GIRSANG VISION : IDE ARTIKEL DAN DOKUMEN MILIK SAUDARA DORI ALAM GIRSANG.
STRUKTUR DAN JUMLAH PENDUDUK
Menurut sensus yang dilakukan pada akhir 1920 jumlah seluruh penduduk Simalungun pada akhir Nopember tahun ini mencapai 175.757 jiwa dengan komposisi penduduk pribumi , warga pendudk timur asing (perantau) dan orang eropa (terutama belanda).
Menurut sensus yang dilakukan pada akhir 1920 jumlah seluruh penduduk Simalungun pada akhir Nopember tahun ini mencapai 175.757 jiwa dengan komposisi penduduk pribumi , warga pendudk timur asing (perantau) dan orang eropa (terutama belanda).
Batak Timur……………69852 jiwa
Imigran Batak dari Tapanuli …………………....... 26531 jiwa
Imigran lain (kebanyakan orang Jawa)………. 23653 jiwa
Kuli Kontrak …………………………………............. 44040 jiwa
------------------------------------------------------------------------
Jumlah …………………........................................ 164076 jiwa.
Angka-angka penduduk ibukota (Pematang Siantar) adalah :
Pribumi | Eropa | Timur Asing | |||
Pria | Wanita | Pria | Wanita | Pria | Wanita |
3347 | 2749 | 110 | 93 | 2530 | 631 |
6096 | 203 | 3161 |
Sejak budaya Eropa masuk ke Simalungun, jumlah penduduk untuk tiga daerah pertama (Siantar, Tanah Jawa, dan Pane) naik tajam. Angka-angka kepadatan penduduk per km2 naik dari 13 pada tahun 1912 menjadi 48 pada tahun 1920.
Orang Eropa sebagian besar adalah orang-orang yang bekerja di perkebunan, disertai dengan anggota keluarganya; sebagian besar penduduk pribumi adalah Kuli Kontrak (44040), sementara orang Timur Asing juga bekerja di perkebunan sebagai tukang, buruh atau pekerjaan lain. Sebagai akibat dari pemukiman yang dibuka oleh perkebunan di antara penduduk pada tiga daerah tersebut, pusat pemukiman besar mulai muncul, Pematang Siantar merupakan gambaran paling baik (lihat Bab IV alinea 4).
Perkampungan pribumi yang berkembang menjadi tempat-tempat yang besar adalah: Pematang Tanah Jawa, Djorlang Hataran, dan Serbelawan. Di antara penduduk pribumi di luar daerah perkebunan terdapat sekitar 20.000 pendatang Jawa, para tenaga kontrak, yang tinggal di sebuah koloni yang dibentuk pemerintah atau di luarnya, sementara sekitar 26 ribu pendatang dari Tapanuli menghuni banyak pemukiman Toba yang berada di Simalungun dan sebagian tinggal di kampung Kristen di ibu kota (Pematang Siantar).
Sebelum industri perkebunan Eropa menjangkau daerah ini, rata-rata kepadatan penduduk Simalungun adalah 13-14 per km2, setelah itu menjadi 40. Untuk perbandingan lihat angka-angka berikut.
Rata-rata kepadatan Jawa sekitar ………………………… 300 jiwa
Luar Jawa ………………………………………………… 7-8 jiwa
Hindia Belanda …………………………………………… 27 jiwa
Kepadatan penduduk Jawa (Kedu dan Bagelen) ………. 500 jiwa
Negeri Belanda …………………………………………… 200 jiwa
Kepadatan penduduk propinsi (Belanda Selatan) ………… 545 jiwa
Kepadatan penduduk terkecil (Drente) …………………… 70 jiwa
Jumlah tenaga kontrak tumbuh dari 6916 pada tahun 1911 menjadi 44040 pada tahun 1920. Setelah terjadinya malaise di perkebunan, ketika perkebunan mulai tumbuh dengan jumlah tenaga kontrakan besar, yang sebagian besar membuat kontrak di perkebunan tembakau di daerah lain, sebagian yang jauh lebih kecil sebagai warga bebas tinggal di tanah itu dan sebagian besar lagi kembali ke Jawa, jumlah tenaga kontrak turun hingga sekitar 12 ribu orang.
Penduduk Pribumi
1.Pembagian Suku
Tidak bisa dikatakan dengan pasti siapa yang menjadi penduduk pertama Simalungun. Suatu lagenda mengenai munculnya Danau Toba menyampaikan unsur-unsur (sebelum ada orang di Sumatera) yang tinggal di pegunungan, yang dikumpulkan menjadi satu dan muncullah Danau Toba. Keturunan mereka yang cepat mengalami pertumbuhan adalah orang Loebe, yang masih hidup di Mandailing sekarang.
Penduduk pribumi Simalungun kini adalah orang Batak. Apakah mungkin suku-suku Melayu yang dulu tinggal di sini, selain suku Batak sebagai penduduk asli, juga tidak dapat ditetapkan. Mereka umumnya menelusuri asal-usulnya ke Toba (bagian lebih timur seperti Tanah Jawa dan Siantar) atau di tanah Dairi (bagian lebih ke arah barat) dan lagenda mengenai kemunculan kembali generasi raja-raja dari daerah ini semuanya sama.
Suku Batak Simalungun di antara kelompok ini termasuk suku Batak timur, yang telah dissebutkan dalam pengantar. Dalam bahasa adat dan struktur pemerintahan perbedaan terdapat antara raja-raja Timur, Raya dan daerah-daerah lain. Seperti telah diketahui, seluruh penduduk Batak dibagi menjadi sejumlah suku (marga yang berasal dari varga, bahasa Sansekerta), satuan genealogi, yang anggotanya berasal dari seorang leluhur dan merasa saling terkait, sehingga perkawinan antara anggota suku dilarang (eksogami).
Setiap suku memiliki namanya sendiri-sendiri. Manusia menetapkan kesamaan sukunya. Selain itu, setiap marga merupakan kumpulan manusia, yang dalam garis keturunan pria mengambil asal-usulnya dari leluhur ayah yang sama. Pada mulanya suku ini bersifat nomaden, perlahan-lahan mendapat daerah sebagai akibat dari pembukaan tanah, menegakkan hak atas tanah. Ketika suatu suku mendapat tempat tinggalnya, pada awalnya tinggal di sebuah desa (huta), oleh karena berbagai sebab penduduk itu menyebar untuk mendirikan pemukiman baru.
Desa-desa ini yang muncul dari desa induk (dusun), kemudian membentuk ikatan hukum dengan desa induk. Distrik merupakan nama yang kurang tepat, karena seluruhnya bukan merupakan kesatuan wilayah, tetapi hanya bertumpu pada pembagian suku (lihat 2b dari bab ini). Di Tanah Toba dan Tanah Karo ikatan hukum ini juga ada, setelah pembagian daerah, tetap merupakan satuan sendiri. Di Simalungun terbentuk kerajaan-kerajaan yang mengakui seorang raja sebagai kepala negara. Tentang hal ini bagian berikutnya dari bab ini, tidak akan dibicarakan lebih lanjut.
Pembagian genealogi (meskipun juga kini ditonjolkan) perlahan-lahan menyimpang pada suatu daerah. Perubahan pertama ke arah ini muncul dari urung, pada mulanya tidak berbeda dengan konfederasi sejumlah huta yang terikat dalam perang yang banyak terjadi. Hal Ini merupakan prinsip yang sama seperti di Padang Lawas tatkala orang membentuk federasi bila ada ancaman umum. Kemudian berbagai aturan ditetapkan di tiga (pasar). Di sini sebuah bale didirikan tempat di mana raja dan para kepala berkumpul untuk menangani masalah negara.
Lagenda Purba menunjukkan bahwa pengakuan atau pembentukan Kerajaan Purba, salah satu urung termuda yang muncul dari pemisahan Silo di Simalungun, pada Tiga Runggu terjadi melalui pengambilan sumpah. Tempat di mana tiga (pasar) ini berada, sangat mencolok, yakni pada batas antara dua daerah (urung). Jadi dulu orang juga menemukan Tiga Raja, yang terletak di perbatasan antara Pane dan Raya (sekitar 156 km di jalan Pematang Siantar – Saribudolok) dan kini masih merupakan pasar dengan nama yang sama (Tiga Raja) yang terletak batas daerah Simalungun Sipangan Bolon dan daerah Tapanuli Ajibata. Dugaan tidak menyimpang, ketika kita menduga bahwa pada pasar-pasar tersebut juga kasus-kasus mengenai hubungan antara dua urung yang saling berbatasan dibahas, dan di sini dulu dinyatakan perdamaian atau ikatan dibuat. Letak dan batas-batas urung tersebut menunjukkan kebenaran dugaan asisten residen pada direktur pemerintahan E. E. W. G. Schroder yang menghubungkan pembentukan urung-urung ini dengan kondisi geografi setempat.
Ini terbukti sangat jelas pada daerah-daerah Tanah Jawa, Siantar dan Pane yang mencakup daerah aliran sungai Bah Bolon, Bah Binonom dan Pamudian serta Bah Hapal. Urung Silo yang dulu ada, sebagian besar merupakan daerah aliran yang mengalir di pegunungan pusat Simalungun. Hanya urung Purba dan Raya sekarang seperti yang kita lihat, dulu adalah bagian dari Silo, berada di luar tetapi juga mudah dicapai dari daerah aliran.
Hubungan mudah antara bagian-bagian daerah ini karena orang tidak perlu melewati deretan gunung dengan tempat-tempat yang terletak lebih rendah, daerah aliran hilir pada sungai-sungai ini menjadi penyebab bahwa orang-orang dari huta yang sama mengelompok dalam batas geografi. Jadi, orang menemukan daerah, yang melalui berbagai faktor geografi tumbuh menjadi ikatan hukum langsung dari kelompok-kelompok suku yang saling berkaitan.
Tindakan ini bertolak dari teori Wilken bahwa tinggal bersama dari anggota suku melebur dalam pembentukan daerah dan pembagian administratif sekarang didasarkan pada pembagian suku sebelumnya. Pemerintah kita juga biasanya memperhitungkan daerah ini dalam pembagian administratif. Orang menyimpang atas dasar tertentu, sehingga muncul perpecahan antarpenduduk, seperti yang terjadi pada penetapan batas antara afdeeling Asahan dan Simalungun. Pada saat itu daerah kecil Aek Bottar dan Silo Bosar, karena letaknya di tepi sungai perbatasan sungai Silo ini, terutama termasuk Simalungun yang digabung dalam daerah Tanah Jawa. Para kepala daerah ini ingin mengikuti perintah penguasa Eropa di Pematang Siantar, tetapi raja Tanah Jawa menolak untuk mengakui dia sebagai tuannya. Baru perlahan-lahan mereka mundur, meskipun kini kekuasaan raja Tanah Jawa di daaerah ini juga sangat kecil.
Di setiap urung (sesuai uraian di atas) orang bisa menunjuk suatu marga, yang seperti aslinya, seperti yang sering dikatakan, dianggap berhak memerintah atau berkuasa. Dari marga ini raja muncul (penguasa otonom sekarang, tetapi masih disebut raja). Di tanah Toba tidak ada pemukiman yang disebut oleh Wilken, ketika di samping marga yang memerintah (namora-namora) tidak ada marga kepala (bajo-bajo) tinggal, tatkala pria dari marga pertama mengambil isteri mereka. Suatu pemisahan tidak bisa lagi ditemukan di Simalungun. Namun, beberapa kebiasaan menunjukkan bahwa sesuatu telah terjadi dahulu. Misalnya, pria masih menikahi seorang putri dari paman dari pihak ibu (boru ni tulang; nidatulang). Ketika putra menikahi seorang wanita dari marga ibunya, orang menyebut ini "angulaki boru ni tondong". Juga pengaturan ahli waris dari status raja menunjukkan keberadaan dua marga yang berhubungan lewat ikatan persaudaraan. Seorang raja harus mengambil permaisurinya (puang bolon) dari keturunan tertentu dan marga tertentu. Hanya putra “puang bolon” yang menggantikan raja.
Kini secara ringkas tentang pembagian penduduk Simalungun dalam marga: Orang mengenal empat marga utama yakni, Damanik, Sinaga, Saragih dan Purba. Satu-satunya marga Karo tinggal di Silimakuta, dan orang Batak Toba membawa marganya sendiri, yang sampai sekarang tidak tinggal di sini. Empat marga utama Batak Simalungun adalah :
- Damanik, marga utama di Siantar. Keturunan penguasa yang termasuk marga Damanik Bariba, pada mulanya berasal dari Uluan dan sejak delapan generasi tinggal di daerah ini. Selain itu dari marga ini muncul sub marga sbb: Damanik Tomok (marga dari Tuan Dolok Malela), yang berasal dari Tomok (Samosir), Damanik Malau (Melayu), Damanik Ambarita dan Damanik Gurning, semua berasal dari Samosir. Lagenda mengatakaan bahwa ketika marga ini tinggal di Siantar, daerah ini dihuni oleh marga Sinaga, yang juga terdesak ke Tanah Jawa. Penduduk Silampuyang, dulunya otonom kini bagian Siantar termasuk marga Saragih Naimunthe dan berasal dari Simbolon (Samosir).
- Sinaga, marga utama di Tanah Jawa. Menurut lagenda yang disebutkan dalam bab sebelumnya, raja Tanah Jawa berasal dari Urat (Samosir). Marga Sinaga dibagi lagi menjadi dua kelompok utama, yaitu Sinaga Simalungun dan Sinaga Toba. Sinaga Simalungun kembali dibagi menjadi Sinaga Nadi Hoyong Hataran dan Sinaga Nadi Hoyong Bodat. Penguasa daerah dan Tuan Jorlang Hataran serta Marjandi Asih termasuk dalam Nadi Hoyong Hataran. Tuan Dolok Paribuan, Hatundukan dan Batangio termasuk marga Sinaga Nadi Hoyong Bodat. Kelompok kedua, Sinaga Toba, tinggal di daerah Girsang dan Sipangan Bolon serta daerah sekitarnya. Di sini orang percaya sebagai keturunan tiga bersaudara; a) Ompu Bonar sebagai leluhur marga Sinaga Sidasuhut, Porti, Mandalahi, Sidanlogan, Simanjorang dan Simaibang (penduduk Sipangan Bolon) dan c. Ompu Ratus sebagai leluhur marga Sinaga Sidabariba (penduduk Parapat, Sibaganding dan daerah sekitarnya) dan marga Sinaga Sidagugur yang kini sudah tidak lagi ada.
- Saragih, marga utama dari Raya dan Silampuyang (Siantar). Marga ini memiliki delapan cabang yakni Saragih Garingging, termasuk penguasa Raya sekarang, Saragih Damunthe, Saragih Sitanggang, Saragih Turnip, Saragih Dajawak, Saragih Dasalak, Saragih Sumbayak, dan Saragih Simarmata. Marga ini berasal dari Tamba (Samosir) dan mencapai Raya, seperti yang telah disampaikan dalam lagenda mengenai keturunan raja Raya, lewat Garingging (tanah Karo). Ragih berati ketertiban, sehingga saragih harus diterjemahkan sebagai “suatu ketertiban”.
- Purba, marga utama Pane dan kerajaan Timur dengan perkecualian sebagian besar Silimakuta, yang dihuni oleh penduduk Batak Karo. Purba berarti timur sebagai sumber dari istilah Batak Timur (lihat pengantar laporan). Marga Purba dibagi lagi menjadi tujuh yakni Purba Dasuha yang termasuk penguasa Pane, Purba Sidadolok, Purba Girsang, Purba Tambak, Purba Bawang, Purba Dagambir dan Purba Pakpak (marga dari raja Purba).
2.Pemerintahan Tradisional
Daerah-daerah Simalungun yang diperintah oleh raja merupakan satu-satunya negara yang yang dibentuk di Tanah Batak. Dalam pengertian “negara” orang harus memperhatikan bahwa di sini tidak disinggung kesatuan terorganisir dengan pemerintahan yang menurut pengertian Barat akan memperhatikan kepentingan umum dalam kondisi kesatuan, tetapi suatu negara Batak hanya merupakan kompleks pemukiman penduduk yang mengakui raja sebagai penguasanya, di mana raja itu memerintah demi keuntungan dirinya, anggota keluarganya atau keturunannya. Hanya bidang peradilan yang dia jalankan dalam kasus adat, persoalan perkawinan, sengketa yang muncul, orang bisa menganggap sebagai ungkapan dari apa yang bisa dipahami sebagai fungsi pemerintahan dalam arti modern. Daerah tempat kekuasaannya memberinya keuntungan dalam bentuk pungutan tertentu yang ditetapkan oleh adat. Rakyat tidak hanya menyerahkan upeti tetapi juga persembahan langsung kepada raja dalam bentuk budak pada situasi dan kondisi tertentu.
Pengertian negara yang kita anggap sebagai sesuatu yang terorganisir untuk diperintah secara modern tidak begitu sesuai dengan kerajaan-kerajaan Batak dari dulu. Raja dalam berbagai aspeknya memegang kekuasaan mutlak. Biasanya orang mengakuinya sebagai satu-satunya penguasa di daerahnya. Suatu ungkapan Batak: “raja do adat, raja adalah adat”, sesuatu yang bisa disamakan dengan kata-kata Louis XIV, “L’etat c’est moi”. Akan tetapi di sini orang tidak bisa mengatakan bahwa raja berhak mengubah hukum semaunya. Adat merupakan satuan hukum yang dirangkum bersama, seperti di tempat lain oleh “seluruh masyarakat yang bersatu, dengan prinsip lain dalam pergulatan aksi dan reaksi”.
Memang tindakan despotis muncul, terutama di Raya di bawah Tuan Rondahaim yang terkenal sebagai bangsawan perampok, yang membiarkan salah seorang bawahannya (sebutkan sebuah contoh) ditenggelamkan oleh anak buahnya di sebuah kolam sungai yang dalam, sehingga orang yang malang itu mati terbentur karang tanpa proses pengadilan. Pengikutnya (terbukti dalam tekanan yang sama) juga membunuh salah satu warganya tanpa proses peradilan dengan mencambuknya dengan batang rotan antara dua cabang runcing yang saling diikatkan pada orang itu dan mendadak dilepaskan, tetapi tindakan ini hanya bisa dianggap sebagai dampak. Mereka jelas sangat bisa diterima oleh penduduk, sehingga kekuasaan raja mendekati penguasa absolut.
Namun, berbagai kondisi muncul yang menunjukkan bahwa despotisme raja-raja Batak tidak bisa dianggap sempurna. Terutama raja dibantu oleh semacam dewan kerajaan, yang wawasannya mengikat dia dalam persoalan penting (perang dan damai, peradilan dalam sengketa hukum). Juga untuk Simalungun beberapa kenyataan penting terlihat dari sejarah atas sifat lembaga yang lebih demokratis. Penetapan saling hubungan Siantar dengan bagian-bagiannya, Bandar dan Sidamanik, terjadi di pematang melalui sumpah yang diambil oleh raja dan para bangsawan. Penaklukan Tanah Jawa juga dilakukan dengan sumpah, tidak hanya oleh raja tetapi oleh dia dan semua bangsawan dalam pertemuan umum yang diadakan di Pamatang. Pelakat Pendek, yang kini menetapkan hubungan berbagai daerah dengan pemerintah Hindia Belanda, tidak hanya ditandatangani oleh raja tetapi juga olehnya dan seluruh bangsawannya.
Jadi, di sana-sini ada bantahan terhadap kekuasaan mutlak. Tetapi lebih dari itu. Kebanyakan daerah ini bukan merupakan kesatuan besar, melainkan kumpulan dari bagian-bagian yang saling terpisah sehingga perbandingan dengan sistem feodal Abad Pertengahan tidak berlaku. Suatu contoh yang baik ditunjukkan oleh daerah Siantar yang menjadi bagian dari Sidamanik, Bandar dan Sipoldas (dulu juga Silampuyang) berada di bawah sejenis vasal raja, yang hanya memiliki kewajiban adat tertentu dan harus menyediakan pasukan bila terjadi perang.
Dan bila bisa dikatakan bahwa dahulu Siantar hanya merupakan suatu daerah (yang kini masih diragukan), maka saya menunjuk Tanah Jawa bersama- sama vazalnya, yakni Dolok Paribuan dan Jorlang Hataran serta enam raja dari Girsang dan Sipangan Bolon, yang masing-masing menduduki posisi lebih otonom di daerahnya daripada sifat despotis dari raja Tanah Jawa di daerahnya. Jadi Pane merupakan vasal (Dolok Batu Nanggar adalah yang utama) dan Raya memiliki Tuan Sorba Dolok dan Tuan Jandi Mauli, keturunan terakhir dari generasi tua raja Silo, yang bisa dianggap demikian.
Akhirnya, mereka menunjuk pada kenyataan bahwa para kepala berbagai daerah dan para kepala kampung mengaku berwenang atas sebagian tanah sekarang dan hasil tanahnya, yang setelah penegakan kekuasaan pemerintah harus dibayar: yang pertama berupa penyerahan sesuatu; dan yang kedua sebagai cukai tahunan dari konsesi pertanian sehingga pada mulanya (seperti yang telah dikatakan) berbagai negara bagian dibentuk untuk menegakkan hukum. Tetapi hak itu juga diakui oleh para despot. Penyewaan tanah di Bandar boleh dilakukan bila diketahui oleh raja Siantar, tetapi Tuan Bandar mendapat andil abadi dari hasilnya. Dia dahulu hanya memungut cukai ekspor dan pungutan atas hasil hutan (suke).
Kini sedikit ulasan tentang pembagian pemerintahan pribumi. Seperti terbukti dalam keterangan tentang pembagian suku, pembagian pemerintahan bertumpu pada keturunan raja. Hal ini sangat mencolok sehingga daerah “perbapaan” sekarang, suatu sebuatan yang pertama kali diberikan lewat pengaruh Belanda kepada “pertuanan” (cara menulis yang benar adalah parbapaan dan partuanan, tetapi yang dengan e kini hampir mendapat pengesahan dan dimuat dalam berkas-berkas resmi) atau keturunan raja, yang menguasai sejumlah kampung, tidak memiliki batas-batas tertentu. Mereka memasukkan sejumlah kampung dan dusun di bawah kekuasaannya. Belum ada pembagian daerah. Gelar mereka pada masa lalu adalah Si Opat Suhu, tetapi kini orang jarang menyebutnya. Di bawah raja juga ada sejumlah kampung. Sengketa perbatasan antara parbapaan tidak sering terjadi. Sengketa tentang ladang juga demikian.
Bukti lebih jelas dari pembagian ini atas dasar genealogi tidak terpikirkan. Juga letak kampung yang mengelompok sehingga di antara kampung yang ada di bawah seorang kepala sering terletak di wilayah kampung yang dipimpin oleh kepala yang lain, merupakan bukti kebenaran pandangan ini. Ketika daerah parbapaan disebut distrik, yang sebenarnya lebih tepat bagi bagian seluruh daerah, karena kini pemerintah Eropa tidak memungkinkan pembagian lain. Kampung atau huta berada di bawah kepala (penghulu) yang diangkat oleh parbapaan, dengan mengikuti prinsip pewarisan.
Selain itu masih disebutkan bahwa jalan masuk huta, seperti yang kini masih tampak, diawasi oleh dua orang penjaga “parari” atau “parranggap” yang apabila ada bale di kampung, tinggal di sini dan juga ditugasi untuk menjaga para tahanan. Setiap raja, setiap “parbapaan” dan setiap “penghulu” memiliki beberapa pejabat yang membantunya, yakni “harajaan”. Semua memiliki “anak boru”. “Anak boru” merupakan jaminan adat yang muncul dalam kasus tertentu dan dalam kehidupan suku Batak menduduki posisi sangat penting. Segera setelah orang Batak menikah, dia menjadi “anak boru” ayah atau kerabat mertuanya dan lepas dari seluruh marga isterinya. Sebaliknya, hubungan ini bisa disebut dengan istilah “tondong”.
Pada semua peristiwa penting seperti kematian, perkawinan, upacara agama atau kewajiban adat lain, “anak boru” memegang peranan penting. Dari apa yang diterbitkan dengan pengertian “anak boru”, bisa diketahui bahwa setiap orang hanya memiliki seorang “anak boru”. Hal Ini tidak benar, setidaknya untuk daerah Simalungun dan saya yakin juga di daerah lain. Semua kerabat menjadi “anak boru” dan “tondong”. Seperti yang telah dikatakan, kedua kata ini lebih menunjukkan pada hubungan kedua marga. Sebagai “anak boru” pertama dan utama muncul “anak boru sikahanan” (kaha adalah tua), yakni yang menjadi “anak boru” pertama dari orang yang disebut “tondong”.
Dalam semua kasus keluarga yang penting, “anak boru” ikut berbicara. Juga dalam kematian atau kelahiran orang Batak, pertemuan dilakukan dengan “anak boru sanina”. Sanina adalah kerabat (marga, jadi mencakup tondong). “Anak boru sikahanan” saat itu tampil sebagai pemimpin dalam pertemuan. Jika tidak bisa datang, maka dia akan mengirimkan wakil dengan menunjuk orang yang layak untuk itu, yakni saudara atau orang yang menggantikannya. Juga sanina memiliki “sanina sikahanan”. Ketika belum lama ini raja Purba wafat, raja Raya yang menikah dengan saudari almarhum tampil sebagai “anak boru sikahanan”. Dia mengumpulkan semua “anak boru” dan segera setelah meninggalnya raja Purba mengadakan rapat, di mana juga kerabat atau anak sanina hadir. Di sini Tuan Hinalang (di Purba) menjadi “sanina sikahanan”. Pada rapat ini hak waris dibicarakan dan diatur, dan pada masa lalu juga pergantian dalam pemerintahan ditetapkan. Dalam kasus ini putra permaisuri “puang bolon” yang balita dari almarhum diangkat menjadi raja, tetapi juga seorang wali atau penjabat raja diangkat, raja pada masa mendatang akan duduk sebagai simbol dari kedua jabatan itu. Penjabat raja pada penggantiannya di masa mendatang akan menduduki kedudukan raja.
“Anak boru” sebagai jaminan adat bertanggungjawab sepenuhnya atas tindakan “tondong”-nya. Apabila “tondong” tidak mentaati adat, “anak boru” harus melunasinya. Jika seseorang diminta untuk membayar sejumlah tertentu tetapi belum siap, maka “anak boru sikahanan” mengumpulkan semua “anak boru” lain dan membagikan kewajiban melunasi hutang itu. Juga dalam pembangunan rumah “anak boru” tampil dengan kewajiban tertentu. Sebagai kekecualian disebutkan bahwa di rumah raja Purba salah satu tiang disebut “Tiang Raya” karena raja Raya dalam fungsinya sebagai “anak boru” harus menyerahkan tiang ini dan merawatnya. Segera setelah tiang ini rapuh, maka raja Raya wajib menggantinya dengan yang baru.
Satu-satunya keuntungan yang melekat pada sejumlah kewajiban “anak boru” ini adalah bahwa dalam pesta dan upacara tertentu dia menerima sebuah kain (hiou) atau bagian dari hewan yang disembelih. Raja Raya mendapat leher tengkuk (huang-kuang) kerbau yang disembelih di Purba. Dalam perkawinan “tondong”, “anak boru” juga menerima sebuah kain (hiou). Sebaliknya “anak boru” dalam perkawinan dan pesta harus kembali menyumbang uang sangat kecil (tupang). Juga para undangan pesta lain menyerahkan hadiah, tetapi untuk “anak boru” ada kewajiban dan jumlah ini ditetapkan besarnya.
“Anak boru” dari seorang anak boru disebut “anak boru mintori”. Pihak ini memenuhi jabatan atas permintaan “anak boru sendiri”. Mengapa “anak boru” dan bukan kerabatnya yang menjalankan kewajiban ini, orang tidak bisa menjelaskan. Dugaan yang saya dengar bahwa keluarganya muncul dan selanjutnya saling memisahkan, sementara antara “tondong” dan “anak boru” ada hubungan melalui perkawinan. Kedua pihak kurang menegaskan hal ini. Mungkin kita di sini masih menjumpai matriarkat yang tersisa pada orang Batak kuno.
Demikianlah kami membahas “anak boru”, seperti yang muncul dalam kehidupan keluarga. Tetapi setiap raja, “parbapaan” dan penghulu juga dibantu oleh “anak borunya” yang dalam posisi ini harus dimasukkan dalam birokrasi dan sekarang disebut “gamot ni harajaon” (gamot adalah istilah pemungut bagian senapan lama). Saya diberitahu bahwa istilah ini tidak diambil oleh pemerintah Belanda dari Karo (seperti yang biasanya muncul dalam laporan tentang Simalungun), tetapi sejak dulu diberikan kepada “harajaan” dan “anak boru”.
Dalam gelar yang termasuk dalam harajaan ini perlu disebutkan “pamatang”, beberapa anak boru muncul. Di Pematang Raya, raja dibantu oleh dua “anak boru”. Salah satunya “anak boru huta” ditugasi untuk menerima sumbangan perkawinan kepada keluarga raja. Orang tidak bisa melewatkan penjatuhan denda (dalam pertemuan dengan anak gadis). Yang lain adalah “anak boru jabu” sebagai kepala upacara (protokoler) dalam pesta.
“Anak boru harajaan” juga dibantu oleh para kepala kampung yang memiliki satu atau dua bawahan, “parbapaan” dan raja biasanya memiliki empat pembantu, raja juga enam. “Harajaan” di ibukota, kadang-kadang disebut “harajaan pangapit” (mengapit adalah menjepit), menduduki posisi penting meskipun bukan keturunan bangsawan, bersama “parbapaan” menjadi anggota dewan kerajaan dan menjalankan pemerintahan atas suhi (berarti ujung, sesuai dengan gambaran yang muncul pada empat ujung rumah di depan “partongah”, yang tinggal di dalam), yang bisa diterjemahkan sebagai kampung, juga sebaliknya kembali tidak bisa seperti daerah yang dibatasi dengan jelas, tetapi seperti kompleks pemukiman. Suhi ditunjuk secara lokal. Misalnya, orang menyebut "suhi huluan", “suhi kahean”, suhi Bah Bolak yang menegaskan sungai Bah bolak. Setiap “harajaan” memiliki semacam asisten (paiduana) yang membantu raja dalam menjalankan tugasnya. Meskipun kampung ini tidak jelas sama seperti kesain di tanah Karo, mereka toh tidak bisa dianggap berbeda.
Pamatang harajaan dan partuanan sekarang disebut tungkat (jiwa negara). Akan tetapi kata ini bukan kata asli melainkan dari Melayu. Dalam pembagian suhi, jumlah empat juga memainkan peranan. Biasanya orang masih menemukan empat suhi di pamatang. Tampaknya ada hubungan dengan pembagian rumah raja. Di tengah rumah (jabu tongah) kaum wanita dan anggota keluarga raja tinggal, yang disebut dengan istilah partongah. Di setiap ujung kini ada salah satu suhi asli. Akan tetapi tentang hal ini, saya tidak mendapatkan jaminan yang pasti. Pada rumah raja di depan dan di belakang terdapat beranda luas, lopo. Di lopo depan raja menerima tamu dan mereka yang akan berbicara dengannya. Di salah satu ruang terdapat bilik (kamar tidur raja) dengan ”paratas” di atasnya, sebuah lantai kayu tempat raja duduk, yang diterjemahkan menjadi “tempat yang ditinggikan”.
Kadang-kadang lopo dibagi dua dengan menggunakan sebuah balok tebal dan tahta raja tepat berada di balik balok ini di tengah. Juga rumah kepala kampung sering memiliki atap ijuk, berlantai papan dan kadang-kadang dinding juga terbuat dari papan, memiliki pembagian khusus. Dia yang berada di rumah dalam bersama banyak keluarga harus diakui sebagai tuan rumah, menghuni jabu bona, yakni ujung kanan di sisi depan. Tuan rumah memiliki kekuasaan di dalam rumah dan semua perintah dari kepala adat ditujukan kepadanya, termasuk bagi mereka yang tinggal di rumah itu. Dia bisa dianggap sebagai pejabat terrendah yang memiliki kekuasaan. Ada pertanyaan apakah benar huta dianggap sebagai lembaga hukum terkecil dan apakah ini sebelumnya tidak ditunjuk sebagai rumah.
Di kiri depan terdapat siambilou manakkih memanjat ke kiri. Di belakang jabu bona adalah jabu tongah dan di belakangnya ujung. Ini sejak dahulu termasuk ujung kanan belakang rumah. Di kiri belakang ada siamun manakkih ujung-ujung (memanjat ke kanan, yakni ketika orang memasuki rumah sisi dalam).
Kini muncul laporan tentang berbagai pejabat seperti yang ada di beberapa pamatang daerah yang sebagian masih ada. Seperti telah dibicarakan, posisi mereka setelah ketundukan kepada pemerintah berkurang tajam dan kini mereka hanya dianggap sebagai kepala upacara adat, orang-orang yang baru mendapatkan kembali posisinya dalam pengaturan kewajiban adat. Selain itu, mereka menjadi pengikut penguasa otonom, melaksanakan perintahnya dan dalam arti umum membantunya memerintah daerahnya. Meskipun sejumlah besar gelar yang mengandung arti khusus menunjukkan pembagian kerja para pejabat ini yang sangat berbeda-beda, kini lebih sulit mengungkapkan apa tugas mereka itu.
Sejauh mungkin ada sesuatu yang perlu disebut di sini. Dalam pembagian pemerintahan tradisional berikut ini gelar berbagai pejabat disebut. Hanya nama raja-raja sekarang yang disebut. Harajaan dari berbagai parbapaan yang juga memiliki sejumlah gelar dan pemerintah kampung tidak dimuat.
Siantar
A. Raja (partongah) Waldemar Toehan Naga Huta marga Damanik Bariba.
B. Harajaan pamatang :
- Bah Bolak (suhi Bah Bosar, kampung dekat sungai Bah Bosar); paiduana ini (paiduana berikut ini ditunjukkan dengan singkatan P) adalah Toehan Ambarita*.
- Toehan Anggi (suhi Huluan = aliran hulu), adik bungsu raja: P. Jagoraha (panglima)*.
- Rumah Tongah (suhi Kahean = arus hilir): P. Toehan Toemorang *.
- Nagodang (suhi Huta Ipis): P. Toehan Nabolon*.
- Toean Sipolha.
- T. Dolok Malela.
- T. Lingga.
- T. Jorlang Hataran.
- T. Silo Bayu.
- T. Bangun.
- T. Silampuyang.
A. Raja (partongah) Sangma Raja Maligas marga Sinaga Nadi Hoyong Hataran.
B. Harajaan di Pamatang seluruhnya berada di bawah pengawasan Toean Huta, yang sebagai ganti raja biasanya tampil mengatasi urusan pemerintahan. Para harajaan ini adalah :
- Orang Kaya (suhi Orang Kaya) penjaga kas: paiduana adalah Toehan Nabolon* dan Partanda*. Nabolon menggantikan Orang Kaya ketika dia harus memanggil seorang parbapaan (Si Opat Suku) kepada raja dan menegaskannya. Dia juga membawa tombak “Panraja”. Partanda menjadi utusan, yang membawa perintah penting.
- Toean Mahasar (suhi Mahasar) yang mengawasi pekerjaan warga di ladang raja dan aktivitas lain para pekerja wajib. P. Bona Taon* mengatur waktu untuk penanaman dan pemanenan.
- Nagodang (suhi Nagodang), mengikuti pengangkatan para kepala kampung dan mendampingi Toehan Nabolon ke sana. Dulu orang di suhi Nagodang masih menjumpai Guru Huta (yang tugasnya pada urusan penyakit dan agama), Pandihar (mengatur pesta di mana dia harus bermain pencak, yakni perlindungan tradisional dengan tangan), Bona Godang (keahlian dalam gondang dan gong), Partuha (pimpinan dalam pesta, di dalam upacara kematian dsb., mengatur pemotongan kerbau “panraja”).
- Rumah Tongah (suhi Tongah) secara pribadi memberitahu raja tentang semua masalah yang harus diketahuinya.
- Toean Dolok Paribuan.
- T. Jorlang Hataran
- T. Marjandi Asih.
- T. Hatundukan.
- T. Batangio.
- Raja Girsang (tiga orang; istilah raja di sini bermakna Toba, jadi bukan raja).
- Raja Sipangan Bolon (juga tiga orang, seperti Girsang). Huta Parapat, Sibaganding dan Panahatan yang dulu mandiri kini tunduk pada Dolok Paribuan.
A. Raja (Partongah) Sumalam Toehan Bosar marga Purba Dasuha.
B. Harajaan di Pamatang :
- Orang Kaya
- Bah Hapesong, dulu Jagoraha (panglima)*.
- Toean Suhi.
- Anak Boru Huta (marga Sinaga Silalahi, kerabat raja).
- Toean Dolok Batunanggar.
- T. Simarimbun.
- T. Sipoldas.
- T. Sinaman.
- T. Dolok Saribu, pada masa lalu oleh raja Raya diangkat sebagai kepala daerah yang didudukinya di Pane. Tentang struktur pemerintahan sekarang di Dolok Saribu diuraikan di halaman 36.
- T. Gunung Mariah.
A. Raja (Partongah) Sumayan Toehan Kapoltakan (yang berarti “yang terbit”) marga Saragih Garingging.
B. Harajaan di Pamatang :
Pamatang hanya dibagi dalam tiga suhi yakni: Raya Simbolon, Raya Pokki dan Raya Damakkah. Pada suhi pertama terdapat tiga pejabat yakni Tuan Nabolon, Rumah Bayu dan Tuan Raya Simbolon, yang kini masih menduduki jabatannya, tetapi tidak lagi di kampung tertentu, yang kini sudah tidak ada lagi.
Parhuluan dan Anak Boru Raya (suhi Raya Pongki).
Rumah Tongah dan Pardalan Tapian (Tapian berarti tempat mandi).
C. Perbapaan (Si Ompat Suku) :
- Tuan Raya Tongah, ini masih merupakan Bona ni Adat, yakni raja masih harus menemui dia untuk penyelesaian adat. Raja menyebutnya “abang” atau “kakak” tanpa peduli usianya, mengingat dalam lagenda tentang Raya, Raya Tongah disebut sebagai posisi lebih tua (anak-anak raja Raya menyebut Tuan Raya Tongah “bapa tua” atau disingkat “Tua” dan saudara tua ayah; saudara muda ayah adalah “bapa anggi” dari anak-anak dan saudara menengah disebut “bapa tongah”).
- T. Raya Bayu.
- T. Raya Usang.
- T. Buluh Raya.
- T. Jandi Mauli dengan Tuan Malasori (kini tunduk kepada Padang Bedagai), keturunan dari generasi raja-raja Silo lama.
A. Penjabat raja Karel Tanjung marga Purba Pakpak.
B. Harajaan di Pamatang:
- Nagodang.
- Rumah Tongah.
- Anak Boru.
- Ruman Buntu (suhi Ulu).
- Tuan Suhi (Suhi Borno = arus hilir).
- Guru Huta (datu atau penyihir).
- Bona ni Ari.
- Bona ni Gonrang.
- Jagoraha (panglima pasukan).
- Partahi Dolok (membantu raja dalam hubungan dengan raja-raja di sebelah utara dan timur).
- Partahi Bongguron (membantu raja dalam hubungan dengan seberang danau Toba).
- Toean Hinalang
- T. Sipinggan
- T. Huta Raja.
- T. Saribujandi.
- T. Siboro.
A. Raja Ragaim Tuan Si Tunggung marga Purba Tambak Lombang.
B. Harajaan di Pamatang :
- Toehan Nabolon.
- Gamot Dolok.
- Anak Boru Dolok.
- Bintara Dolok.
- Tuan Kaha Kaha.
- Anak Boru Lopo.
- Guru Dolok.
- Patumbak.
- Toean Bandar Hanopan.
- T. Sinasih.
- T. Nagori Dolok.
- T. Sibakkudu.
- T. Marubun Lokkung.
- T. Dolok Mariring.
- T. Urung Silo.
A. Raja Pamoraidup Toehan Nagasaribu marga Purba Girsang.
B. Harajaan di Pamatang :
- Nagodang.
- Toean Lobe.
- Anak Boru Huta.
- Rumah Sianjung (untuk urusan agama).
- Rumah Jojong (untuk urusan agama).
- Rumah parik (pengawas kampung).
- Guru Sahuta (penyakit, tabib).
- Rumah Gorga (pengatur pesta).
- Tumbuk Borno (pengatur perladangan).
- Pahara (pesuruh).
- Toehan Siturituri, pada masa lalu raja kedua Silimakuta, sejak 1921 setelah kematian Pangasami menjadi Parbapaan saja.
- T. Rakut Bosi.
- T. Saribu Jandi.
- T. Dolok Paribuan.
- T. Mardingding.
- T. Paribuan.
Jika raja dan parbapaan pada masa lalu menerima penghasilan adat tertentu, sekarang para kepala utama (yang masih terlalu banyak) digaji dan untuk itu setiap tahunnya satu pos untuk anggaran daerah disediakan (untuk tahun 1921 sekitar f. 80 ribu). Dulu penghasilan para raja dan para kepala terdiri atas: (selain dari hak kerja wajib untuk membangun rumahnya dan menggarap tanah mereka)
a. Denda yang dibebankan oleh mereka
b. Budak yang menjadi milik raja karena tuntutan hukum atau adat.
c. Keuntungan dari penjualan candu di daerahnya.
d. Andil dalam pemotongan hewan.
e. Bagian dari hasil buruan seperti gading gajah, cula badak, tengkuk rusa/babi.
f. Sepuluh persen pungutan semua produk eksport dan budak (suhe).
g. Beberapa pungutan kecil pada acara perkawinan dsb.
Untuk penempatan seorang pejabat di daerah ini, hak penjualan candu diborongkan dan untuk itu pembayaran tahunan diberikan kepada pemegang hak, dibagi dan diatur menurut perhitungan yang rinci (Tuan Paribuan di Silimakuta sebagai contoh, menerima 85/180 bola candu perbulan).
Menurut surat residen 9 Maret 1909 nomor 1388/12 sejak saat itu gaji diberikan dan hanya kepada penguasa, vazal dan parbapaan. Toehan Anggi atau raja Muda seperti yang disebut di sana akan disisihkan dari pemerintahan, sementara cukai untuk konsesi perkebunan separuh disetor ke kas daerah, separuh (kembali ditetapkan secara cermat) dibagi di antara para kepala daerah terkait. Baru pada tahun 1917 andil ini diganti dengan kenaikan penghasilan tetap yang dibebankan pada anggaran daerah.
Dalam surat 21 September 1911 nomor 590 residen menetapkan besarnya gaji yang diberikan akan ditentukan oleh jumlah keluarga di wilayah kepala itu. Menurut dasar ini gaji yang ada sekarang dihitung. Dari semua ini terbukti bagaimana usaha dibuat agar tidak mengurangi hak-hak yang ada. Dengan ini memang ada kepuasan yang muncul di antara para kepala, tetapi pembagian pemerintahan dengan sejumlah penguasa yang sesuai dengan perbandingan jumlah penduduk tidak diperoleh secara tegas.
3.Status dan Kelas.
Status pertama adalah raja. Di Simalungun hanya putra raja dari puang bolon yang bisa menjadi raja. Puang bolon adalah putri seorang raja tertentu, dilahirkan setelah pengangkatan ayahnya menjadi raja. Jadi raja Siantar mengambil puang bolon dari Silampuyang. Raja Tanah Jawa dari Bandar, raja Raya dari Pane atau Bajalinggei. Adat jelas diberlakukan bagi tuan dan partuanon.
Pada saat itu ketika raja diangkat dia belum memiliki puang bolon tetapi berhak dan wajib mengambil isteri dari keturunan tertentu. Adat ini juga merupakan ikatan yang menghubungkan Raja Naoppat di Simalungun. Setelah perkawinan raja dengan isteri yang menjadi puang bolon, dilakukan pesta adat secara meriah. Biasanya raja mempunyai beberapa isteri. Isteri pertama adalah puang bona, isteri yang lain disebut puang parrumah. Penguasa Siantar sekarang tidak pernah diangkat sebagai raja syah selama putra puang bolon dari ayahnya masih hidup. Penduduk menyebutnya Tuan dan bukan raja. Orang menyebutnya dengan nami (singkatan tuan nami) dan bukan dengan janami (singkatan raja nami).
Juga seorang raja yang secara adat didudukkan pada fungsinya (manraja) disebut Tuan. Namun, setelah pengesahan terjadi, yang belum bisa dilakukan sebelum jenazah pendahulunya dimakamkan (manurun), manraja terjadi. Juga puang bolon diangkat menurut ketentuan adat (mamolon). Hal ini dilakukan dengan meletakkan “rudang sihilap” (semacam hiasan) di rambutnya dan mengadakan pesta. Hal serupa juga terjadi dalam manraja (disebut irajahon). Jika raja tidak mengambil isteri dari keturunan yang ditentukan adat, maka pengangkatan puang bolon ditunda.
Setelah raja terdapat para tuan, vazal yang semula adalah raja merdeka. Di Simalungun yang menonjol adalah Tuan Bandar, Sidamanik, Dolok Panribuan, Jorlang Hataran dan Dolok Batunanggar. Mereka makan bersama dengan raja (sapanganan) yang terlarang bagi bawahannya. Kemudian, muncul partuanon yang disebut parbapaan sekarang, ada yang memiliki kedudukan yang tinggi karena keturunan, karena itu disebut partuanon nabanggal. Mereka berasal dari bangsawan atau nasituan yang memiliki hubungan dengan raja. Apabila tidak ada bangsawan yang memangku parbapaan dia tidak memiliki wewenang atas nasipuang di wilayahnya (setidaknya dulu terjadi).
Akhirnya, di beberapa daerah ada bangsawan lokal, yakni kerabat partuanon kecil yang diakui sebagai nasipuang. Setelah itu muncul status warga bebas paruma (uma dari ladang), di mana parumadongok-dongok atau warga berstatus, atau mereka yang melalui persahabatan bisa berhubungan dengan raja. Selain itu semua masih ada paruma.
Status terendah adalah budak atau jabolon, karena sejak 1 Januari 1910, lembaga perbudakan dihapuskan setelah pembebasan besar-besaran terjadi, baik atas tekanan pemerintah maupun keinginan sendiri. Sebagai periode peralihan kita bisa menyebutkan masa pertama pengaruh kekuasaan Belanda, ketika semua budak lebih dianggap sebagai orang numpang. Kini, status ini juga tidak ada lagi. Orang hanya bisa dijadikan budak menurut kehendak raja. Jadi, orang yang dianggap budak menjadi hak milik raja; raja memberikan beberapa budak kepada partuanon. Jadi budak merupakan hak milik bangsawan.
Dengan ini bisa dinyatakan bahwa orang kepercayaan raja yang tinggal bersamanya, dengan sebutan hundangan atau jabolon ihutan termasuk budak. Budak yang dulu ada dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni:
- Jabolon Marutang, yakni mereka yang menjadi budak karena tidak membayar utang. Mereka dapat ditebus sewaktu-waktu. Pengesahan budak dilakukan oleh raja. Jika seorang penghutang tidak bisa membayar utangnya yang diadukan oleh kreditur, penghutang bisa dituntut. Jika debitur tidak bisa membayar maka dia menjadi budak raja. Kreditur tidak menerima apapun tetapi tetap menuntut, sehingga ketika jabolon marutang mampu membayar dia bisa dibebaskan. Untuk mendapat kembali kebebasannya, debitur selain itu membayar $ 12 dan seekor kambing atau babi kepada raja (tanggal jabolon = pelepasan budak; tanggal tadah atau ransum yang diterima budak sebagai makanan). Kemudian penghuni rumah raja mendapat makanan (daging). Sebutan tanggal tadah juga diberikan pada jabolon hundangan yang akan meninggalkan ikatan raja.
- Jabolon tangga yakni kelompok besar yang tetap menjadi budak, dan hanya dalam kasus tertentu dapat memperoleh kebebasannya. Orang menyebut demikian karena sebagai budak, mereka dapat bisa menikah. Sebagai budak, setelah itu keluarganya tetap menjadi budak, meskipun tinggal di rumah terpisah. Kelompok ini terdiri atas.
- Jabolon tabanan atau tawanan perang. Mereka hanya bisa dibebaskan atas permintaan raja daerahnya dan apabila penguasa menyetujui hal itu.
- Jabolon ayoban, yang merupakan isteri dan anak-anak terlantar dan yang dipelihara oleh raja; misalnya anggota keluarga raja partahi-tahi atau penghianat negara dan terdakwa mati yang tidak memenuhi singkam namigar atau sira unte yang dibebankan kepadanya. Jumlahnya bisa mencapai $ 24 dan $ 48 jika menyangkut paruma dongok-dongok. Setelah penjatuhan hukuman mati pembayarannya masih dituntut dari kerabatnya. Jumlah itu menunjukkan bahwa mereka menghormati vonis itu dan tidak dendam terhadap raja atau hakim yang menjatuhkan vonis.
- Jabolon dapot i parlittunan, ialah warga raja yang melarikan diri tetapi tertangkap.
- Anak babi, yakni anak lahir di luar nikah.
- Anak-anak pasangan budak.
Kondisi yang dihadapi budak tergantung pada perlakuan majikan dan sikapnya terhadap mereka. Jaminan hukum yang menyangkut kehidupannya tidak ada. Mereka bisa dibunuh seenaknya dan sering hidup menderita, yang terbukti dari banyak kandang sebagai saksi penderitaan. Seorang raja Siantar pernah menyuruh seorang budak memanjat pohon aren dan kemudian membakar pohon itu; budak lain disuruh memanjat pohon Induyang, kemudian raja menebang batangnya dan budak itu jatuh ke bawah (di sepanjang batang yang gundul) karena pohon lain ditebangi. Dalam usaha menyelamatkan hidupnya dia bertahan sampai hancur.
Tuan Rondahaim dari Raya menyuruh seorang budak yang diduga berselingkuh dengan salah seorang isterinya untuk duduk di atas balok di Huta Rih dan dipukuli oleh 20 budak lain dengan senapang, setelah itu dipenggal kepalanya. Hukuman yang dijatuhkan kepada para budak juga tidak ringan. Terutama jabolon pangirikirik atau paihutihut, yakni pemuda berumur 10-12 tahun, ditugasi mengikuti isteri raja sebagai mata-mata, terutama berat tanggung jawabnya karena raja di sini segera mudah berubah akibat cemburu. Kemudian, di atas bangku penyiksaan anak itu dipaksa memberi kesaksian palsu terhadap seorang warga yang dicurigai raja.
“Isiringi” diterapkan yaitu bagian bawah kedua tangan diikat dan korban digantung dengan sebuah tali sehingga tangannya luka-luka. Dia dibaringkan selama beberapa jam dipukuli dengan menggunakan pentulan rotan. Di Pematang Raya pohon tempat pelaksanaan hukuman ini disebut hayu panggantungan atau sipoho. Hukuman lain ialah ilassinai, yakni mata, lobang hidung dan mulut dilumasi dengan lasina (cabe yang dicampur dengan air). Di sini setelah beberapa jam mata bisa terasa pedih ketika dibasuh dengan air tetapi tidak ada dampak lain. Masih ada beberapa orang yang menjalani hukuman ini pada masa muda. Kemudian “ilatongi” atau dipukul dengan semacam “latong” (pentungan membara) pada seluruh tubuh dan setelah itu membasahi bagian yang luka untuk menambah rasa panas. Juga lobang digunakan sebagai alat hukuman dengan mengikat terdakwa selama beberapa saat di sini pada kakinya dan diletakkan di bawah pengawasan “parranggap” atau “parari” (penjaga kampung). Orang menyebutnya “ibayangkon” (dipasung). Ada juga “ibayangan sibaganding” lihat bagian j bab ini.
“Ihuda hurushon”, hukuman kuda yang kurus, terdiri atas penempatan selangkangan terdakwa pada sebuah pelana yang dipertajam, yang dipasang pada dua penopang di mana batu yang berat diikatkan pada kakinya untuk menambah rasa sakit. Hukuman yang tidak berat yang hanya digunakan untuk mempermalukan adalah “isangkut” di mana orang diikat pada tonggak sebuah rumah pada pergelangan tangannya dan selama beberapa saat dipertontonkan kepada umum.
4.Karakter Penduduk
Masyarakat Batak Timur atau Simalungun secara rohani atau jasmani menciptakan kesan buruk. Penindasan bertahun-tahun perbudakan, saling menyerang dengan merampas semua jaminan hukum dan hak milik, perjudian dan penggunaan candu yang menjadi musuh besar kemajuan rakyat. Penyakit memiliki pengaruh yang menghambat baik pada tubuh manusia maupun energi dan tenaga kerja.
Kanibalisme masih dijumpai beberapa tahun yang lalu. Memang orang Batak bukan kanibal yang menggunakan daging manusia dan hanya wajib membunuh atau memakan musuh yang tertangkap dalam perang, namun pelestarian kebiasaan ini terutama di Simalungun menunjukkan tahap perkembangan yang rendah dalam peradaban yang belum lama ini dialami rakyat, dan meskipun kebiasaan memakan manusia tidak lagi ada, peradaban itu masih ada.
Mengenai sifat-sifat orang Batak Simalungun di berbagai daerahnya telah dipengaruhi berbagai faktor sehingga sifat rakyat di bagian ini saling tidak sama. Di daerah di mana pengaruh Toba sangat kuat seperti Simalungun timur, sifat yang lebih aktif tetapi mudah tersinggung dari orang Toba nampak mencolok. Di bagian barat pengaruh Karo atas adat dan sifat rakyat tidak bisa diabaikan sementara di utara di dataran rendah yang berbatasan dengan Deli dan Serdang, pengaruh Islam Melayu sangat terasa.
Melalui kemundurannya, perjuangan hidup kaum pribumi daerah ini baik secara individual maupun secara bersama-sama bagi seluruh Batak Timur sedikit ada kemajuan. Di satu pihak usaha pertanian yang maju mendorong penduduk asli dengan permintaan bagi tenaga kerja Jawa agar kembali ke daerah perkebunan. Di sisi lain kaum imigran Toba denga sifatnya yang lebih energis brutal dan egois semakin banyak menghuni daerah Batak Timur dan mendesak mereka di mana-mana. Sebagian besar jabatan daerah dan tradisional semakin banyak diduduki oleh orang Batak Toba, Mandailing dan Jawa, pendeknya orang asing; pertanian sawah yang berkembang telah menarik arus pendatang terutama Toba, Mandailing dan Jawa, sehingga hak lama atas penduduk asli harus dikalahkan dengan hak bangun kaum pendatang yang turun temurun. Di mana-mana apabila pertanian sawah yang juga dikelola oleh penduduk pribumi mengalami perubahan tentang hak milik atas tanah, perubahan terjadi pada arah pemilikan hak waris. Usaha dan biaya yang dikeluarkan untuk membuka sawah memberi pemiliknya hak yang lebih awet, tetapi juga pertanian dilakukan dengan cara lain: petani tetap menggarap petak tanah yang dibukanya kecuali dalam pertanian ladang, di mana mereka menggarap petak yang sama maksimal 3 atau 4 tahun. Jadi, kaum pendatang berubah menjadi penduduk tetap dan Batak Timur yang hanya mengambil alih atau mengikuti beberapa pertanian sawah menekuni kehidupan yang lebih nomaden dengan pertanian ladang.
Salah satu gambaran sifat yang berharga dari ras timur bagi setiap pengamat Barat menjadi persoalan yang paling sulit. Perbedaan besar dalam perkembangan dalam bentuk peradaban yang melibatkan pengamat serta yang diamati mengarah pada berbagai dampak. Misalnya, muncul orang Jawa yang malas, orang Palembang yang licik, dan orang pribumi yang bodoh. Ketika kesalahan itu tampak, sering ada penonjolan pada sisi lain. Jadi kehidupan yang bersalah dilontarkan pada orang Batak Karo di kapal Augusta de Witsche dan penduduk Jawa oleh beberapa orang dianggap sebagai bangsa yang paling lunak di dunia.
Misalnya (Ketika kita melupakan kesalahan beberapa abad lalu) orang Batak masih bisa digambarkan berdasarkan kisah-kisah hukuman dan kanibalisme yang mereka anut belakangan ini sebagai bangsa pendendam. Seperti tampak di mana-mana, di sini kebenaran juga harus dicari. Orang Batak Simalungun bukan kanibal melainkan warga yang bodoh, yang diamati oleh seorang pengamat tetapi melalui serangkaian pengaruh yang merugikan, tertinggal perkembangannya dengan bangsa yang selama ini mengadakan kontak berhubungan dengan mereka. Kemampuan otaknya tidak bisa diabaikan, yang ditunjukkan lewat kenyataan bahwa di antara mereka seperti halnya di antara bangsa Karo, terdapat beberapa tokoh menonjol.
Seperti di tempat lain di tempat saya memenuhi tugas selama masa dinas, di sini juga saya mengalami bahwa beberapa pejabat pemerintah dapat tinggal dengan tenang di antara penduduk. Pencurian bukan merupakan musuh yang berbahaya. Saya tidak hanya percaya tetapi harus harus bersyukur menduduki posisi ini ketika pencurian dianggap sebagai kejahatan yang lebih brutal dari pada yang lain, tetapi juga adanya kenyataan bahwa pencurian bukan termasuk kebiasaan rakyat di sana. Sebagian besar kasus ini (terutama dulu karena unsur-unsur yang tidak diinginkan juga ikut masuk bersama peradaban) menyangkut penyiksaan atau pembunuhan dan pelanggaran atas kehormatan wanita. Baru ketika melalui perjudian dan pengadaan adu ayam semua harta lenyap, maka kejahatan muncul yang mengganggu hak milik orang lain.
Orang Batak Simalungun sangat sedikit bergaul dengan orang asing, yang secara damai menguasai tanah seperti yang dimaksud di atas (bisa kita katakan demikian). Karena kurangnya kekuatan mereka (pada umumnya bangsa timur) untuk tampil berhadapan dengan ras yang jauh lebih kuat baik ketika bergaul dengan mereka maupun adanya perbedaan pandangan hidup yang mempengaruhi kehidupan mereka, yang sangat mempengaruhi perkembangan mereka lebih lanjut, yang akhirnya membawa perubahan yang besar pada kelompok suku Timur ini. Apakah proses ini berlangsung lama atau pendek tidak bisa dijelaskan dan selain itu juga tergantung pada berbagai faktor yang sulit dinilai.
5.Kondisi Kesehatan
Sebelum membicarakan dinas kesehatan di Simalungun, kondisi kesehatan penduduk sangat buruk dibandingkan daerah-daerah sekitarnya. Kudis (rasa atau rutu) sangat banyak muncul. Hampir setiap orang baik penduduk pribumi maupun pendatang Toba (terutama anak-anak Toba) menderita penyakit itu. Melalui pekerjaan di lahan banyak orang mengalami sakit tulang (buhak) yang bisa mengakibatkan kelumpuhan apabila diabaikan. Terutama bentuk yang berat dari penyakit ini merupakan akibat dari frambosia atau demam tahap ketiga menurut dokter pemerintah Moh. Hamzah.
Frambosia (puru) terutama banyak dijumpai di Tanah Jawa, Siantar, Panei, dan bagian utara Raya serta Dolok Silou yang berbatasan dengan Serdang. Hasil-hasil pemberantasan yang sangat menguntungkan melalui Salversan juga merupakan penyebab kepercayaan yang tumbuh di antara penduduk pada metode pengobatan Eropa. Malaria atau milasborgoan, kemudian disebut arun atau sampu (Toba) ketika tampak kronis pada anak kecil, atau sahit basal pada tahap yang lebih jauh ketika pasien terbukti terkena penyakit itu disertai dengan mengeluarkan air ringan, telah meminta koran besar di antara pernduduk. Pembawa penyakit yang paling terkenal di daerah ini adalah nyamuk leucospheria dan sinensis (sejenis anopeles). Pemberantasan penyakit setelah dilakukannya penelitian yang dilakukan pada tahun 1915 oleh Prof.Dr.W.Schuffner (lihat Bab X) bisa diduga bahwa kini penyakit itu hanya kadang-kadang muncul di beberapa daerah. Di beberapa tempat seperti Perdagangan, Bandar Tinggi, Tanah Jawa, dan Jorlang Hataran, penyakit ini banyak muncul. Kemudian penyakit ini berubah menjadi wabah kecil.
Penyakit cacing yang parah (ulok ni boltok: Toba, hura) kini muncul dalam tiga bentuk (cacing tambang, cacing gelang dan cacing lingkar). Cacing tambang terutama dibawa dari perkebunan. Ketika pasien menderita karenanya dan mengalami pegal-linu di tulang, penduduk menyebutnya penyakit basal. Disentri (buwang daroh) kadang-kadang muncul yang disebabkan oleh amuba. Kaum pendatang Toba menyebut penyakit ini baroh buni(bisul tersembunyi).
Juga TBC (hona rasun) di sana-sini dijumpai. Seperti di tempat lain di Hindia Belanda, penduduk menganggap penyakit ini berasal dari keracunan (dari situ sebutan hora rasun = kena racun). Kemudian kami menyebut sebagai salah satu penyakit mata yang muncul adalah trachoom, terutama di Parapat dan sekitarnya. Penyakit ini sangat menular yang terbukti dari kenyataan bahwa untuk sementara para petugas polisi yang ditempatkan di Parapat kembali dengan sakit mata.
Akhirnya lepra (gadam) harus disebutkan. Mengenai penyakit ini dan pemberantasannya terutama disebutkan dalam bab tentang dinas kesehatan. Penyakit lain yang muncul di Simalungun adalah kudis bersih (sanggul na uli), cacar air (sanggul bodi bodi), rematik tulang (sambolit), pembengkakan hati (panahit mula jadi), pembengkakan kelenjar (haloton), sesak nafas (bayoh bagas), asma (hosong), sakit sawan (ubagon), sakit jiwa (podo), kerasukan (birasuk), rematik (alum-alum), luka (luha), gondok (barut), batu ginjal (batu harang), sakit telinga (tukik), rasa sakit pada pergelangan kaki (oyang), sakit perut dan kulit menghitam (biring).
Selain itu setiap tahunnya menurut kata orang muncul penyakit kolera (sampar, nama asli untuk penyakit menular atau cacar, sanggul bolon) sebagai wabah yang memakan banyak korban di antara penduduk.Melalui penyuntikan semua ini bisa diakhiri. Menurut sensus terakhir pada bulan Nopember 1920 di antara penduduk pribumi (dari sekitar 164 ribu jiwa sekitar 40 ribu adalah tenaga kontrakan yang tidak termasuk penduduk asli) 130 orang buta dan 200 orang tuli (di tanah Karo dengan 73.856 jiwa terdapat 252 orang buta dan 155 orang tuli).
Lembaga dinas kesehatan daerah telah menunjukkan peranannya yang penting yang dirasakan manfaatnya bagi penduduk., terutama ketika (seperti yang kini terjadi) mereka menerima kepercayaan dinas kesehatan itu sepenuhnya. Pada mulanya mereka tampak sehat di poliklinik; tetapi perlahan-lahan penyakit tampaknya muncul dan kini orang datang dengan gejala-gejala sakit untuk meminta bantuan dokter. Juga kebersihan kampung yang diawasi oleh dinas kesehatan, sangat bermanfaat sehubungan dengan kondisi kesehatan umum.
6.Kampung
Di Simalungun dengan penduduk pribumi sekitar 70 ribu jiwa, tinggal di 1300 kampung (huta) dan dusun. Penduduk asli sepanjang hari terutama berada di rumah ladang di luar kampungnya sendiri. Selain itu sering terlihat bahwa kampung yang tidak dihuni karena sesuatu alasan ditinggalkan dan mereka tinggal di tempat lain, pada mulanya terdiri atas gubuk dengan bahan-bahan sementara, perlahan-lahan berubah menjadi rumah dengan konstruksi lebih baik. Kebiasaan menyebar dalam pemukiman orang Batak Simalungun ini karena cara pertanian ladang, yang bersifat berpindah-pindah tempat, yang tidak segera berubah. Di daerah ini sawah dibuka atau sejak bertahun-tahun, penduduk tinggal di kampung-kampung besar (lebih terikat pada sebuah tempat tinggal tetap).
Pengertian tentang hukum adat terutama juga mengarah pada kemunculan dusun-dusun baru, karena dengan meninggalnya seorang kepala tidak jarang lebih banyak calon yang merasa terpanggil “naik tahta”. Mereka yang tidak tampil dalam jabatan sebagai kepala setelah kematian itu tidak jarang membuka pemukiman baru dengan harapan melalui cara ini bisa memiliki daerah sendiri dan akhirnya menjadi kepala.
Huta-huta besar, ibukota daerah atau distrik, disebut dengan nama pamatang (pematang, biasanya juga dalam surat-surat resmi kata ini ditulis dengan pematang, karenanya kami mengikuti penulisan, yang sebenarnya tidak benar dalam karya ini). Biasanya pematang terletak di dataran tinggi yang dikelilingi oleh sungai atau gunung. Setiap huta merupakan pertahanan Batak yang cara masuknya dipersulit oleh dinding yang terbuat dari tanaman bambu. Pagar bambu (partuguh: tuguh = kuat) huta-huta lama, yang masih menunjukkan aspek sezaman, dibentuk dengan batang bambu sepanjang 2,5 meter dalam sebuah lingkaran desa. Pada sisi dalam sebuah parit atau galian lebar digali, tidak ada perlindungan alami berupa ngarai dalam, deretan bukit atau semacamnya. Hanya di kedua sisi orang bisa memasuki huta melalui pintu bambu kecil (horbangan) yang pada puncaknya dipasang batangan kayu. Juga segera disebutkan bahwa di daerah di mana perkebunan muncul dan peradaban lebih maju, benda-benda yang mengingatkan pada perang lama ini lenyap.
Perbedaan dalam pembangunan kampung di danau toba dan di sisi timur atau utara pegunungan yang terletak di sekitarnya itu tampak nyata. Kampung-kampung di danau Toba terletak di dataran, seluruhnya dikelilingi oleh persawahan dan lahan pertanian, yang miring di lereng gunung. Huta-huta di pegunungan sebanyak mungkin terletak di daerah aliran tinggi suatu sungai pada sebuah tempat yang berdasarkan kondisi alami, lingkungan itu sangat mudah dipertahankan atau diperkuat.
Rumah-rumah dibangun dengan kokoh (di tepi danau Toba menurut gaya bangunan Toba) pada tonggak tinggi, yang tertutup pada siang hari dan tampak gelap dan kotor dari dalam, lahan yang disediakan bagi sejumlah keluarga. Sebuah lobang pada papan di rumah depan digunakan sebagai pintu (pintuan). Rumah terbuat dari kayu mahal dan ditutup dengan ijuk (aribut). Pada kampung-kampung tua ditemukan di sisi timur rumah raja, toehan atau kepala dan bale, di mana pada siang hari kaum pria berkumpul, yang dulunya mereka ditangkap di bawah penjagaan para penjaga kampung (paranggap atau parari).
Rumah-rumah biasanya dibangun oleh beberapa warga secara bersama-sama, yang kemudian tampil Toehan rumah (lihat halaman 100) sebagai bangunan utama dan jabu bona (deretan pertama sebelah kanan) yang dihuni. Di tempat itu muncul, ketika pembangunan rumah tonggak pertama ditancapkan. Tentang struktur rumah bisa diketahui bagian tentang Pemerintahan Tradisional dari bab ini. Banyak huta di Siantar, Tanah Jawa dan Pane yang dirobohkan dan kehilangan aspek lamanya. Perkebunan dengan kondisi tanahnya, mendesak penduduk asli semakin banyak kehilangan hutan (dahulu mereka membuka ladang dan mencari hasil hutan) dan oleh karenanya, harus mencari kehidupan dengan cara lain.
Di daerah dengan mayoritas penduduk Karo, kampung-kampung memiliki pemandangan kampung Karo dengan rumah-rumahnya yang besar dan kuat, dihiasi dengan menara, gambar dan lukisan. Beberapa ulasan di sini masih bisa disebutkan tentang pemukiman kaum pendatang Toba di daerah irigasi. Rumah-rumah di pemukiman ini dibangun pada sebuah jalan tengah yang lebar. Pada mulanya rumah ini tidak berbeda dengan gubuk sangat primitif, di mana kaum pendatang yang baru tiba hampir tidak memperoleh tumpangan yang layak. Perlahan-lahan perbaikan dilakukan dan seorang pendatang bisa tinggal satu sampai lima atau enam tahun, kemudian biasanya dia tinggal di rumah yang terbuat dari kayu yang masih baik yang diberi atap dengan menggunakan seng atau genting sekaligus sebagai tempat menimbun padi dan kandang untuk ternak kecil di dekatnya. Di daerah sawah orang melihat pemukiman yang tampak makmur tersebar di mana-mana, sementara mereka memperoleh kemajuan lebih baik dengan kemajuan zaman. Kini di daerah pengairan baru dicoba sebanyak mungkin untuk mengatur penempatan perumahan, agar ancaman terhadap kebakaran dapat ditekan dan kampung memiliki pemandangan yang rapi (lihat bab tentang irigasi).
Di mana-mana babi dipelihara. Tanah di kampung tampak indah dan bersih karena hewan-hewan ini bisa disebut sebagai pembersih daerah pemukiman manusia. Selain itu, mereka memiliki pengaruh dalam membersihkan kuman, mengingat seperti pendapat Prof. Schuffner apa yang ditularkan oleh babi kembali tidak terjadi (lihat tentang peternakan dari bagian berikutnya).
7.Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama penduduk Batak Simalungun adalah pertanian. Setelah itu muncul pengumpulan hasil hutan dan akhirnya peternakan dan kerajinan sederhana.
Pertanian
Pertanian bagi penduduk menghasilkan bahan pangan yang memadai dan kelebihannya dijual di pasar. Penduduk pribumi hanya membuka sawah di lembah di sisi danau Toba dekat Parapat, di Girsang dan Sipangan Bolon, dekat Tigaras, Haranggaol dan di tempat-tempat lain yang cocok untuk itu di antara lereng gunung. Harapan agar penduduk juga setelah masuknya irigasi di Siantar, Pane dan Tanah Jawa akan menekuni pertanian sawah, hanya sebagian terpenuhi. Di sana-sini seperti di Dolok Paribuan, Jorlang Hataran dan daerah Bah Tungguran, kini juga dijumpai beberapa sawah yang dibuka oleh penduduk pribumi dan digarapnya. Selain itu cara bertanam di lereng Simalungun hanya ditekuni oleh kaum pendatang Toba dan Jawa (yang kini terutama berada di Bandar).
Di daerah pantai di danau Toba pertanian sawah sudah dikelola sejak dahulu. Pasti ada organisasi untuk bersama-sama mengatur saluran air, seperti yang disampaikan Kroesen dalam laporan perjalanannya (TBG XXXIX halaman 258 dst.). Untuk pembukaan saluran air ini, dilakukan oleh seluruh penduduk pria di sebuah huta di bawah pimpinan seorang kepala, tetapi kadang juga dua atau beberapa huta bersama-sama mengatur irigasi di daerah tertentu secara bersama-sama. Baru kemudian orang bersama-sama membersihkannya dan membangun parit dengan ukuran 12 kali 4 meter berbentuk segi empat. Setelah itu, penggarapan setiap petak diserahkan kepada keluarga. Saluran yang dibuat oleh penduduk tetap menjadi hak milik huta, dan dirawat bersama-sama. Kepala yang terkait yang tidak terlibat dalam pekerjaan itu mengadakan suatu pesta dengan memotong seekor babi dan setelah itu pimpinan menentukan beberapa sawah yang akan digarap oleh bawahannya.
Jika dalam pertanian sawah setiap tahun petak tanah yang sama digarap oleh petani yang sama, pertanian ladang merupakan pertanian pembakaran. Biasanya, orang tidak lebih dari tiga atau maksimal empat tahun bekerja di tanah yang sama, yang oleh kepala kampung diserahkan kepada petani. Mereka lebih suka membuka tanah hutan, karena tanahnya paling subur dan mereka mencurahkan banyak tenaga untuk membersihkan lahan itu. Namun, pada tahun pertama hanya sedikit yang melakukan pembukaan tanah. Dengan semacam kapak (beliung) dan parang pohon yang tidak diberi tanda ditebang rantingnya kemudian dibakar. Setelah itu, dengan cangkul (tajak) belukar dicabut akarnya, kemudian ditaburkan benih. Segera setelah tanaman ini tumbuh, dengan pisau bengkok (kiskis) disiangi. Sebelum memulai pembibitan pada tahun berikutnya, tanah digarap di permukaanya dengan menggunakan bambu yang dua ujungnya dibuat runcing (gogo). Begitu juga belukar dibersihkan saat itu.
Sebagai akibat pembakaran hutan kembali selama beberapa tahun, ketika ladang dibuka, sebagian besar Simalungun yang dulu kaya hutan kini gundul. Sekarang oleh dinas kehutanan tindakan diambil untuk mencegahnya. Penggarapan tanah untuk dibuat ladang dibersihkan dari alang-alang, dilakukan dengan peralatan pertanian sederhana. Hudali adalah sebuah cangkul kecil untuk menggarap tanah. Dengan belah nibung yang runcing (pakkuh) penggarapan lebih lanjut dilakukan yang disebut iansuwani. Setelah itu dilakukan ipokpoki, yakni pembuatan lobang tanah dengan bambu bulat atau nibung. Pembenihan dilakukan pada lobang tanaman oleh seorang pria atau wanita dengan dua batang nibung (parlobong). Langkah lain mengikuti dan tiga sampai empat benih dimasukkan di setiap lobang. Aktivitas ini disebut mangonah.
Besarnya panen seperti yang disebutkan tergantung pada kondisi tanah dan cuaca. Tanah terbaik berada di Tanah Jawa, Siantar dan Pane kemudian menyusul Raya, sementara di Purba, Dolok Silou dan Silimakuta tanahnya tidak subur. Dalam kondisi normal tanah terbaik menghasilkan 75 kali jumlah benih dan minimal 30 kali. Satu hektar luas ladang menghasilkan sekitar 25 pikul padi. Selain padi tanaman kedua ditanam terutama jagung dan ubi-ubian. Di Tanah Jawa dulu dijumpai tanaman katun yang tumbuh, akan tetapi, adanya kain impor Eropa menjadi penyebab orang tidak lagi mau memintal dan penanaman jenis tanaman ini mengalami kemunduran.
Ketika pada tahun-tahun sebelum 1910 harga getah karet sangat tinggi. Penduduk Bandar, Tanah Jawa dan Raya Hilir tekun dalam membuka kebun jenis pohon ini (rambung). Namun, meskipun dicoba memberi informasi dari pemerintah (ada seorang petani rambung Batak yang dikirim ke Jawa dari Bandar untuk mempelajari pengantar yang diperlukan) mereka tidak memahaminya sehingga kerja berat diperlukan untuk membuka kebun dan merawat tanaman. Pohon-pohon ini harus dijaga dari belukar, kemudian getahnya disadap. Selain itu, pengambilan getah karet ini merugikan pohonnya karena di sini orang tidak mengetahui perawatan terhadaap tanaman itu. Juga, meskipun pada awalnya diperoleh keuntungan besar, tanaman ini mengalami kemunduran tidak hanya karena kurangnya pengertian dan pemahaman atas usaha ini, melainkan juga karena pemilik rambung jatuh ke tangan lintah darat Cina. Orang Cina ini memberikan uang muka dan produknya harus dijual kepada kreditur sebagai pelunasannya, di mana semua jatuh ke tangan produsen dan tidak boleh dijual kepada orang lain. Kini tanaman itu tidak lagi berarti sehingga kebun rambung di mana-mana terbengkalai.
Pengumpulan Produk Hutan
Pengumpulan produk hutan memberikan mata pencaharian bagi banyak orang. Namun, penebangan hutan bukan hanya untuk pertanian ladang, tetapi juga dengan perkembangan perkebunan Eropa semakin mempersulit pencarian produk hutan. Dari pohon aren di hutan bisa diperoleh tuak (bagod), sementara kulit pohonnya menghasilkan atap yang indah (aribut) seperti yang dimiliki hampir semua rumah Batak. Berbagai jenis rotan (hotang) diperoleh dari hutan dan dijual.
Hotang rotih (saga) merupakan rotan mahal untuk membuat perabot. Pembuatan perabot hanya dilakukan oleh orang Cina di ibukota. Selanjutnya, orang mengenal hotang bolon (bahan bangunan), hotang malo (digunakan sebagai tali untuk mengikat pohon), hotang tobu-tobu (tonggak). Hotang simambu, hotang mataole, hotang pulogos yang jenisnya kecil tetapi sangat baik untuk membuat tali panjang, hotang buar-buar, hotang bonbon, hotang alas, hotang bayon, hotang tarintion, hotang humbil (untuk keranjang) dan hotang dadahanan (sejenis hotang cabang untuk membuat tali). Dari hotang jorlang orang memperoleh getah merwah tua (jerenang) yang terutama dijual kepada orang Melayu dan Cina.
Produk hutan lain adalah mayang, yaitu sejenis kulit kayu dengan mayang durian yang harganya mahal. Rambung andor adalah kulit kayu yang bisa menghasilkan semacam sulur dan yang berwarna merah. Palia (pete) menghasilkan buah berbau. Akhirnya, kita menyebut hamonan (kemenyan), damar (yang digunakan untuk penerangan di rumah) dan tobu-tobu (madu). Huramah (lebah) sangat sulit mwngumpulkannya, tetapi menurut kata orang kaum wanita bisa mengambilnya tanpa ancaman disengat lebah.
Peternakan
Kebanyakan warga memelihara ternak kecil, terutama babi, juga kambing dan domba. Kini mereka yang lebih kaya memiliki ternak besar. Pada masa lalu warga biasa dilarang memiliki kerbau atau ternak besar. Hal ini hanya menjadi hak raja dan toehan. Di Simalungun peternakan terdiri atas:
1914 | 1920 | |
Kuda | 2928 | 3780 |
Kerbau | 1861 | 2560 |
Sapi | 1180 | 2980 |
Kambing | 3400 | 4223 |
Babi | 4970 | 22330 |
Domba | 120 | 400 |
Peternakan kuda kini diarahkan ke jalan yang benar oleh dinas peternakan. Pada masa lalu ada beberapa kandang kuda Sumbawa di Saribudolok dan beberapa kandang di tempat lain di Purba, Silimakuta dan Dolok yang dibangun oleh pemerintah di bawah pengawasan seorang petugas yang digaji dan setiap orang bisa melakukan pengawinan pada tanggal tertentu. Dengan kelahiran seekor keledai, dipungut pajak tertentu.
Orang tidak lagi menggunakan sistem ini. Kini orang mencoba untuk memasukkan kuda pemacek murni keturunan Batak di antara penduduk. Beberapa pemilik kuda betina bersama-sama membeli seekor kuda jantan lewat perantaraan seorang pejabat dan dokter hewan di Medan dan memasukkan hewan ini dalam kandang dengan 20 kuda betina. Mengenai hasil dari sistem ini belum ada pendapat yang dilontarkan.
Penduduk mengangkut banyak kuda di sepanjang celah Buaya menuju Serdang sehingga kuda jantan Batak yang baik jarang dijumpai. Namun, masih ada kuda jantan baik untuk menerapkan metode yang kini diikuti. Di setiap kampung orang masih menjumpai sejumlah besar babi yang juga berfungsi sebagai pembersih kampung. Hal ini menjadi alasan mengapa orang membiarkan usaha yang dulu dipuji dari pihak pemerintah untuk mengumpulkan hewan-hewan ini dalam kandang. Perluasan jumlah babi dan peternakan lain, seperti yang ditunjukkan dalam tabel di atas membuktikan kenaikan kesejahteraan penduduk pribumi.
Kerajinan
Kerajinan penduduk sangat tidak berarti. Kaum wanita memintal kain Batak yang terkenal. Sampai belakangan ini mereka masih memintal kainnya sendiri (manorha; roda pintal disebut sorha), tetapi katun Eropa telah sangat mengurangi industri ini. Pembuatan gula aren merupakan industri yang terutama dilakukan di Raya dan beberapa daerah Tanah Jawa. Dengan nila (tayom) diperoleh warna biru (manosok): dengan kasumba atau mangkudu diperoleh warna merah (manobar). Kaum wanita mengenakan ikat kepala (bulang) yang diberi warna dengan cara ini. Warna itu disebut magara.
Di danau Toba orang banyak memanfaatkan kano (solu), yang membuat orang Batak bisa berlayar pada musim badai. Apabila ada badai besar, mereka tidak jadi berlayar. Selama pasaran, di pantai danau itu orang melihat perahu dalam jumlah besar mendekat dari segala arah. Beberapa menyediakan tempat untuk 40, 50, atau 80 orang. Tetapi solu yang dimaksudkan di atas mulai lenyap. Banyak orang Batak telah menggunakan perahu motor yang tidak hanya dijalankan oleh orang asing, tetapi juga oleh orang Batak, dan lebih tahan akan badai. Akhirnya, keterangan yang ada menunjukkan bahwa di setiap kampung terdapat seorang pembuat pakaian, di banyak kampung terdapat pandai besi dan pengrajin emas atau perak.
Tentang perdagangan, keterangan disampaikan dalam bab XII. Orang Batak tidak dicari untuk kerja upah (marombou) di perkebunan dan juga tidak mencari penghidupan dengan cara ini. Sekelompok orang Batak hanya terlibat dalam penebangan dan membersihkan lahan pada waktu pembukaan hutan. Kebanyakan mereka adalah warga Samosir yang untuk sementara pindah dari tanahnya yang miskin untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain.
8.Hak Milik Tanah
Di bagian Pemerintahan Pribumi sedikit dijelaskan dengan cara apa lembaga hukum (pertama huta, setelah itu urung) muncul melalui pemukiman marga tertentu (yang kemudian memerintah atau menguasai) di suatu daerah, yang terutama karena alasan geografis dianggap sebagai wilayahnya.
Dengan cara seperti itu, segera muncul hubungan sangat erat antara penduduk dan tanah di daerah itu, yang menjadi hubungan turun-temurun di antara generasi berikutnya yang lahir di tempat itu. Dalam hubungan ini tumbuh hak milik marga yang dipegang oleh para kepala adat. Pada mulanya, laporan kepada kepala adat dianggap memadai bahwa orang akan menggarap sebidang tanah di sini atau di sana. Kemudian, orang perlu meminta izin dan oleh kepala adat ditunjukkan sebidang tanah kepada pemohon yang harus digarap. Di Simalungun para raja yang pada mulanya tidak berbeda dengan kepala urung, seperti yang kita lihat, berusaha menegakkan kekuasaan yang lebih otokratis. Meskipun hal ini berlangsung selama beberapa abad, ikatan hukum dan lembaga adat ini tidak pernah luntur.
Kesimpulan yang dapat diambil oleh Tuan Kooreman dalam sebuah penelitian umum berbunyi: “Setiap lembaga hukum tetap memiliki batas, pemerintahan dan lembaga khusus, serta hak milik tanah yang berasal dari hukum alam atas tanah liar dan setiap warga masyarakat memiliki hak membuka tanah liar”, hal ini dipertegas oleh kondisi di Simalungun. Seperti telah kita lihat, bagaimana di daerah taklukan urung, kebebasan raja berusaha dipertahankan, juga sehubungan dengan hak milik atas tanah dan bagaimana lembaga adat yang bermacam-macam itu dipertahankan di sana.
Memang, raja terutama digambarkan sebagai despot murni yang sering tampak dalam tindakannya terhadap warganya. Namun, mereka harus dianggap sebagai pemilik semua tanah liar seperti dikatakan dalam Batakspiegel (hlm.238), yang juga ditekankan oleh para penulis lain. Namun ini tidak benar. Van Dijk mengatakan bahwa para kepala memang menjadi pemilik tanah liar, bahkan semua tanah, sementara Batakspiegel menyampaikan bahwa seorang raja memiliki hak menarik sawah dari pemiliknya untuk digantikan dengan tanah lain apabila warga kekurangan tanah. Mungkin pada masa lalu tindakan ini terjadi, tetapi hal ini harus dianggap sebagai pelanggaran kekuasaan.
Dalam catatan pada halaman 38 dari bundel hukum adat IX secara jelas dan singkat ditunjukkan: “Adat Batak murni tidak mengenal hak penguasa lain (sehubungan dengan tanah) kecuali yang bertumpu pada suku dan dijalankan oleh para kepala suku berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya”. Hal ini menjadi alasan mengapa setiap penduduk memiliki hak garap bebas atas tanah dan orang asing (apabila ingin menggarap tanah di wilayah kampung) harus meminta izin untuk itu dan hanya memperoleh hak garap setelah membayar cukai tertentu (bunga ni tanoh, terutama disebut bunga tanoh).
Hak warga begitu berakar pada orang Batak Simalungun sehingga dia yang menjual tanahnya ketika meninggalkan kampung, tetap memiliki hak untuk membelinya kembali, asalkan dia tidak mengabaikan kewajiban yang harus dipenuhi ketika meninggalkan kampung. Dari situ bisa disimpulkan bahwa penjualan tanah dilarang dan hanya penggadaian yang diizinkan, walaupun ternyata transaksi ini lebih mendekati penjualan murni. Dalam hubungan adat yang lebih modern seperti yang dipertahankan oleh pemerintah Belanda, tuntutan bagi penebusan tanah yang telah dijual sejak beberapa tahun dengan cara ini dinyatakan tidak berlaku tanpa keputusan hukum bagi pembelian kembali.
Apabila kita meninjau lebih lanjut hukum agraria pribumi, kita sebelumnya perlu melukiskan beberapa jenis tanah yang berhubungan dengan hak yang diterapkan padanya. Tanah yang tidak digarap atau dihuni oleh manusia dibedakan dalam tombak, harangan, sampalan, galunggung, dan tanoh rih. Tombak adalah hutan belukar yang belum dibuka, sehingga semua hak di wilayah tempat itu berada bisa diberlakukan dan ladang bisa dibuka asalkan kepala adat diberitahu. Harangan adalah tanah yang pada masa lalu dibuka tetapi kembali dalam kondisi liar. Ketika hutan kembali tumbuh lebat, semuanya menjadi belukar kembali, yang disebut harangan toras (harangan lama). Tanah ini berada dalam kondisi hukum yang sama seperti tombak. Galunggung adalah tanah yang terletak di kampung, yang belum lama ini digarap dengan bekas-bekas yang masih tampak (bokas ni poewe), dan pembuka pertama masih memiliki hak setidaknya atas tanaman yang tumbuh di sana sampai semua bekas pembukaan hilang.
Sampalan adalah ladang penggembalaan. Di sini kerbau dan sapi (dulu hanya milik raja) merumput. Di tanah ini hanya tumbuh rumput dan tidak ada alang-alang sehingga langsung bisa digunakan untuk menggembalakan ternak. Kadang-kadang sebagian sampalan yang bisa disebut lahan penggembalaan umum disediakan untuk ladang, tetapi segera setelah ladang ditinggalkan kembali maka tanah ini dikembalikan pada sampalan. Tanoh rih atau lahan alang-alang berada dalam kondisi yang sama sehubungan dengan hak milik seperti tombak.
Hak milik atas sawah bisa disebut hak waris individu. Hak ini bisa diturunkan kepada ahli waris dan bisa menjadi benda untuk dibeli, digadaikan atau disewakan. Tetapi adat menuntut agar transaksi ini dilakukan di depan kepala adat. Jika seseorang meninggalkan kampung, maka tanahnya disebut gayang-gayang na tading (ditinggalkan untuk dikuasai kepala adat). Dalam sebuah nota tahun 1909 peraturan diterapkan juga bagi para budak dan jabolon gayang-gayang na tading dianggap sebagai kategori khusus. Ini kurang tepat. Nota ini menyebut hak milik atas sawah sebagai hak waris individu. Kepala adat bisa mengolah tanah ini atau menyerahkan kepada orang lain untuk digarap. Akan tetapi, dia tidak bisa mengalihkan haknya.
Dengan meninggalkan kampung, orang harus membayar tanggal pararian, juga tanggal anggap atau tantang horin (khusus di Dolok, Purba dan Silimakuta). Jumlahnya bisa mencapai $ 12 bila mereka meninggalkan daerah kepala adat. Namun, mereka hanya membayar separuhnya apabila mereka tinggal di tempat lain di wilayah yang sama. Dalam kasus kedua ini, semua rumah dan pekarangan menjadi gayang-gayang na tading dan mereka tetap bisa menggarap tanahnya. Ketika tanahnya disewakan sebagai konsesi untuk industri pertanian Eropa, sejumlah tertentu (persen tanah) dituntut dan diberi cukai tahunan yang dihitung pada tahun pertama jumlahnya lebih kecil sementara pada tahun ke-3 jumlah yang harus dibayar secara maksimal (f 3 perhektar). Jumlah itu disetorkan ke kas daerah.
Dahulu, uang ini dibagi secara terburu-buru – dibayarkan kepada para kepala adat. Di bawah ini terdapat laporan pembagian seperti yang terjadi di Dolok Silou di antara Tuan Dolok Saribu, Tuan Dolok Mariring dan Tuan Sinasih:
- Di daerah langsung di bawah raja, raja menerima 2/3 : sisanya dibagi antara Tuan Bandar Hanopan, Tuan Dolok Saribu, dan Tuan Dolok Mariring.
- Di Bandar Hanopan, raja menerima 1/3 dan Tuan Bandar Hanopan 1/3: sementara sisanya dibagi di antara para kepala adat kampung.
- Di Dolok Mariring, raja menerima ½ , Tuan Dolok Mariring 1/3 dan Tuan Lokkung 1/6.
- Di daerah Tuan Sinasih, dia menerima 1/3, raja menerima 1/3, sementara 1/3 sisanya harus dibayarkan kepada Tuan Bandar Hanopan dan para kepala dusun.
- Di Nagori Dolok, 1/3 diserahkan kepada raja, 1/3 kepada Tuan Nagori Dolok, dan 1/3 kepada para kepala kampung: akan tetapi Tuan Nagori Dolok harus memberikan 1/5 bagiannya kepada Tuan Bandar Hanopan, Tuan Dolok Saribu, Tuan Dolok Mariring dan Tuan Sinasih.
9.Hak Waris dan Perkawinan
Orang Batak menganut eksogami, yakni perkawinan dalam suku dilarang. Pembagian dalam sub marga selalu tidak dimungkinkan. Perkawinan antara pria dari suatu sub marga dan wanita dari sub marga lain disahkan. Pria diminta untuk mengambil lebih dari satu wanita (siboewe nai jabui) yang dalam hal ini banyak dimanfaatkan oleh raja dan para bangsawan.
Perkawinan adat merupakan perkawinan jual beli dalam arti kata sesungguhnya. Wanita dibeli untuk dikawini. Dia akan menjadi bagian dari kekayaan suaminya. Suatu tuntutan cerai yang berasal dari pihak wanita menurut adat tidak dimungkinkan terjadi. Apabila disetujui keduanya, pasangan itu berpisah. Akan tetapi, apabila pria menghendaki perceraian, sang isteri tetap terikat padanya. Pada masa lalu pengabaian atau perlakuan kasar yang diterima oleh pihak wanita tidak memungkinkan dijadikan alasan untuk meminta cerai.
Dari sini tampak bahwa posisi wanita (kini melalui pengaruh pemerintah dan zending, yang pada umumnya lewat hubungan dengan peradaban lain yang lebih baik daripada sebelumnya) sangat rendah. Wanita ternyata disamakan dengan budak. Kaum wanita milik raja melalui paritik-itik atau paihut-ihut (anak-anak budak berusia 10-12 tahun, lihat bagian c dari bab ini) harus mengikuti agar raja menerima informasi tentang tindakan para isterinya yang menurut dia tidak layak.
Bagaimana seseorang seperti Kroesen dalam notanya mengenai Simalungun dapat menuliskan, “bahwa wanita di antara bangsa Batak sangat dihormati, dia tidak menyinggung tindakan pelanggaran dan penghormatan kepada wanita dalam kehidupan yang berkaitan dengan suku Batak” merupakan nasehat, akan tetapi pandangan ini sering menunjukkan kebalikan dari kenyataan. Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian atas hak milik tanah di Sumatera menurut ringkasan yang telah diterbitkan menunjukkan bahwa seorang budak “lebih manusiawi daripada wanita bebas” lebih mendekati kebenaran.
Wanita sebagai anak menjadi hak milik ayahnya, sebagai isteri dari suaminya, setelah kematian suami menjadi warisan suaminya. Apabila perceraian dilontarkan dengan alasan yang ditimpakan pada wanita, misalnya dia tidak bisa memiliki keturunan, ayahnya harus memberi suaminya itu seorang wanita lain, dan atau sang suami bisa menuntut pembayaran yang sama nilainya dengan dua kali maskawin. Selama kemunculan pertama para pejabat Eropa di Simalungun beberapa kasus diajukan dan diselesaikan, yang terbukti ketika itu pandangan tentang wanita dalam segala aspek berbeda dengan pandangan Tuan Kroesen.
Pada tahun 1906 Sijinggala mengeluh bahwa Tuan Dolok Saribu telah mengawinkan isterinya kepada orang lain, yang sebelumnya dia beli senilai $ 24 dan seekor babi senilai $ 12 setelah kepergian Sijinggala untuk sementara dari kampung itu. Untuk itu, Tuan Dolok Saribu menduga memiliki hak karena Sijinggala telah meninggalkan kampung tanpa sepengetahuannya. Menurut catatan dalam arsip, pada tahun yang sama suatu keluhan diajukan oleh seorang wanita karena pengabaian oleh suaminya, yang memberinya seorang putri. Pria itu mengakui kebenaran kata-kata isterinya. Pembelaan ini dibuat: “Jika wanita itu tidak hamil pada bulan Agustus maka dia bisa diceraikan. Akan tetapi ketika putrinya, Turi, datang kepada pria itu, ia meminta kembali mas kawin yang telah diberikan. Terbukti istrinya hamil, dan suaminya kembali merawat isterinya”.
Seorang wanita muda bernama Sikalah mengeluh bahwa dia bersama tiga saudara dan saudarinya menjadi jabolon ayoban, karena orang tuanya meninggal tanpa meninggalkan wali bagi mereka. Kini Sikalah tergantung pada puang (pasangan atau selir) Tuan Bandar. Dia bisa kembali dengan melaporkan bahwa adat tidak melarangnya. Baru ketika Sikalah membayar $12 per orang, dia bisa bebas pergi semaunya. Seorang anggota keluarga lain membeli mereka beberapa bulan kemudian.
Dari kenyataan di atas yang masih banyak kenyataan lainnya, terbukti bahwa posisi wanita memang bisa disebut tidak bagus. Pasangan (pargotong = yang memakai ikat kepala, dalahini atau lakinya dan nibere mangan = siapa yang memberi makan) menyebut isterinya parsonduk (yang diciptakan untuknya), jolmani (suaminya) atau namabere si mangan (yang memperhatikan makananya). Pria menyebut isterinya dengan ho = kamu dan isteri menyebutnya ham = Anda.
Dahulu perkawinan adat menuntut banyak pengeluaran. Selain mas kawin, dana besar harus disediakan untuk pesta sehingga saat ini semakin banyak perkawinan marlua-lua yang terjadi. Cara perkawinan ini muncul sebagai berikut. Ketika seorang pemuda dan pemudi menjadi satu dan bersama-sama tiba di bale kampung dan dijumpai saling bersama (mariah-riah), maka si pria harus menculiknya atau wanita meninggalkan rumahnya dengan meninggalkan uang dan sirih yang diletakkan di parborasan (tempat beras) milik tondong (lihat bagian a dari bab ini).
Keesokan harinya anak boru pria menghadap ayah wanita yang tanpa alasan tertentu tidak bisa menolak untuk menyetujui perkawinan ini. Penolakan hanya bisa terjadi apabila pemuda itu berasal dari marga yang sama, sudah dijodohkan (dalam hal ini rampas tunangan terjadi) atau ketika mas kawin tidak mencukupi. Juga tampak bahwa semua harus dilakukan sepengetahuan ayah dan dengan pembayaran mas kawin di muka. Mas kawin (boli ni boru = biaya pembelian seorang wanita) bagi wanita biasa bernilai f 12 – f 24, untuk wanita kelas nasituan (bangsawan) bernilai f 24 – 120, dan seekor babi, dan untuk putri raja bernilai f 48 – 240 dan seekor kerbau atau sapi.
Dari jumlah itu sebagian tertentu (ulih puang) antara f 2 – f 6 diserahkan kepada para kepala adat. Ketika penculikan terjadi, yang pertama tondong atau ayah, saudara pria apabila tidak ada kerabat pria lain dari sang isteri menuntut agar anak boru memenuhi jumlah ini. Segera setelah ini terjadi dan mas kawin di8bayarkan, tondong memberikan sebuah kain kepada anak boru dan ayah pria sebagai kerabat baru. Dengan ini, semua persyaratan terpenuhi dan pasangan muda itu disatukan. Ketika perkawinan dilangsungkan menurut adat, pertama-tama melalui perantaraan seorang penengah atau poldung pembicaraan dilakukan antara ayah dan anak boru pria dengan ayah mempelai wanita.
Kemudian seekor babi dan sejumlah beras diberikan oleh ayah mempelai pria kepada ayah mempelai wanita. Juga mas kawin dibayarkan setelah disepakati besarnya. Orang Batak terutama mengawinkan putranya dengan putri paman dari pihak ibu (boru ni tulang atau nidatulang di Toba). Setelah itu, mempelai wanita dibawa ke rumah pria (palaho boru). Jika wanita mendatangi pria maka disebut paroh boru (mendatangkan wanita). Kemudian seekor babi dipotong dan sebuah pesta diadakan (mangan boli ni boru). Di bawah tangga rumah diletakkan guru desa yang berupa sirih, bunga (rudang-rudang) dan barang lain (pinangan ni ari) yang harus dilangkahi mempelai wanita. Pasangan ini harus tinggal di rumah selama 4 hari dan 4 malam atau 8 hari dan 8 malam untuk bangsawan. Jika selama masa ini mereka menginap di tempat lain, maka marobu itu bertentangan dengan adat. Jika 4 hari sudah berlalu, maka mempelai wanita harus menanam pajuma-jumahon yakni sebatang tebu atau tanaman lain sebagai simbol kewajibannya di masa mendatang untuk menggarap ladang.
Ketika seseorang menikah dengan wanita dari marga yang sama seperti ibunya, maka disebut mangulaki boru ni tondong. Orang senang melihat hal ini. Perkawinan anak-anak sering terjadi. Ayah dan anak borunya membawa seorang anak (sering seorang anak yang baru lahir) kepada ayah gadis yang akan dijodohkan menjadi pasangan anak itu. Ini disebut marondos. Anak pria itu tetap tinggal di rumah (horja raja) sampai pasangan yang ada cukup dewasa untuk dinikahkan. Selama masa mereka menanti perkawinan, mereka terlebih dahulu bertunangan.
Seperti telah dikatakan, wanita sepenuhnya menjadi hak pria. Jika perkawinan tidak melahirkan anak, perceraian atau sirang terjadi. Kemudian kadang-kadang oleh semacam dukun (na marpambotoh) ditetapkan kepada siapa kesalahan dilimpahkan. Jika diduga kesalahan terletak pada wanita, maka mas kawin ganda harus dikembaikan (malipat). Setelah kematian suami, para isterinya jatuh kepada saudara. Dalam pembicaraan tentang warisan dicoba untuk menemukan penyelesaian sebanyak mungkin melalui musyawarah. Dalam perkawinan, salah satu isteri dengan saudaranya (massamotkon: samot berarti penggarapan tanah) ayah isteri memberikan kain (hiou ayub-ayub) kepada suami barunya. Pada saat ini mereka mengadakan perkawinan baru. Jika hanya ada satu isteri dan satu saudara, maka kain ini tidak perlu diberikan. Jika janda itu memiliki seorang anak maka bersama anaknya dia mejadi milik ahli waris (paganjangkon dakdanak).
Ketika seorang janda kawin dengan ahli waris karena berbagai alasan semua saudaranya tidak bisa menerimanya, maka untuk daerah Silimakuta dan Dolok Silou dia harus membayar separuh mas kawin sebelumnya kepada kerabat dekatnya (sipanimbangi). Suaminya harus juga mendidik anak yang masih balita dan kemudian membagi mas kawin yang dibayarkan kepada mereka bersama ahli waris almarhum suaminya dalam 3 bagian. Sepertiga diserahkan kepada ahli waris terdekat, sepertiga kepada ayah tiri dan sepertiga kepada tondong. Jika seorang janda menikah dengan orang asing, maka janda ini harus mendidik anak-anak dengan membayar sebesar f 3 perbulan sampai mereka berpisah dari ibunya, seperti ketika ahli waris almarhum ayahnya mengambil anak-anak itu. Pasangan baru ini bisa juga tetap memelihara anak-anak it,u tetapi tidak memperoleh ganti rugi lebih lanjut karena anak-anak ini bisa bekerja untuk dirinya mereka sendiri.
Sebagai ahli waris hanya bisa diangkat kerabat pria dari ayah. Wanita sebagai bagian dari warisan bisa diturunkan. Wanita tidak memiliki apapun dan dari dirinya pria juga tidak bisa mewarisi apapun. Pertama-tama dipertimbangkan anak laki-laki dan setelah itu cucu keturunan dari anak laki-laki itu. Setelah itu saudara pria alamarhum. Putra termuda atau saudara laki-laki bungsu memiliki posisi istimewa. Hal ini bisa terjadi pada generasi kedua dan laki-laki atau saudara berikutnya. Juga dalam mewariskan status hak istimewa sulung dan bungsu dipertimbangkan.
Surat wasiat tidak dibuat. Tampak bahwa seseorang membuat pernyataan menjelang meninggal di hadapan para saksi mengenai harta dan kekayaannya. Kemudian semua hutang dan piutang (idou dan utang) disebutkan. Seorang penagih yang lupa selama beberapa saat setelah kematiannya bisa mengajukan tagihan, karena yang lain tidak diterima. Segera setelah kematian seseorang yang memiliki kekayaan, beberapa kerabat dan saudara (anak boru sanina) bersama-sama berkumpul untuk membicarakan masalah warisan dalam rapat umum. Ini juga dilakukan setelah kematian raja. Seorang raja baru tidak bisa diangkat bila almarhum pendahulunya belum dimakamkan. Dari situ jenazah raja tetap tersimpan dalam peti tertutup di dalam rumah selama beberapa bulan atau tahun sampai penunjukan atau pengangkatan pengganti dilakukan.
10.Hak Piutang dan Hukum Pidana serta Sarana Peradilan
Sebuah utang disebut utang, piutang disebut ido. Dulu orang dengan jumlah kecil utang bisa dijadikan budak. Penagih mengajukan tuntutannya kepada raja dan ketika utang tidak bisa dibayar oleh pengutang atau anak borunya, raja menyatakan bahwa orang itu menjadi budak. Dia tidak bisa diserahkan kepada penagih, tetapi akan menjadi budak raja. Kebiasaan ini sama dengan poenale sanctie atas hutang uang.
Dulu di pasar sering terjadi seorang penjudi yang tidak bisa membayar uang taruhannya, segera ditangkap, dimasukkan dalam kurungan kayu yang terdapat di pasar itu dan bila anak borunya tidak datang untuk menebusnya, dia segera dihadapkan kepada raja dan dinyatakan sebagai budak. Kebiasaan dalam penagihan hutang disahkan oleh adat. Apabila seseorang dalam kekurangannya tetap tidak mampu membayar hutang, penagih bisa merampas salah satu kerbau atau sapinya, dan tetap melunasi seluruh hutangnya. Jika setelah dihitung hutang itu lebih besar daripada barang yang dirampas, maka penagih akan mengambil kerbau kedua. Kebiasaan ini disebut adat manrampas. Seperti telah disebutkan, hak ini hanya diberikan pada semua warga dari status atau klas bawah. Setelah masuknya pemerintah Eropa di wilayah ini, adat ini dihapuskan dan hanya tagihan saja, yang telah ada sejak dahulu, tetap dijalankan dan dihormati.
Dalam penangkapan pencuri, orang berhak membunuh pencurinya. Dari peraturan tahun 1905, yang dibuat menurut adat yang berlaku dalam perjudian di pasar, terbukti bahwa mereka yang tidak membayar tara (andil untuk raja) termasuk Tuan dan Partuanan, harus membayar $20, mereka yang membayar separuh dari nilai tara (hulubalang, kepala budak dan beberapa jabatan lain) sampai $ 10; mereka yang harus membayar tara penuh sama sekali tidak berhutang. Hutang lain atau yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan aturan ini, dianggap tidak sah. Menurut aturan yang ada, tara dibagi di antara para kepala yang berhak. Misalnya tara yang dipungut di Saribudolok diperoleh kedua Tuhan (Nagasaribu dan Siturituri) seluruhnya berjumlah 3/7 bagi Tuhan Saribudolok, dan 3/7 bagi para kepala dusun.
Peradilan hukum dilakukan oleh pengulu. Dalam pembuatan kontrak terutama, orang harus membayar uang muka, seperti dikatakan Profesor van Vollenhoven, sebagai sikoram (uang pengikat) kepadanya yang harus melakukan kewajiban tertentu. Uang muka ini kemudian dipotong dari pembayaran berikutnya dan harus dibayarkan kembali dua kali lipat apabila orang tidak mematuhi kewajibannya.
Pembangunan rumah dan proyek-proyek lainnya dilakukan dalam kerja upah. Untuk tugas-tugas berat seperti menarik kayu dari hutan, di beberapa daerah kepala kampung wajib membantu (manaraja). Rumah-rumah biasanya dibangun bersama oleh warga. Warga tertua kemudian disebut Toehan rumah dan kemudian tinggal di jabu bona (rumah utama). Kerja upah (marombo: yang juga berarti murid) di sini jarang muncul, tetapi suatu kali orang mengerjakan tugasnya dengan pembayaran berupa garam dan beras. Ternak dan barang-barang lain terutama dibeli bersama-sama dengan orang lain. Setiap orang memiliki sakkae = sepotong, ¼ atau satongah kae 1/8, kemudian sambolah atau ½. Ketika orang memiliki sepertiga, maka ini disebut bagi tolu.
Pada pelanggaran adat biasanya terdapat hukuman denda (marutang atau manggalar) kecuali pelanggaran itu dianggap terlalu berat, di mana hukuman mati diterapkan. Dalam beberapa kasus orang bisa menebus hukuman mati (tobus borgok = menebus rantai). Dahulu dorongan keluar sering muncul dari marga. Kejadian ini disebut parligligan dan diucapkan oleh kepala adat dalam sebuah rapat warga marga. Seorang anak boru yang tidak ingin menemui tondongnya membawa seekor babi dan sebuah kain kepada kepala adat dan menyatakan pada saat ini tidak mau lagi tampil sebagai anak boru.
Pengurungan juga diterapkan pada budak, yang sebuah tulangnya dikunci dalam pasungan (nibayangan) dan pada tahanan perang bisa dijatuhi hukuman mati, yang didahului dengan penangkapan. 0rang menyebut jenis penangkapan ini sebagai nibayangan sibaganding, yaitu kedua kakinya dipasung. Hukuman mati dijatuhkan kepada terdakwa yang mengkhianati negara (partahitahi), berzinah (marhatahon nasipuang, disebutkan dengan istri raja) dengan istri seseorang berstatus tinggi, meracuni (marajiaji), mencuri senjata dan barang-barang lain dari rumah raja, menikahi wanita dari marga lain (marjumbar), tanpa memberitahu raja menyelundupkan warga di tempat lain (seperti yang disebut orang Batak setiap pindah dari tanah itu).
Ketika raja bersama dengan dewan kerajaannya menyatakan seseorang bersalah, hukuman mati bisa dijatuhkan. Pada saat itu, raja di beberapa daerah tidak terwakili, karena bisa menunjukkan bahwa terdakwa diminta pada saat-saat terakhir untuk meminta maaf dan raja tidak bisa menolaknya (diduga akibat yang muncul dari perasaan sedih almarhum). Anggota keluarga dari orang yang dihukum mati harus membayar $ 24 (singkam namigar atau sira unte) yang uangnya digunakan untuk membeli garam dan asam, dimana daging manusia itu dimakan dan juga dibuktikan bahwa dia telah menerima vonis itu dan tidak dendam kepada raja dan hakim. Sering sebelumnya ditanyakan kepada anggota keluarga apakah vonis ini diterima, orang mengajukan pertanyaan ini di depan umum, kemudian pernyataan dibuat yang menuntut penyelidikan yang baru. Keputusan akhir akhirnya diserahkan kepada raja dan anggota karapatan.
Terdakwa pada hari pelaksanaan hukuman dibebaskan dari pasungan dan oleh para kepala serta banyak warga dibawa ke tempat eksekusi. Setiap daerah menentukan tempat tertentu untuk dijadikan tempat eksekusi (di Siantar sebuah pohon nangka di Pamatang, di Raya sebuah tempat di Raya Bayu, di Dolok Paribuan di Sompalan Siholit, di Purba Hau Sinuan, di Silimakuta di Siandalu). Eksekusi ini dilakukan dengan berbagai cara. Terdakwa diikat biasanya dengan sebuah bilah bambu atau kayu, kadang-kadang di sekujur tubuhnya dari leher sampai kaki, tetapi tangannya direntangkan; wajahnya ditutup dengan ijuk. Di Pane terpidanan mati kadang-kadang ditembak tetapi juga (seperti yang biasanya terjadi) ditikam dengan senjata tajam, atau dipancung. Di Tanah Jawa dilakukan dengan mengikat terpidana mati dengan sikap tegak lurus; di Raya dia diikat pada pohon penghukuman, sementara kakinya diikat menjadi satu pada sebuah tonggak yang ditancapkan di tanah; di daerah lain eksekusi dilakukan dengan cara serupa.
Penyelesaiannya biasanya adalah penyembelihan. Saksi mata yang melihat penghukuman itu mengisahkan kepada saya bahwa ada empat atau lima kali penikaman sebelum tujuan itu dicapai. Gambaran penghulu yang berasal dari Dolok Paribuan memberitahu saya tentang hal ini dengan mengingat tiga terpidana mati, dimana dia menghadiri dan ikut memakan daging manusia, yang menurutnya sangat enak. Namun, orang hanya perlu mengambil sedikit dan memasukkan semuanya langsung ke dalam mulut. Cara ini banyak dijumpai di Raya, bahwa di sini raja tidak memakan daging manusia (yang lain menurut penguasa sekarang tidak ada lagi warga yang melakukan hal iyu).
Kini Si Ama ni Parsuma memberitahukan bahwa peristiwa yang dilihatnya menyangkut seorang penghianat, bernama Tuan Simbolon, seorang budak yang bersalah telah berzinah dengan isteri tuannya dan dua tahanan perang dari Tomok yakni Ama ni Gara dan Parsambut. Para tahanan perang pada mulanya tidak dipasung, tetapi langsung dipotong dan dimakan (wanita yang bersalah dalam kasus zinah dipukuli dengan rotan). Wanita dan anak-anak tidak pernah dimakan.
Dia juga memberitahukan bahwa algojo menikam tiga kali sebelum eksekusi dilakukan sehingga setiap orang memakan bagian tubuhnya. Sementara roh belum bangkit dan gerakan kejang dari tubuh menunjukkan (saksi menunjukkan bagaimana kasus itu berlangsung) bagian tubuh yang ada di potong-potong untuk segera dibawa ke kampung. Di sini raja menerima bagian tertentu, yang lain diserahkan menurut status dan pangkatnya. Menurut beberapa versi dari apa yang diambil dari tubuh itu ada juga yang tidak pernah memakan daging manusia. Orang mengisahkan hal ini dengan menambah kalimat “kalau mereka mau”.
Kadang-kadang semua tubuh yang mati itu dibedah, apa yang bisa dimakan diambil. Di beberapa daerah, kepala langsung dimakamkan sebagai wadah tondi (jiwa). Kadang-kadang menurut kisah orang di Sidamanik pada senjata yang digunakan untuk mengeksekusi diikatkan sebuah tali yang dipegang oleh para penonton dan senjata ditarik ketika pekerjaan selesai. Korban pada mulanya dimasuki beras pada mulutnya dan dia harus mendengar bahwa ini merupakan makanan terakhir dan menjadi alasan dia dibunuh. Sebagai pelaku di beberapa daerah tampil seorang budak, kadang-kadang seorang panglima yang ditunjuk (parsahulat merah = orang yang berbaju merah sebagai tanda bahwa dia adalah bawahan raja). Ketika seorang tahanan di bawa ke sana di Raya dan dipasung, penjatuhan hukuman mati tinggal menunggu waktu.
Bentuk pengambilan sumpah (marbija) biasa dilakukan dengan memasukkan beras, garam, lada, dalam sebuah mangkuk dengan kunyit, di mana orang mengaduk dengan sebatang bambu. Setelah mengucapkan mantra tertentu dengan sumpah yang diucapkan, bahwa bersama dia bisa terjadi apa saja yang kini terjadi dengan adonan dalam mangkok itu, bila dia melanggar sumpah atau bersumpah palsu. Metode ini merupakan sisa dari pengambilan sumpah dahulu di mana seekor babi atau kerbau dibunuh secara kejam dengan mematahkan telinga hidung, dan kaki hewan itu serta memotong hati dari tubuhnya sebagai gambaran nasib dari mereka yang melanggar mantra sumpah. Kadang-kadang seperti yang terjadi di Siantar, sumpah diambil di sebuah ngarai dan orang berdebat mengenai dasar dinding, bila mengucapkan sumpah ini akan menjadi seperti tanah itu (tanoh rurus) bila dia mengucapkan hal yang tidak benar.
NEXT POST : J, TIDEMAN SIMELOENGOEN : HET LAND DER TIMOER-BATAKS (III - PENDUDUK/MASYARAKAT-2)
Segala masukan dan koreksi sangat terbuka untuk mengedit artikel ini (open source) yang tentunya dengan data dan fakta serta sumber berita yang akurat sehingga apa yang menjadi koreksi bisa bermanfaat untuk menambah "celah-celah" yang hilang dari sejarah SIMALUNGUN pada umumnya, dan sejarah MARGA/BORU GIRSANG pada khususnya.
Terimakasih
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
0 komentar:
Posting Komentar
No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -