga ini oleh raja Dolok Silo masih dianggap sebagai makam suci (keramat). Dengan ketiga pengikutnya, Jagoraha kini pergi menemui Sultan Deli, yang menerima keluhan mengenai apa yang terjadi padanya. Sultan memberinya emas, senjata dan mesiu agar dia bisa menghadapi musuh lamanya Tuan Silo Nabolak. Untuk emas dia tukar dengan pakaian putih, merah, hitam, dan warna lain di pasar Tiga Sibuarbuar, dekat Dolok Singgalang. Ketika kembali, untuk mempersiapkan pertempuran, dia melihat beberapa batu di aliran gunung Sahang Nabolon, yang berkilauan dan tidak mungkin digosok oleh tangan manusia. Dia mencoba mengambilnya tetapi gagal karena panas. Pada saat itu muncul seseorang dari Purba Tua (kini Dolok Silo), yang berbicara mengenai batu itu. Dia menyampaikan bahwa semua itu amat berguna bagi pemiliknya, karena kekuatan daya alaminya. Batu itu hanya bisa disimpan dalam kain putih dengan disertai minuman tertentu yang dibuat dalam mangkuk putih, terdiri atas air dan getah limau putur (sejenis jeruk). Selanjutnya Jagoraha bertanya kepadanya apa makna batu itu. Jawabnya adalah bahwa batu itu memberikan Si Malang Ate (keberanian) dan sarang timah (kekebalan terhadap senjata lawan) pada pemiliknya. Disebutkan kemudian bahwa semua itu harus disimpan dalam bambu. Jagoraha pergi untuk mencari bambu tetapi hanya menemukan satu di kursi bambu yang dirusak sehari sebelumnya oleh gajah. Kini batu itu diambil dari sungai dengan kain putih dan dimasukkan dalam bambu. Manusia dari Purba Tua itu memberikannya kepada Jagoraha, sementara mereka saling berbicara dengan penuh persahabatan (bambu dengan batu itu masih termasuk pusaka Dolok Silo dan apabila orang muncul dengan membawa batu itu, masih ada orang dari Purba Tua dengan kain putih yang menjadi perantaranya).

Dengan memiliki benda yang sangat berguna baginya ini, Jagoraha kini bersama tiga pengikutnya harus menghadang musuh. Mengingat jumlahnya masih sedikit, kal itu diterapkan. Mereka pergi ke bukit Dalan Pangelukan (jalan dengan tikungan), yang terletak dengan jarak yang sama dari Silo Nabolak. Di sini mereka berganti pakaian yang warnanya berbeda (yang dibeli di pasar Sibuar-buar) dan menjelang petang mereka bergerak di bawah umpatan dan ledakan tembakan yang muncul dengan potongan kayu di pohon, melalui tikungan jalan itu, sehingga orang bisa melihat dari Silo Nabolak. Ketika melewati tikungan mereka berganti pakaian dengan warna lain dan kembali bergerak ke arah yang sama di tempat ini. Jadi orang-orang di Silo Nabolak menduga bahwa ada banyak musuh yang sedang bergerak. Ketakutan dan kecemasan menyelimuti mereka. Mereka lari bersama Tuan Silo Nabolak dan Jagoraha dengan cara ini tanpa perlawanan atau pukulan mampu menduduki kampung Silo Nabolak. Para pelarian setelah singgah di berbagai tempat, akhirnya tiba di Mala Sori (nama Mala Sori mengandung arti kemenangan perang; Sri adalah bahasa Melayu).

Lama setelah itu raja daerah Raya dalam perjalanan perangnya menemui Jagoraha dan tiga pengawalnya, ketika mereka sedang duduk beristirahat di Saran Badimbo (tempat peristirahatan) dan bernyanyi. Warga Raya sebaliknya tidak menunjukkan luka. Namun, mereka tidak bertahan dan tetap duduk tenang, tidak memperhatikan senjata musuh. Raja daerah Raya sangat heran, kemudian menjalin persahabatan dengan Jagoraha dan mengundangnya. Kemudian orang ini menikah dengan boru (putri) Raja.

Di Raya, Jagoraha diangkat menjadi panglima tertinggi. Atas perintah raja, dia menyerang Sinaman dan Sipoldas (Pane), menaklukkan tempat-tempat ini, mereka yang merampok kerbau mengembalikanya kepada raja. Dia tidak membawa ternak ini ke Dolok Silou, tetapi menyerahkannya kepada warga Raya. Dia akan membayar $6 tiap hewan untuk perawatannya dan sepakat dengan raja bahwa ketika seseorang dari keturunannya akan menikahi putri raja, mas kawinnya akan dihitung sebanyak kelipatan dollar menurut jumlah kerbau, yang dijadikan mas kawinnya (apabila kini masih ada seseorang dari keturunan Tuhan Dolok Silo menikah dengan anak Raja dan maskawinnya adalah 15 kerbau, maka dia hanya akan membayar 15 x $6). Jagoraha kembali bersama pasangan raja nya.

Mereka melahirkan seorang putera Nai Horsik yang menggantikannya dan kemudian pindah ke Partuakan, dimana seorang putra dari Nai Horsik lahir, yang disebut Maralam. Di dekat rumahnya sebuah kampung yang terletak di bukit Sampang Buahni, yang dikenal tidak tertembuskan ketika musuh mendekat. Hanya sebuah jalan saja yang mengarah ke sana, sementara kampung yang memiliki luas sekitar 4 hektar itu dibatasi dengan karang yang tinggi. Di sana hampir setiap malam orang memukul gondrang (jenis musik yang disebut manggual), sehingga Tuan Maralam tidak bisa tidur. Karenanya dia memutuskan untuk menyerang Sampang Buahni. Dia meninggalkan rajutan rotan. Ini membantunya dalam mengatasi permasalahan tembok dusun itu. Tuan Maralam dan kelompoknya memanjat dan dengan cara ini secara cepat menakuti penduduk kampung yang diduga tidak jahat. Tuan Maralam menaklukkan kampung dan sejak saat itu disebut Tuan Bedar Maralam (bedar adalah sejenis domba). Tuan Bedar Maralam menaklukkan berbagai kampung Nagur dan menaklukkan Partibi Sibnomba, yang dipimpin oleh Si Ganjang Kateas (kaki panjang). Pisaunya (suruk sekung) direbut dalam pertarungan itu dan disimpan di antara pusaka Dolok Silo (masih ada). Demikianlah gambaran kemunculan kerajaan Dolok Silo.

P U R B A 
Raja pertama Purba berasal dari tanah Pakpak. Dia adalah seseorang dari marga Purba, yang hidup dari berburu. Dia pernah berada di daerah Sidikalang di Tuntung Batu untuk berburu dengan menggunakan sumpit untuk menembak burung, walaupun binatang itu tidak mati. Dia ingin menangkap hewan itu, tetapi juga dengan maksud agar bisa tebang kembali, jatuh kembali dan pergi dari Tuntung Batu. Pemburu mengikuti mangsanya, sampai dia tiba di Nago Raja (mungkin Nagur Raya) sebuah kampung yang pada masa lalu termasuk Nagur dan kini di bawah Raya. Di sana dia tidak lagi melihat burung. Dia memasuki kampung dengan menyebutnya Parultopultop, yakni pemburu dengan sumpit (ultop adalah sumpit; ini dibuat dari jenis bambu yang menghasilkan alat ini, buluh ultop). Tuan Nagor Raya menerimanya dengan baik dan membiarkannya berburu burung. Karena parultopultop bertindak baik, Tuan Nagor Raya secara tiba-tiba memberikan putrinya untuk dinikahi. Beberapa saat setelah perkawinan, ketika dia berburu kembali, dia mendadak melihat burung Tuntung Batu kembali sehingga dia mengikuti hewan itu. Burung itu akhirnya terbang juga. Di sebuah tempat, Pematang Purba sekarang, dia kehilangan burung sasarannya itu. Oleh Karena itu, di sini, di hutan, dia membangun rumah dan dari situ dia mencoba menemukan hewan itu meski tidak muncul lagi.

Setelah beberapa hari tinggal di sana,dia kembali ke Nagur Raya, tetapi muncul di kampung Simalobong. Di sini dia beberapa saat tinggal pada seorang petani yang menanam berbagai tanaman. Tuan Simalobong menikah dengan putri seorang harajaan dari Siantar. Pernah mertuanya datang mengunjungi Tuan Simalobong. Dia disertai dengan adiknya, yang amat cantik. Ketika pada suatu hari mereka berjalan-jalan di luar kampung dan menemui Parultopultop, yang jelas mendapat kesan mendalam; penampilannya demikian gagah dan sangat rajin. Dia juga pandai bercocok tanam. Dia bertanya buah apa yang akan dihasilkannya sehingga dia juga suka memberi sesuatu. Mereka mencoba menemuinya di ladangnya. Mereka saling belajar mengenal sampai mereka saling percaya. Segera setelah itu mereka kembali ke Siantar dan Parultopultop kembali berburu dengan sumpitnya.

Wanita muda ini tetap teringat pada Parultopultop di Siantar dan meminta ayahnya agar pergi ke Simalobong tetapi tidak bisa segera dilakukan karena takut ancaman perompak. Ketika ada beberapa wanita dari Siantar yang pergi ke Sipolha untuk membeli mangkudu, mereka juga pergi dengan harapan akan melihat Parultopultop. Dengan maksud mengunjunginya, dia diikuti beberapa warga yang jauh lebih muda, dan akhirnya menemuinya ketika mereka membawa sayur dan buah-buahan di pasar Tiga Langgiung (Purba).

Ketika mereka saling bertemu, mereka bersama pergi ke ladang Parultopultop dan menikahkannya. Semakin lama mereka tetap tinggal di ladang, semakin banyak pemukiman muncul, karena warga dari marga Purba di tanah Pakpak, dari Siboro dan lain tinggal di sana. Akhirnya, Tuan Simalobong mendengar bahwa adik mertuanya menikah dengan Parultopultop. Tentang hal ini dia sangat marah dan akan kembali. Parultopultop tidak mau datang ke sini lagi. Ini menjadi alasan Tuan Simalobong mengusirnya dari tempat tinggalnya, tetapi Parultopultop menjawab bahwa dia tidak bisa diburu-buru pergi dari sana, karena lahan ini adalah miliknya. Tuan Simalohong berkata tentang ini,”Apabila Anda berani bersumpah, saya juga mengalah dan engkau bisa tampil sebagai raja”. Parultopultop meminta waktu sebulan untuk mengambil sumpah ini pergi ke Pakpak dan mendapatkan tanah dan air. Di suatu tempat dimana Tiga Runggu (tiga atau pasar di perbatasan Raya dan Purba), masih ada dan dimana banyak orang datang bersama-sama untuk berdagang, dia bertahan selama sebulan di depan sejumlah raja. Parultopultop melakukannya setelah dia membuat bumi di bawah bulan dan air dalam labu (sejenis buah) dan setelah itu duduk, bersumpah bahwa tanah dan air tempat dia duduk menjadi miliknya. Sejak itu, tempat tinggalnya disebut Purba karena Parultopultop adalah raja marga Purba.

Setelah Parultopultop selama beberapa saat tinggal di Purba sebagai raja, dua hulubalang bergabung dengannya yakni Si Battenangnang dan Parhole Nasa Anduri dari marga Saragih Simarmata (keduanya daari Samosir) yang memintanya untuk memasukkan sejumlah kampung di sekitarnya menjadi daerahnya. Pada hari itu, ketika orang berkumpul di Tiga Langgiung untuk berdagang, orang menyerang yang melibatkan Siboro, Purba Saribu, Sipinggan, Huta Raja, Bongguron (Nagori). Jadi muncul kerajaan Purba dan Parultopultop menjadi raja Pertama.

SILIMAKUTA 
Raja di daerah ini adalah keturunan seorang pemburu yang berasal dari Tanah Pakpak yang mengejar seekor rusa (bukan burung) ke timur yang ditembaknya di Lehu (Sidikalang). Dia bernama Si Girsang. Rusa itu dikejar oleh anjingnya sampai ke Tanduk Banuwa (Sipiso-piso). 
Di sini mereka kehilangan jejak, namun Si Girsang menjumpai seekor kerbau putih (horbo jagat) sehingga dia menduga sedang berada di suatu perkampungan. Kemudian untuk bisa melihat daerah itu dan bisa menegaskan dugaan itu maka dia bersama anjingnya mendaki Tanduk Banuwa, tetapi karena sepanjang hari mereka tidak makan dan minum, mereka lapar dan haus sehingga Si Girsang duduk di bawah pohon, dan meminum beberapa tetes embun yang jatuh dari daun dan kembali bangkit. Anjing berjalan dengan lidah menjulur dan Si Girsang yang akan membantu hewan ini memetik dawan merah dan memberikan kepadanya untuk dimakan, tetapi terbukti bahwa buah itu beracun.

Setelah dia memberikan cendawan putih maka hewan itu kembali kuat seperti sebelumnya. Si Girsang mulai mengetahui bahwa cendawan merah itu mengandung racun, sementara cendawan putih bisa digunakan sebagai obat penawar. Dari puncak gunung ia melihat sebuah kampung yang luas, tempat marga Sinaga bermukim. Kampung itu disebut Naga Mariah. Dia memasuki perkampungan itu dan salah satu penduduk bersedia menampung di rumahnya.

Pada saat itu kampung Naga Mariah terancam oleh serbuan musuh, yang datang dari Siantar dan bermalam di dekat Singgalang untuk memasak dan beristirahat. Sumber air di lereng gunung Singgalang, dimana orang mengambilnya untuk meminum air, kini disebut Paya Siantar. Tuan Naga Mariah melihat musuh berada dalam kesulitan, tetapi kini Si Girsang tiba dengan usul bahwa dia akan menghancurkan semua lawan. Tuan Naga Mariah berkata, “Jika kamu berhasil, maka saya akan memberimu bou (putri) sebagai isteri”. Kemudian dia mohon untuk memberikan perintah kepada warga Naga Mariah guna mengumpulkan sebanyak mungkin duri, apakah duri bambu atau duri jeruk, rotan, pandan dan tanaman lain. Si Girsang memetik cendawan merah, merendamnya dalam air dan menaburkan duri di dalamnya. Duri beracun ditaburkannya di jalan, yang akan dilewati musuh dan air beracun dia masukkan dalam Paya Siantar. Musuh terjebak dalam duri serta meminum air, sebagai akibatnya mereka semua mati. Si Girsang pergi menemui Tuan Naga Mariah dan berkata: ”Ada seribu lawan mati, yang tergeletak di gunung itu”. Karena itu gunung ini disebut Singgalang dan tempat itu disebut Seribudolok.

Si Girsang menikah dengan seorang boru Naga Mariah melalui upacara seperti raja, maka sementara itupun dia tinggal di rumah bolon (rumah besar) di sebelah kiri rumah Tuan Naga Mariah. Si Girsang menjadi dikenal di mana-mana sebagai datu dan ahli nujum (tabib), yang memahami seni dalam mencampur racun sehingga orang menyebutnya Datu Parulas. Orang sangat takut kepadanya. Setelah wafatnya Tuan Naga Mariah, Datu Parulas menggantikannya. Beberapa saat kemudian dia membangun kampung Naga Saribu di sekitar lokasi di mana seribu lawan mati, yang menjadi ibu kota Silimakuta. Nama ini dibenarkan karena pada masa ini ada lima kampung yang termasuk wilayah Naga Mariah yakni: Rakut Bosi, Dolok Paribuan, Saribu Jandi, Mardingding dan Naga Mariah.

Dari isteri pertamanya Datu Parulas mendapat empat putra yang tidak bisa disebut sebagai putra raja, karena ayahnya belum menjadi raja. Mereka menjadi leluhur Tuan Rakut Bosi, Dolok Paribuan, Saribujandi dan Mardingding. Setelah itu dia masih mendapat dua orang putra. Yang sulung membuka kampung Jandi Malasang dan kemudian pindah ke Bage, tempat dia membangun tiga (pasar) dan bale, yang mandiri. Si Bungsu mengikuti Datu Parulas setelah kematian ayahnya. Kemudian pada saat penegakan pemerintahan Belanda, Bage berada di bawah Silimakuta. 
PARADE RAJA SIANTAR
Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de oostkust van Sumatra.
Artikel terkait (LINK : GIRSANG VISION : MENGENAL LEBIH DEKAT J, TIDEMAN - Penulis Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks ........van Sumatra http://girsangvision.blogspot.com/2011/11/girsang-vision-mengenal-lebih-dekat-j.html )

Segala masukan dan koreksi sangat terbuka untuk mengedit artikel ini (open source) yang tentunya dengan data dan fakta serta sumber berita yang akurat sehingga apa yang menjadi koreksi bisa bermanfaat untuk menambah "celah-celah" yang hilang dari sejarah SIMALUNGUN pada umumnya, dan sejarah MARGA/BORU GIRSANG pada khususnya.
Terimakasih
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA

0 komentar:

Posting Komentar

No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More