GIRSANG VISION : IDE ARTIKEL DAN DOKUMEN MILIK SAUDARA DORI ALAM GIRSANG.
11.Agama dan Adat
Mengenai agama dan adat suatu bangsa seperti Batak Simalungun, dapat ditulis dalam sebuah buku. Karena itu, di sini hanya beberapa informasi penting saja yang bisa disampaikan tentang hal ini. Beberapa ratus penduduk pribumi Simalungun memeluk Kristen dan beberapa ribu memeluk Islam (terutama di Bandar) sisanya animisme. Di kampung Aek Bontar dan Silou Bosar serta beberapa dusun lain di sekitar tempat ini dijumpai aliran Parmalim (pormalim) yang membentuk sekte tersendiri.
Meskipun agama animisme tidak memandang maha kuasa sebagai menguasai semuanya selain kekuasaan gaib, yang bisa memunculkan keinginan dan maksud baik: meskipun animisme tidak bisa mengatakan, “kehidupan saya adalah agamaku”, bagaimana pun juga agama merupakan suatu konsep yang merasuki kehidupan suatu kasus sangat penting ketika orang menjalankan kewajibannya dalam upaya mempercayai kekuatan gaib yang menguasai manusia (di sini orang berpikir tentang sesaji manusia) yang pasti berat untuk dilakukan dalam segala aspeknya. Manusia primitif melakukan tindakan ini karena mereka percaya mampu melakukannya yang tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa.
Agama lama suku Batak belum lenyap sama sekali pada mereka yang memeluk Kristen atau Islam.
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Si gale gale dans te Simanindo TMnr 20000328.jpg |
Pada pemakaman orang Kristen (sebagai contoh) orang juga mendengar tembakan senapan yang dilakukan untuk menakut-nakuti dan melindungi diri dari roh jahat. Roh jahat merupakan kekuatan yang sangat ditakuti tindakannya, yang pandangannya berasal dari kepercayaan animisme. Mereka dapat membawa wabah dan bencana. Dari situ agama dan kesehatan berkaitan erat, sehingga guru atau pemilik roh jahat juga memiliki sarana untuk mengusir semua dampak buruk itu. Guru atau pendeta meramu obat. Mantra-mantra yang diucapkannya atau diambil dari pustaha menyebutkan obat ini. Melalui berbagai upacara agama digunakan getah jeruk dan kunyit, air dan beberapa bunga bane-bane. Bila penyakit itu menimbulkan bahaya kematian, orang membawa parsilihi keluar untuk mengusir roh jahat sehingga dengan begitu tondi atau jiwa bisa berada di tubuhnya dan tidak diganggu oleh roh jahat.
Perlu disebutkan di sini, sebelum menyelidiki kasus ini lebih lanjut kisah penciptaan seperti yang disampaikan seorang guru terkenal dari Simalungun perlu disampaikan. Kisah ini jelas berasal dari Toba, tetapi saya bisa menyebutkan meskipun mungkin diterbitkan di tempat lain dalam bentuk yang berbeda. Ini dimulai dengan penggambaran alam dewa seperti yang ditunjukkan oleh orang Batak Simalungun. Dewa tertinggi adalah Mula Jadi Na Bolon, asal-usul dari segalanya. Dia memiliki saudari yakni Siboru Deak Parujar, yang telah menurunkan 4 anak atas perintah saudaranya: Tuan Sori Parumat, Nai Anting Malela dan anak kembar yang disebut Debata Porhas, yang satu adalah pria dan yang lain adalah wanita.
Debata Porhas memperoleh seorang putra bernama Naga Padoha ni Aji dan 3 putri yang bernama Si Tapi Sindar Mata Ni Ari, Nan Toding Madenggan Boru, dan Si Deang Nagurasta. Tuhan Sori Parumat pertama mengawini Si Tapi Sindar, tetapi pada awalnya pasangan ini tidak memperoleh keturunan. Setelah itu dia mengawini penengah tiga bersaudari, Nan Toding Madenggan Boru dan memiliki seorang anak yang bernama Si Asi Asi.
Lama setelah kelahiran Si Asi Asi, isteri pertama Tuan Sori Parumat memiliki 3 putra yakni Batara Guru, Soripada, dan Mangada Bulan. Ketiga putra ini meskipun lebih muda dari pada Si Asi Asi, diri mereka dianggap sebagai kakak karena lahir dari isteri pertama dari ayahnya. Tiga bersaudara itu kini berencana untuk membunuh Si Api Api, tetapi karena tidak bersenjata maka mereka meminta pakaian dan senjata kepada kakeknya, dewa tertinggi Mula Jadi Nabolon. Dewa ini memberi seekor kuda kepada Batara Guru yang disebut Si Gajkah Na Birong, sebuah pisau bernama Nanggar Jati dan sebuah payung emas. Soripada menerima seekor kuda bernama Si Nabara, sebuah tombak bernama Udang-Udang, sebuah pisau Solam Debata dan sebuah kain kuning disebut Sidahuning. Akhirnya, Mada Bulan menerima seekor kuda bernama Sibaganding (belang), sebuah pisau bernama Sidua Baba (tajam di kedua sisi), sebuah senapan Sitatingon dan seekor anjing Si Jarame Tunggal.
Ketika Tuan Sori Parumat melihat ketiga putranya menaiki kuda begitu kencang, dia sangat takut bila mereka akan menyerang Si Asi Asi dan membunuhnya. Atas peristiwa itu, dia melaporkan kepada ayahnya Mula Jadi Nabolon. Ayahnya mengetahui kekhawatiran ini dan menyuruh Tuan Sori Parumat untuk secepatnya menemui ibu mereka Si Boru Deak Parujar dan memintanya untuk menghentikan kasus itu. Sang ibu memanggil putrinya Nai Anting Malela dan menyuruhnya (ketika diketahui bahwa tiga bersaudara itu akan membunuh Si Asi Asi) untuk meletakkan senjatanya dan menutupi Si Asi Asi dengan kain di mata musuhnya. Dia berkata ada adat agar masalah yang muncul antarsaudara diselesakan oleh anggota keluarga wanita tertua.
Semua berlangsung dan Si Asi Asi tidak terbunuh. Namun, Si Boru Deak Parujar belum tenang. Karena itu dia menjumpai saudaranya Mula Jadi Nabolon dan meminta agar dia menyiapkan sebidang tanah untuk tinggal Si Asi Asi dan juga ingin menunjukkan yang tinggal di sana adalah kawan. Kini Mula Jadi Nabolon memanggil pembantunya Si Leang Leang Mandi Si Untung Untung Nabolon dan menyuruh dia membawa serta ke Samudra untuk membuat dataran di sana. Namun, ketika perintah itu dijalankan, dia selalu diikuti oleh seekor ikan besar bernama Pati Rangga Nabolon yang sejak awal berusaha mengganggunya. Kini dewa itu meminta Debata Porhas untuk membuat tanah baru, tetapi dia tidak mau. Dia memikirkan suatu rencana seperti yang terbukti kemudian. Dia mulai memberi Nai Anting Malela pakaian indah dengan benang emas, sebuah harfa dan kalung serta cincin emas dengan tujuan untuk membuatnya tampak cantik.
Dia berusaha mengikuti keinginan Naga Padoha Ni Aji yang berusaha keras memilikinya. Mula Jadi Nabolon (yang sudah sependapat) setuju ketika Naga Padoha Ni Aji juga memiliki pakaian seperti isterinya. Karena itu, Mula Jadi Nabolon memberinya cincin emas, mahkota besi, cincin, gelang dan kalung, ikat pinggang dan rantai kaki dari logam yang sama. Ketika semua dilakukan, Mula Jadi Nabolon menyuruhnya berdiri yang diikuti perintaahnya oleh Naga Padoha Ni Aji, tetapi dia tidak bisa bergerak lagi karena beratnya besi itu. Atas perintah dewa tertinggi, Leang Leang Mandi Si Untung Untung Nabolon membuangnya ke bawah. Dia juga ikut berangkat ke sana untuk membuat daratan, karena kini ada seseorang yang tidak mau melihat ikan Pati Rangga Nabolon.
Perintah itu berbunyi: “Mulailah meletakkan karyamu pada pundak Naga Padoha Ni Aji”. Setelah beberapa saat Mula Jadi Nabolon melihat bahwa tanah itu cukup luas dan dia menghentikan pekerjaannya. Saat itu, dia mengirim kepada Naga Padoha Ni Aji, yang percaya pada janjinya Nai Anting Malela untuk diperisteri, turun ke bawah setelah diberinya ikat pinggang dan perhiasan lain yang terbuat dari perak. Suamimu bernama Boras Pati Ni Tanoh dan kamu bernama Boru Sangiang Naga. Kalian berdua disebut Debata di Toru (dewa yang turun).
Setelah para dewa yang turun ini berlalu, Si Asi Asi turun ke dunia dengan mengendarai Naga Padoha Ni Aji, sementara putri Debata Porhas yakni Si Deang Nagurasta mengikutinya sebagai isteri. Peralatan emas, perak dan besi yang diberikan Naga Padoha Ni Aji dan Nai Anting Malela menjadi logam di bumi. Asi Asi dan isterinya tiba di Dolok Pusuk Buhit di tepi barat danau Toba di depan Pangururan tempat mereka mendirikan sebuah kampung bernama Sianjur dengan tiga kampung lain yakni: Sianjur Mulamula, Sianjur Mulajadi dan Sianjur Mulatompa. Mengenai nama Sianjur ini disampaikan bahwa nama ini berasal dari Jawa (Cianjur) dan selama kekuasaan kerajaan Pajajaran diberikan oleh kaum pendatang Hindu Jawa tempat mereka bermukim.
Sebagai pusaka Asi Asi membawa serta benih semua tanaman, bibit jantan dan betina semua ternak, sebuah kitab bernama Surat Tumbaga Holing yang memuat semua pengetahuan tentang masalah dunia. Si Asi Asi dan isterinya Si Deang Nagurasta terutama dihormati sebagai dewa menengah (Debata di tengah). Demikianlah gambaran kemunculan tiga jenis dewa, yakni atas, tengah dan bawah. Karya ini akan diteruskan yang menyangkut kehidupan di dunia.
Si Asi Asi dan Si Deang Nagurasta menurunkan dua putri kembar yakni Pane Nabolon dan Pane Saniang Naga Tunggal. Akan tetapi, segera setelah itu kembali muncul putri kembar yakni Pane Raja dan Pane Si Debata Turun. Si Asi Asi memberi masing-masing putrinya sebuah tempat tinggal di empat arah mata angin. Pane Nabolon tinggal di Timur (Purba). Ayahnya memberinya barang pusaka seperti seekor kerbau, sebuah rantai kalung, sebuah pohon pisang, sebuah cincin,dan seikat bunga. Kemudian, ayahnya mengiriminya seorang pasangan yang bisa dikenalinya ketika dia menyebut berbagai benda ini. Pasangannya menjadi penguasa arah angin.
Dengan cara yang sama Pane Saniang Naga Tunggal tiba di selatan (Dangsina). Dia menerima sebuah kain Suri Suri Naganjang, sebuah pisau gading, seekor babi bernama Si Mata Ni Ari (dengan mata sebesar mata uang) disertai janji bahwa pasangannya akan tiba. Pane Raja tinggal di barat (Pastima), sementara dia menerima segenggam batu arang, sebuah palu, sebuah Neptang dan sebatang besi sebagai warisan. Akhirnya, Pane Si Debata Turun menemukan tempatnya di utara. Dia menerima sebuah kain (tangki-tangki) dengan pinggiran merah dan seekor ayam, Jarumbosi berwarna putih dan bersayap hitam. Dia juga harus menanti kedatangan pasangannya.
Setelah beberapa saat tinggal di Sianjur Mula Mula, Si Asi Asi dan isterinya kembali melahirkan dua putra. Kini semua keturunannya adalah pria. Ketika keempat putranya tumbuh dewasa, ayahnya memberitahukan mereka bahwa pasangan mereka di masa mendatang telah menunggu di empat arah mata angin dan masing-masing telah memiliki pusaka. Mereka berangkat ke sana dan masing-masing menyampaikan benda apa yang dimiliki para dewi yang berada di sana. Nama-nama empat debata pria ini tidak diketahui, karena tidak disebutkan oleh penulis. Setiap pasangan menurunkan seorang putra dan putri. Pane Nabolon (yang tinggal di timur) menurunkan seorang putra Pane Si Deak Uraharip dan seorang putri Datu Onggang Sabungan.
Panei Si Dean Panolam dan Namora Parjudi Talu dilahirkan di selatan. Pane Si Babiat Manoro dan Sahala Si Baso Namora Parjujungan dilahirkan di barat, dan Pane Datu Tala di Baumi dan Sahala Panagko Namalo Manjuluri di utara. Ini tidak berlangsung lama, karena setiap putra dari 4 pasangan itu menikah dengan putri tetangganya. Misalnya, Pane Si Deak Uraharik dari timur menyunting putri Pane Saniang Naga Tunggal di selatan, yakni Na Mora Parjujungan. Pasangan muda ini tinggal di antara orangtuanya, sehingga disebut arah tenggara (anggoni), kemudian di barat daya (nariti), pasangan ketiga di barat laut (mangabia), dan terakhir di timur laut (irisanna). Mereka masing-masing menerima kembali pusakanya.
Di tengah, tempat Debata Si Asi Asi turun, seorang putra dilahirkan yakni Tuan Sori Mangaraja. Ketika tumbuh dewasa, ayahnya melakukan semadi dengan menghadap Mula Jadi Nabolon untuk meminta isteri bagi putranya. Doanya didengar dan Debata Porhas menurunkan seorang putri yang siap dinikahi oleh Tuan Sori Mangaraja. Dari pasangan ini diturunkan bangsa Batak. Bangsa-bangsa lain di dunia berasal dari Pane Pane di delapan arah mata angin (desa nauwalu).
Sebagai kelanjutan kisah penciptaan ini, kini disajikan legenda asal usul penyihiran. Tuan Sori Mangaraja menurunkan dua putra, yakni Guru Sodumpangon dan Ompu Raja Ijolma, dan seorang putri bernama Tuan Sori Madenggan Boru. Sementara itu, Pane Si Debata Turun dari utara memperoleh banyak anak, dengan si bungsu bernama Tuan Sori Madenggan Doli. Dia berangkat ke Sianjur Mula Mula tempat Debata Asi Asi dan isterinya Si Deang Nagurasta tinggal, tetapi mereka tidak lagi tinggal di sana karena telah kembali ke Dolok Pusuk Buhit. Mereka meninggal di sana dan kini makamnya dihormati (sombaon atau keramat). Ini merupakan asal mula penghormatan makam suci orang Batak.
Tuan Sori Madenggan Doli di Si Anjur Mula Mula mengawini Tuan Sori Madenggan Boru, putri Tuan Sori Mangaraja, dengan syarat yang diajukan oleh ayahnya bahwa dia akan tinggal di Sianjur. Pasangan ini menurunkan seorang anak yang meninggal setelah lahir, yang terjadi berkali-kali. Akhirnya, dia melhirkan putra kembar yakni Si Dari Mangambat dan Si Tapi Nauasan. Kedua anak ini bersama-sama dididik dengan cara berbeda, sehingga orang tuanya khawatir bahwa mereka akan saling mencintai, meskipun perkawinan itu diizinkan di kalangan para dewa. Mereka tidak dapat memutuskannya.
Kini apa yang terjadi terutama sesuai dengan kisah yang disampaikan oleh Meerwaldt tentang kemunculan penyihiran yang bisa disampaikan secara singkat bahwa sang ayah mendesak putranya untuk turun ke bumi untuk mencari seorang isteri. Namun, dia tidak bisa menemukan seseorang yang kecantikan dan kesopanannya sama seperti saudarinya. Karena itu, dia kembali dan lari bersamanya ke hutan. Ketika mereka tiba di sebuah pohon buah di Dolok Pusuk Buhit (Piupiu Tanggulon, Nausorham Nabolon, atau juga Tadatada Harangan), mereka memetik buah dan memakannya. Mereka tumbuh besar seperti batang pohon itu. Akhirnya, mereka ditemukan oleh ayahnya yang mencarinya di tempat ini. Ayahnya meminta bantuan dari guru Sodumpangin, putra tertua Tuan Sori Mangaraja yang bersama seekor kerbau mendekati pohon itu untuk menumbangkannya. Akan tetapi kerbau itu malahan lengket pada pohon. Kini Guru Sodumpangon membawa seekor anjing ke pohon itu agar menggigit batangnya, tetapi anjing itu juga lengket di sana. Kemudian masih ada seekor katak (Si Bagur Tapongan) yang juga tampak ketika akhirnya mencoba mengambil para pemuda dari pohon itu.
Pada saat ini Datu Tala di Baumi (timurlaut) dan isterinya datu Onggang sabungan melihat kitab sihirnya bahwa di Huta Si Anjur Mula Mula terjadi kesedihan sehingga mereka berangkat ke sana. Di tempat ini orangtua Si Dari Mangambat dan Si Tapi Nauwasan meratapi nasib anak-anak dan saudaranya. Namun Datu Tala di Baumi berkata kepada mereka: “jangan sedih karena aku akan menjaga agar suatu hari kalian bisa melihat anak-anakmu”. Dia menebang pohon itu dan membuat dua patung kayu sesuai model yang ditunjukkan pohon, setiap patung dilihat dari sisi berbeda. Ia meletakkan patung ini di atas pintu depan dan pintu belakang rumahnya sehingga dia menjalankan apa yang dijanjikan.
Agar supaya ras ini tidak punah, karena kedua anak dari Tuan Sori Madenggan Doli tidak lagi bisa dihidupkan, Pane Datu Tala di Baumi menikahi salah seorang putri dari 0mpu Raja Ijolma. Dia menulis dalam pustaha sejarah perpecahan dan pertumbuhan mereka pada sebuah pohon dan menyebut mereka Si Aji Donda Hatahutan dan Si Boru Sopak Panaluan Jati. Sementara itu, pada patung kayu dipahatkan nama Tunggal Panaluan (ilmu tenung Batak; Meerwaldt dalam gambarannya tentang ilmu sihir Batak memberikan suatu pernyataan jelas tentang kedalaman makna peralatan yang menurut laporannya hanya digunakan dalam perang dan doa-doa meminta hujan di Toba, Silindung dan daerah-daerah sekitarnya. Berdasarkan maknanya, nama-nama dua orang ini, Si Aji Donda Hatahutan dan Si Tapi Raja Nauasan, diduga pertama-tama perwujudan dari petir, yang kedua muncul dari hutan. Profesor Van 0phuysen menarik kesimpulan lain bahwa dalam mitos ini digambarkan perkawinan antara langit dan bumi).
0mpu Raja Ijolma tetap tinggal di Sianjur, menurunkan seorang putra 0mpu Raja Manisia, yang kembali menurunkan seorang putra bernama 0mpu Raja Batak sebagai leluhur orang Batak (Jolma berarti seperti manisia atau manusia). Jelas tertulis dalam pustaha dengan cara apa orang menangani ilmu gaib ini dan harus memberinya makan (pujaan atau sesaji). Sepanjang pagi sampai pukul 12 siang gonrang harus dipukul. Tanah harus disapu dan diairi dengan tiga jenis tepung ditaburkan bersama Bindu Matogu.
Yang pertama jenisnya putih, yang kedua hitam dan yang ketiga merah. Garis dalam gambar ini menunjukan pinggiran tiga warna (putih, hitam dan merah). Di satu sisi dengan bahan yang sama digambar sebuah tangga, di sampingnya dua bintang dengan lima ujung (tumpak sala). Juga terdapat langgatan, bangunan segitiga dengan sebuah puncak yang ditutupi daun aren. Di bagian kaki, ditaruh seekor ayam putih dan kelabu (manuk lahi bini = seekor jago dan ayam betina). Di atas langgatan berbagai jenis makanan disajikan seperti nasi kuning, telor masak, sirih (demban tiar), air, mentimun, nangka, pisang dan sagu.
Di tengah Bindu Matogu sebuah telur dipendam yang kemudian ketika tunggal panaluan ditancapkan di tanah, harus digali kembali. Dengan cara ini, dengan penggalian telur itu, orang bisa melihat apakah rencana yang dikehendaki berhasil atau tidak. Tentang bubur sesaji yang memberi tukang tenung kekuatan untuk melawan roh-roh jahat, akan dibahas kemudian.
0rang Batak memiliki keterangan yang bisa diterima sebagai kenyataan bahwa pada siang hari tidak ada bintang dan baru muncul pada malam hari. 0rang hanya mendengar kisah Pangulu Si Atasan (Tiga Dolok-Tanah Jawa). Matahari dan bulan merupakan penghuni kampung menurut kata orang, tetapi matahari bersinar sepanjang hari dengan semua anaknya; sementara bulan bersama anak-anaknya menyebarkan cahaya yang jauh lebih redup. Bulan kini memikirkan taktik untuk melepaskan diri dari anak-anak matahari yang merintanginya dan untuk itu dia mengunyah banyak sirih sehingga bibirnya berwarna merah seperti darah. Dengan memamerkan hal itu, dia berangkat menuju matahari yang tampak sangat indah dan memiliki keinginan yang sama. Bulan berkata,”Untuk itu saya telah menaruh semua anak kita dalam sebuah bambu dan memakan mereka yang mengakibatkan bibirnya seluruhnya menjadi merah”. Matahari segera mengikuti contoh itu. Juga bibirnya menjadi merah. Akan tetapi, keesokan harinya di pagi hari, ketika matahari melihat dan mengetahui bulan bersama semua anaknya, apa yang terjadi adalah dia begitu marah sehingga bulan melarikan diri untuk menghindari pukulan matahari. Bulan dan anak-anaknya segera menghindar dan orang kini masih percaya akan pengejaran di angkasa itu, yaitu matahari kadang mendekat dan kemudian jauh kembali dari bulan. Namun, matahari selalu tidak bersama anak-anaknya, sementara keluarga bulan masih sering tampak bagi setiap orang di malam hari.
Para dewa (debata) termasuk yang diperlakukan demikian dan yang akhirnya membuat manusia lahir dan menciptakan bumi, kini tidak lagi memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Batak. Setelah menciptakan semua yang ada, mereka meninggalkan manusia dengan ketenangannya. Karena itu pemujaan tidak ditujukan untuk menghormatinya namun hanya merupakan usaha untuk mengendalikan kekuatan dan kekuasaan yang kini memiliki pengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari yang biasanya dari sisi yang kurang baik. Hal ini mendorong mereka agar tidak menimbulkan bencana pada manusia. 0rang harus memenuhi kewajibannya untuk memberi mereka apapun yang dimintanya, agar mereka tidak menimbulkan keburukan, dan mereka cukup puas dengan apa yang disajikannya.
Sebelum berkomentar tentang roh-roh ini yang disebut dengan istilah begu, pertama-tama harus dijelaskan apa manusia itu sebenarnya. Dalam pandangan orang Batak tubuh ini hanya merupakan tubuh, tempat tinggal manusia sejati. Jiwa (dengan menggunakan istilah ini) atau lebih tepatnya berbagai jiwa disebut dengan tondi. Jika roh kehidupan untuk sementara meninggalkan tubuh, seperti dalam mimpi atau sakit, maka ini bukan darurat, setidaknya tidak perlu demikian; Namun, jika dia meninggalkan tubuh untuk selamanya, maka hal itu berarti kematian. Begitu juga seperti yang kita katakan bahwa roh kehidupan tumbuh, orang Batak menduga bahwa kepergian tondi dari tubuh merupakan kematian (menurut Joustra kematian sejati disebabkan oleh perginya nafas atau hosa).
Saya berbicara tentang roh seperti ceramah, terutama karena (meskipun ada bantahan ketika Dr. Hagen menyebutkan bahwa ada tiga tondi) suku Batak Timur mengenal berbagai macam tondi, kadang-kadang tiga (seperti yang dikatakan orang dari Simalungun Barat) atau kadang-kadang tujuh seperti yang kebanyakan dikatakan orang. Bahkan kadang-kadang dikatakan sebelas atau tigabelas seperti yang disebutkan seorang tua di Jandi Mauli (Raya).
Tondi-tondi berikut ini dikenal orang:
Beberapa orang menduga bahwa pada setiap manusia tondi dan tujuh yang pertama hidup bersama. Tondi Si Manduraha umumnya disebut yang paling merugikan dan berbahaya. Ini adalah tondi yang untuk sementara tinggal di dalam tubuh atau di dekatnya yang menyebabkan nasib sial.
Yang lain kembali menduga bahwa tidak semua dari tujuh tondi ini tinggal di tubuh, tetapi nasib manusia ditentukan oleh sejenis tondi yang menghuninya. Tondi seorang raja akan berbeda dengan tondi orang miskin. Bagaimana tondi ini berada, orang tidak mengetahuinya, tetapi selalu kembali terdengar bahwa (ketika seseorang hidup melalui suatu nasib sial) tondi Si Manduraha pasti memiloiki peran.
Kembali orang lain menyatakan bahwa setiap orang memuat tujuh tondi itu, namun hanya satu yang tinggal di tubuhnya. Jika ada suatu tondi yang baik pada dirinya, maka nasibnya selama ini akan baik; jika buruk, maka dia akan mengalami kebalikannya. 0rang kaya bisa menjadi miskin dan orang miskin bisa menjadi kaya. Setiap orang yang mengalami malapetaka besar pasti dijiwai oleh tondi yang sama (Si Manduraha). Tentang tondi Si Arahara beberapa warga yakin bahwa dia menyertai orang dan terus maju bila orang melakukan perjalanan.
Tondi Si Iringiring mengikuti manusia, sehingga dia menurut kepercayaaan mereka yang merasa kenal dengan tondi ini, berada pada jalan di antara keduanya. Tondi Si Tandok tetap tinggal di tempat orang itu berada. Si Jungjung berada di atas manusia. Dengan kelahiran seseorang, muncul tondi Si Alam Dayang, Si Alam Sahejer dan Si Alam Humila, tetapi apa tugas mereka lebih lanjut dan apa maksud Si Rattiman dan Si Guliman, tidak dijelaskan. Tondi Si Pamatang sama besar dengan tubuh manusia. Ini adalah tondi yang bisa dibawa pergi dalam mimpi atau ke tempat yang jauh letaknya.
Si Pabongot bertugas menyatukan berbagai tondi. Ketika salah satu tondi tertinggal dalam hutan, Si Pabongot akan mengambilnya. Tentang Si Talimbubu orang tidak menyebutkannya.Namun, Si Arap Mulajadi menentukan nasib manusia. Hal ini merupakan pengikatan manusia dengan roh dan tampaknya memiliki pengaruh penting dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya di sini diberikan penjelasan seperti yang disampaikan guru Sibrahim Purba. Menurut dia manusia memiliki sebelas tondi:
Pertama dikenal Buwang Jaka (membuang waktu, yakni kematian), yang diterapkan pada para raja ketika sakit parah. Di sini bukan hanya begu yang dikejar, tetapi juga dimintakan berkah pasien bila telah disembuhkan. Parsilihi adalah cara kedua. Cara ini dilakukan untuk penyakit berat. Orang membawa keluar sebatang pisang yang dipotong dalam bentuk manusia, diletakkan beberapa potongan seperti yang dituliskan lebih lanjut dalam kisah tentang asal-usul kebiasaan ini.
Bah Bah dimaksudkan sebagai membawa makanan dan bunga ke sungai, sebagai sesaji kepada begu untuk menyembuhkan penyakit, ketika seseorang ketakutan di samping nasib sial yang melandanya. Tentang kedua kebiasaan ini orang berusaha mengisahkannya dalam sebuah legenda tentang asal-usulnya.
Buwang Jaka
Pada masa lalu hidup seseorang bernama Tuhan Bolon Sigiling, yang pada suatu hari menjanjikan mengawinkan putrinya dengan penduduk kampungnya Tuhan Sumaliat, dengan syarat apabila dalam beberapa hari dia bisa membangun sebuah kerangka rumah. Kini Tuhan Sumaliat mendatangi Guru Gumbot Nabolon untuk bertanya kepadanya apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Pertama-tama, dia harus memetik beberapa tangkai bunga, agar dia bisa berdoa. Segera setelah semua ini selesai dilakukan, pada suatu sebuah kerangka rumah akan berdiri. Tuhan Bolon Sigiling pada saat itu menyuruh warga untuk menutup atap dengan ijuk, sehingga Tuhan Bolon Sigiling memberikan sebuah kapak emas kepada Tuhan Sumaliat yang menikah dengan putrinya agar dapat mengambil seikat ijuk dari hutan. Namun, dalam pekerjaan itu kapak emas tersebut jatuh ke dunia bawah yang menimpa kepala Debata di Toru (Naga Padoha ni Aji) dan tetap berada di sana. Tuhan Sumaliat mengikuti benda yang jatuh itu dan saat dia melihat Debata di Toru duduk dengan kapak di kepalanya, dia mengatakan bahwa para dewa dari alam bawah tampak sama sekali berbeda dengan manusia. Mereka memiliki perut buncit.
Debata di Toru meminta Tuhan Sumaliat membantunya, dengan menyuruh warga di alam bawah untuk mengumpulkan banyak padi yang dibakarnya di pada sebatang batang bambu. Ketika api menyala, dia mengambil kapak dari kepala Debata di Toru di mana dia (yang merasa senang karena tidak merasa sakit lagi) mengawinkan Tuhan Sumaliat dengan putrinya Panakboru Moraini.
Namun Tuhan Sumaliat akan kembali ke kampungnya dan untuk itu dia membuat tangga pada celah tersebut untuk digunakannya. Setiap hari satu potong tangga dipasang sampai dia menyelesaikan seluruh tangga itu dalam tiga tahun. Dia melakukannya tanpa sepengetahuan Debata di Toru dan melaporkan bahwa dia pergi untuk berburu di hutan. Dengan selesainya pekerjaan itu, dia memanjat dengan istrinya ke atas.
Istrinya tidak memiliki harapan pasti dan atas pertanyaan suaminya apakah dia tidak merasa keberatan ikut pergi ke kampungnya, dia menjawab, ”Silanjuhang, Sakkisipilit, Silanglangkabungan”. Karena kata-kata ini tidak lain adalah nama-nama tiga semak, Tuhan Sumaliat menanam tanaman ini di sekitar lobang, tempat di mana mereka muncul.
Saat itu Tuhan Sumaliat ketika tiba di tempat mertuanya Tuhan Bolon Sigiling ditanya dari mana perginya begitu lama. Menantunya menyampaikan laporan terpercaya tentang peristiwa itu kepadanya. Ketika mendengar bahwa dia tinggal di alam bawah, dan Panakboru Moraini telah duduk dengan perut buncit, dia memutuskan sebelumnya untuk menghadap Guru Tiktik Pahulada dan Jolma So Begu (setengah manusia setengah begu), Dohat Raja ni Baragi (baragi adalah sejenis burung), dan Si Jang Parurajaran untuk meminta nasehat. Mereka mengadakan penyelidikan atas lobang itu, dari mana Tuhan Sumaliat kembali muncul dan memutuskan bahwa istri Tuhan Sumaliat bisa tetap tinggal di di sana, dan di sini wajib dipelihara oleh Tuhan Bolon Sigiling.
Tetapi setelah beberapa saat, dia mengabaikan kewajiban ini yang membuat Tuhan Sumaliat sangat marah. Jadi tampak bahwa isterinya Panakboru Moraini menerapkan ilmu untuk membuat Tuhan Nabolon Sigiling sakit. Atas pertanyaannya kepada menantunya, apakah tidak ada obat untuk penyakit ini, dia menerima jawaban bahwa sebaiknya disiapkan sebuah batang pisang yang dibentuk dalam wujud manusia. Pada saat itu, seekor anjing dan ayam jago dipotong, 6 lembar daun sirih, sebuah bunga, 7 ekor ikan bakar, dan beras semuanya diletakkan pada batang ini dan ditutup dengan kain putih. Ini disiapkan dan selama satu malam diletakkan Panakboru Moraini. Sejak itu Tuhan Bolon Sigiling sembuh. Demikianlah asal usul kebiasaan ini ketika raja sakit keras.
Perlu disebutkan di sini, sebelum menyelidiki kasus ini lebih lanjut kisah penciptaan seperti yang disampaikan seorang guru terkenal dari Simalungun perlu disampaikan. Kisah ini jelas berasal dari Toba, tetapi saya bisa menyebutkan meskipun mungkin diterbitkan di tempat lain dalam bentuk yang berbeda. Ini dimulai dengan penggambaran alam dewa seperti yang ditunjukkan oleh orang Batak Simalungun. Dewa tertinggi adalah Mula Jadi Na Bolon, asal-usul dari segalanya. Dia memiliki saudari yakni Siboru Deak Parujar, yang telah menurunkan 4 anak atas perintah saudaranya: Tuan Sori Parumat, Nai Anting Malela dan anak kembar yang disebut Debata Porhas, yang satu adalah pria dan yang lain adalah wanita.
Debata Porhas memperoleh seorang putra bernama Naga Padoha ni Aji dan 3 putri yang bernama Si Tapi Sindar Mata Ni Ari, Nan Toding Madenggan Boru, dan Si Deang Nagurasta. Tuhan Sori Parumat pertama mengawini Si Tapi Sindar, tetapi pada awalnya pasangan ini tidak memperoleh keturunan. Setelah itu dia mengawini penengah tiga bersaudari, Nan Toding Madenggan Boru dan memiliki seorang anak yang bernama Si Asi Asi.
Lama setelah kelahiran Si Asi Asi, isteri pertama Tuan Sori Parumat memiliki 3 putra yakni Batara Guru, Soripada, dan Mangada Bulan. Ketiga putra ini meskipun lebih muda dari pada Si Asi Asi, diri mereka dianggap sebagai kakak karena lahir dari isteri pertama dari ayahnya. Tiga bersaudara itu kini berencana untuk membunuh Si Api Api, tetapi karena tidak bersenjata maka mereka meminta pakaian dan senjata kepada kakeknya, dewa tertinggi Mula Jadi Nabolon. Dewa ini memberi seekor kuda kepada Batara Guru yang disebut Si Gajkah Na Birong, sebuah pisau bernama Nanggar Jati dan sebuah payung emas. Soripada menerima seekor kuda bernama Si Nabara, sebuah tombak bernama Udang-Udang, sebuah pisau Solam Debata dan sebuah kain kuning disebut Sidahuning. Akhirnya, Mada Bulan menerima seekor kuda bernama Sibaganding (belang), sebuah pisau bernama Sidua Baba (tajam di kedua sisi), sebuah senapan Sitatingon dan seekor anjing Si Jarame Tunggal.
Ketika Tuan Sori Parumat melihat ketiga putranya menaiki kuda begitu kencang, dia sangat takut bila mereka akan menyerang Si Asi Asi dan membunuhnya. Atas peristiwa itu, dia melaporkan kepada ayahnya Mula Jadi Nabolon. Ayahnya mengetahui kekhawatiran ini dan menyuruh Tuan Sori Parumat untuk secepatnya menemui ibu mereka Si Boru Deak Parujar dan memintanya untuk menghentikan kasus itu. Sang ibu memanggil putrinya Nai Anting Malela dan menyuruhnya (ketika diketahui bahwa tiga bersaudara itu akan membunuh Si Asi Asi) untuk meletakkan senjatanya dan menutupi Si Asi Asi dengan kain di mata musuhnya. Dia berkata ada adat agar masalah yang muncul antarsaudara diselesakan oleh anggota keluarga wanita tertua.
Semua berlangsung dan Si Asi Asi tidak terbunuh. Namun, Si Boru Deak Parujar belum tenang. Karena itu dia menjumpai saudaranya Mula Jadi Nabolon dan meminta agar dia menyiapkan sebidang tanah untuk tinggal Si Asi Asi dan juga ingin menunjukkan yang tinggal di sana adalah kawan. Kini Mula Jadi Nabolon memanggil pembantunya Si Leang Leang Mandi Si Untung Untung Nabolon dan menyuruh dia membawa serta ke Samudra untuk membuat dataran di sana. Namun, ketika perintah itu dijalankan, dia selalu diikuti oleh seekor ikan besar bernama Pati Rangga Nabolon yang sejak awal berusaha mengganggunya. Kini dewa itu meminta Debata Porhas untuk membuat tanah baru, tetapi dia tidak mau. Dia memikirkan suatu rencana seperti yang terbukti kemudian. Dia mulai memberi Nai Anting Malela pakaian indah dengan benang emas, sebuah harfa dan kalung serta cincin emas dengan tujuan untuk membuatnya tampak cantik.
Dia berusaha mengikuti keinginan Naga Padoha Ni Aji yang berusaha keras memilikinya. Mula Jadi Nabolon (yang sudah sependapat) setuju ketika Naga Padoha Ni Aji juga memiliki pakaian seperti isterinya. Karena itu, Mula Jadi Nabolon memberinya cincin emas, mahkota besi, cincin, gelang dan kalung, ikat pinggang dan rantai kaki dari logam yang sama. Ketika semua dilakukan, Mula Jadi Nabolon menyuruhnya berdiri yang diikuti perintaahnya oleh Naga Padoha Ni Aji, tetapi dia tidak bisa bergerak lagi karena beratnya besi itu. Atas perintah dewa tertinggi, Leang Leang Mandi Si Untung Untung Nabolon membuangnya ke bawah. Dia juga ikut berangkat ke sana untuk membuat daratan, karena kini ada seseorang yang tidak mau melihat ikan Pati Rangga Nabolon.
Perintah itu berbunyi: “Mulailah meletakkan karyamu pada pundak Naga Padoha Ni Aji”. Setelah beberapa saat Mula Jadi Nabolon melihat bahwa tanah itu cukup luas dan dia menghentikan pekerjaannya. Saat itu, dia mengirim kepada Naga Padoha Ni Aji, yang percaya pada janjinya Nai Anting Malela untuk diperisteri, turun ke bawah setelah diberinya ikat pinggang dan perhiasan lain yang terbuat dari perak. Suamimu bernama Boras Pati Ni Tanoh dan kamu bernama Boru Sangiang Naga. Kalian berdua disebut Debata di Toru (dewa yang turun).
Setelah para dewa yang turun ini berlalu, Si Asi Asi turun ke dunia dengan mengendarai Naga Padoha Ni Aji, sementara putri Debata Porhas yakni Si Deang Nagurasta mengikutinya sebagai isteri. Peralatan emas, perak dan besi yang diberikan Naga Padoha Ni Aji dan Nai Anting Malela menjadi logam di bumi. Asi Asi dan isterinya tiba di Dolok Pusuk Buhit di tepi barat danau Toba di depan Pangururan tempat mereka mendirikan sebuah kampung bernama Sianjur dengan tiga kampung lain yakni: Sianjur Mulamula, Sianjur Mulajadi dan Sianjur Mulatompa. Mengenai nama Sianjur ini disampaikan bahwa nama ini berasal dari Jawa (Cianjur) dan selama kekuasaan kerajaan Pajajaran diberikan oleh kaum pendatang Hindu Jawa tempat mereka bermukim.
Juga nama untuk pulau Sumatra pulau Porsa, atau Perca diberikan oleh orang Hindu Jawa untuk daerah ini, karena mereka yang tinggal di sini mengatakan: ”di sini kami tinggal, dan di tanah inilah kami akan mati (Porsa atau Morsa merupakan sebutan dari kata Sansekerta Martiya yang berarti mati. “Sumatra” berarti tanah kematian).
Sebagai pusaka Asi Asi membawa serta benih semua tanaman, bibit jantan dan betina semua ternak, sebuah kitab bernama Surat Tumbaga Holing yang memuat semua pengetahuan tentang masalah dunia. Si Asi Asi dan isterinya Si Deang Nagurasta terutama dihormati sebagai dewa menengah (Debata di tengah). Demikianlah gambaran kemunculan tiga jenis dewa, yakni atas, tengah dan bawah. Karya ini akan diteruskan yang menyangkut kehidupan di dunia.
Si Asi Asi dan Si Deang Nagurasta menurunkan dua putri kembar yakni Pane Nabolon dan Pane Saniang Naga Tunggal. Akan tetapi, segera setelah itu kembali muncul putri kembar yakni Pane Raja dan Pane Si Debata Turun. Si Asi Asi memberi masing-masing putrinya sebuah tempat tinggal di empat arah mata angin. Pane Nabolon tinggal di Timur (Purba). Ayahnya memberinya barang pusaka seperti seekor kerbau, sebuah rantai kalung, sebuah pohon pisang, sebuah cincin,dan seikat bunga. Kemudian, ayahnya mengiriminya seorang pasangan yang bisa dikenalinya ketika dia menyebut berbagai benda ini. Pasangannya menjadi penguasa arah angin.
Dengan cara yang sama Pane Saniang Naga Tunggal tiba di selatan (Dangsina). Dia menerima sebuah kain Suri Suri Naganjang, sebuah pisau gading, seekor babi bernama Si Mata Ni Ari (dengan mata sebesar mata uang) disertai janji bahwa pasangannya akan tiba. Pane Raja tinggal di barat (Pastima), sementara dia menerima segenggam batu arang, sebuah palu, sebuah Neptang dan sebatang besi sebagai warisan. Akhirnya, Pane Si Debata Turun menemukan tempatnya di utara. Dia menerima sebuah kain (tangki-tangki) dengan pinggiran merah dan seekor ayam, Jarumbosi berwarna putih dan bersayap hitam. Dia juga harus menanti kedatangan pasangannya.
Setelah beberapa saat tinggal di Sianjur Mula Mula, Si Asi Asi dan isterinya kembali melahirkan dua putra. Kini semua keturunannya adalah pria. Ketika keempat putranya tumbuh dewasa, ayahnya memberitahukan mereka bahwa pasangan mereka di masa mendatang telah menunggu di empat arah mata angin dan masing-masing telah memiliki pusaka. Mereka berangkat ke sana dan masing-masing menyampaikan benda apa yang dimiliki para dewi yang berada di sana. Nama-nama empat debata pria ini tidak diketahui, karena tidak disebutkan oleh penulis. Setiap pasangan menurunkan seorang putra dan putri. Pane Nabolon (yang tinggal di timur) menurunkan seorang putra Pane Si Deak Uraharip dan seorang putri Datu Onggang Sabungan.
Panei Si Dean Panolam dan Namora Parjudi Talu dilahirkan di selatan. Pane Si Babiat Manoro dan Sahala Si Baso Namora Parjujungan dilahirkan di barat, dan Pane Datu Tala di Baumi dan Sahala Panagko Namalo Manjuluri di utara. Ini tidak berlangsung lama, karena setiap putra dari 4 pasangan itu menikah dengan putri tetangganya. Misalnya, Pane Si Deak Uraharik dari timur menyunting putri Pane Saniang Naga Tunggal di selatan, yakni Na Mora Parjujungan. Pasangan muda ini tinggal di antara orangtuanya, sehingga disebut arah tenggara (anggoni), kemudian di barat daya (nariti), pasangan ketiga di barat laut (mangabia), dan terakhir di timur laut (irisanna). Mereka masing-masing menerima kembali pusakanya.
Di tengah, tempat Debata Si Asi Asi turun, seorang putra dilahirkan yakni Tuan Sori Mangaraja. Ketika tumbuh dewasa, ayahnya melakukan semadi dengan menghadap Mula Jadi Nabolon untuk meminta isteri bagi putranya. Doanya didengar dan Debata Porhas menurunkan seorang putri yang siap dinikahi oleh Tuan Sori Mangaraja. Dari pasangan ini diturunkan bangsa Batak. Bangsa-bangsa lain di dunia berasal dari Pane Pane di delapan arah mata angin (desa nauwalu).
Sebagai kelanjutan kisah penciptaan ini, kini disajikan legenda asal usul penyihiran. Tuan Sori Mangaraja menurunkan dua putra, yakni Guru Sodumpangon dan Ompu Raja Ijolma, dan seorang putri bernama Tuan Sori Madenggan Boru. Sementara itu, Pane Si Debata Turun dari utara memperoleh banyak anak, dengan si bungsu bernama Tuan Sori Madenggan Doli. Dia berangkat ke Sianjur Mula Mula tempat Debata Asi Asi dan isterinya Si Deang Nagurasta tinggal, tetapi mereka tidak lagi tinggal di sana karena telah kembali ke Dolok Pusuk Buhit. Mereka meninggal di sana dan kini makamnya dihormati (sombaon atau keramat). Ini merupakan asal mula penghormatan makam suci orang Batak.
Tuan Sori Madenggan Doli di Si Anjur Mula Mula mengawini Tuan Sori Madenggan Boru, putri Tuan Sori Mangaraja, dengan syarat yang diajukan oleh ayahnya bahwa dia akan tinggal di Sianjur. Pasangan ini menurunkan seorang anak yang meninggal setelah lahir, yang terjadi berkali-kali. Akhirnya, dia melhirkan putra kembar yakni Si Dari Mangambat dan Si Tapi Nauasan. Kedua anak ini bersama-sama dididik dengan cara berbeda, sehingga orang tuanya khawatir bahwa mereka akan saling mencintai, meskipun perkawinan itu diizinkan di kalangan para dewa. Mereka tidak dapat memutuskannya.
Kini apa yang terjadi terutama sesuai dengan kisah yang disampaikan oleh Meerwaldt tentang kemunculan penyihiran yang bisa disampaikan secara singkat bahwa sang ayah mendesak putranya untuk turun ke bumi untuk mencari seorang isteri. Namun, dia tidak bisa menemukan seseorang yang kecantikan dan kesopanannya sama seperti saudarinya. Karena itu, dia kembali dan lari bersamanya ke hutan. Ketika mereka tiba di sebuah pohon buah di Dolok Pusuk Buhit (Piupiu Tanggulon, Nausorham Nabolon, atau juga Tadatada Harangan), mereka memetik buah dan memakannya. Mereka tumbuh besar seperti batang pohon itu. Akhirnya, mereka ditemukan oleh ayahnya yang mencarinya di tempat ini. Ayahnya meminta bantuan dari guru Sodumpangin, putra tertua Tuan Sori Mangaraja yang bersama seekor kerbau mendekati pohon itu untuk menumbangkannya. Akan tetapi kerbau itu malahan lengket pada pohon. Kini Guru Sodumpangon membawa seekor anjing ke pohon itu agar menggigit batangnya, tetapi anjing itu juga lengket di sana. Kemudian masih ada seekor katak (Si Bagur Tapongan) yang juga tampak ketika akhirnya mencoba mengambil para pemuda dari pohon itu.
Pada saat ini Datu Tala di Baumi (timurlaut) dan isterinya datu Onggang sabungan melihat kitab sihirnya bahwa di Huta Si Anjur Mula Mula terjadi kesedihan sehingga mereka berangkat ke sana. Di tempat ini orangtua Si Dari Mangambat dan Si Tapi Nauwasan meratapi nasib anak-anak dan saudaranya. Namun Datu Tala di Baumi berkata kepada mereka: “jangan sedih karena aku akan menjaga agar suatu hari kalian bisa melihat anak-anakmu”. Dia menebang pohon itu dan membuat dua patung kayu sesuai model yang ditunjukkan pohon, setiap patung dilihat dari sisi berbeda. Ia meletakkan patung ini di atas pintu depan dan pintu belakang rumahnya sehingga dia menjalankan apa yang dijanjikan.
Agar supaya ras ini tidak punah, karena kedua anak dari Tuan Sori Madenggan Doli tidak lagi bisa dihidupkan, Pane Datu Tala di Baumi menikahi salah seorang putri dari 0mpu Raja Ijolma. Dia menulis dalam pustaha sejarah perpecahan dan pertumbuhan mereka pada sebuah pohon dan menyebut mereka Si Aji Donda Hatahutan dan Si Boru Sopak Panaluan Jati. Sementara itu, pada patung kayu dipahatkan nama Tunggal Panaluan (ilmu tenung Batak; Meerwaldt dalam gambarannya tentang ilmu sihir Batak memberikan suatu pernyataan jelas tentang kedalaman makna peralatan yang menurut laporannya hanya digunakan dalam perang dan doa-doa meminta hujan di Toba, Silindung dan daerah-daerah sekitarnya. Berdasarkan maknanya, nama-nama dua orang ini, Si Aji Donda Hatahutan dan Si Tapi Raja Nauasan, diduga pertama-tama perwujudan dari petir, yang kedua muncul dari hutan. Profesor Van 0phuysen menarik kesimpulan lain bahwa dalam mitos ini digambarkan perkawinan antara langit dan bumi).
0mpu Raja Ijolma tetap tinggal di Sianjur, menurunkan seorang putra 0mpu Raja Manisia, yang kembali menurunkan seorang putra bernama 0mpu Raja Batak sebagai leluhur orang Batak (Jolma berarti seperti manisia atau manusia). Jelas tertulis dalam pustaha dengan cara apa orang menangani ilmu gaib ini dan harus memberinya makan (pujaan atau sesaji). Sepanjang pagi sampai pukul 12 siang gonrang harus dipukul. Tanah harus disapu dan diairi dengan tiga jenis tepung ditaburkan bersama Bindu Matogu.
Yang pertama jenisnya putih, yang kedua hitam dan yang ketiga merah. Garis dalam gambar ini menunjukan pinggiran tiga warna (putih, hitam dan merah). Di satu sisi dengan bahan yang sama digambar sebuah tangga, di sampingnya dua bintang dengan lima ujung (tumpak sala). Juga terdapat langgatan, bangunan segitiga dengan sebuah puncak yang ditutupi daun aren. Di bagian kaki, ditaruh seekor ayam putih dan kelabu (manuk lahi bini = seekor jago dan ayam betina). Di atas langgatan berbagai jenis makanan disajikan seperti nasi kuning, telor masak, sirih (demban tiar), air, mentimun, nangka, pisang dan sagu.
Di tengah Bindu Matogu sebuah telur dipendam yang kemudian ketika tunggal panaluan ditancapkan di tanah, harus digali kembali. Dengan cara ini, dengan penggalian telur itu, orang bisa melihat apakah rencana yang dikehendaki berhasil atau tidak. Tentang bubur sesaji yang memberi tukang tenung kekuatan untuk melawan roh-roh jahat, akan dibahas kemudian.
0rang Batak memiliki keterangan yang bisa diterima sebagai kenyataan bahwa pada siang hari tidak ada bintang dan baru muncul pada malam hari. 0rang hanya mendengar kisah Pangulu Si Atasan (Tiga Dolok-Tanah Jawa). Matahari dan bulan merupakan penghuni kampung menurut kata orang, tetapi matahari bersinar sepanjang hari dengan semua anaknya; sementara bulan bersama anak-anaknya menyebarkan cahaya yang jauh lebih redup. Bulan kini memikirkan taktik untuk melepaskan diri dari anak-anak matahari yang merintanginya dan untuk itu dia mengunyah banyak sirih sehingga bibirnya berwarna merah seperti darah. Dengan memamerkan hal itu, dia berangkat menuju matahari yang tampak sangat indah dan memiliki keinginan yang sama. Bulan berkata,”Untuk itu saya telah menaruh semua anak kita dalam sebuah bambu dan memakan mereka yang mengakibatkan bibirnya seluruhnya menjadi merah”. Matahari segera mengikuti contoh itu. Juga bibirnya menjadi merah. Akan tetapi, keesokan harinya di pagi hari, ketika matahari melihat dan mengetahui bulan bersama semua anaknya, apa yang terjadi adalah dia begitu marah sehingga bulan melarikan diri untuk menghindari pukulan matahari. Bulan dan anak-anaknya segera menghindar dan orang kini masih percaya akan pengejaran di angkasa itu, yaitu matahari kadang mendekat dan kemudian jauh kembali dari bulan. Namun, matahari selalu tidak bersama anak-anaknya, sementara keluarga bulan masih sering tampak bagi setiap orang di malam hari.
Para dewa (debata) termasuk yang diperlakukan demikian dan yang akhirnya membuat manusia lahir dan menciptakan bumi, kini tidak lagi memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Batak. Setelah menciptakan semua yang ada, mereka meninggalkan manusia dengan ketenangannya. Karena itu pemujaan tidak ditujukan untuk menghormatinya namun hanya merupakan usaha untuk mengendalikan kekuatan dan kekuasaan yang kini memiliki pengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari yang biasanya dari sisi yang kurang baik. Hal ini mendorong mereka agar tidak menimbulkan bencana pada manusia. 0rang harus memenuhi kewajibannya untuk memberi mereka apapun yang dimintanya, agar mereka tidak menimbulkan keburukan, dan mereka cukup puas dengan apa yang disajikannya.
Sebelum berkomentar tentang roh-roh ini yang disebut dengan istilah begu, pertama-tama harus dijelaskan apa manusia itu sebenarnya. Dalam pandangan orang Batak tubuh ini hanya merupakan tubuh, tempat tinggal manusia sejati. Jiwa (dengan menggunakan istilah ini) atau lebih tepatnya berbagai jiwa disebut dengan tondi. Jika roh kehidupan untuk sementara meninggalkan tubuh, seperti dalam mimpi atau sakit, maka ini bukan darurat, setidaknya tidak perlu demikian; Namun, jika dia meninggalkan tubuh untuk selamanya, maka hal itu berarti kematian. Begitu juga seperti yang kita katakan bahwa roh kehidupan tumbuh, orang Batak menduga bahwa kepergian tondi dari tubuh merupakan kematian (menurut Joustra kematian sejati disebabkan oleh perginya nafas atau hosa).
Saya berbicara tentang roh seperti ceramah, terutama karena (meskipun ada bantahan ketika Dr. Hagen menyebutkan bahwa ada tiga tondi) suku Batak Timur mengenal berbagai macam tondi, kadang-kadang tiga (seperti yang dikatakan orang dari Simalungun Barat) atau kadang-kadang tujuh seperti yang kebanyakan dikatakan orang. Bahkan kadang-kadang dikatakan sebelas atau tigabelas seperti yang disebutkan seorang tua di Jandi Mauli (Raya).
Tondi-tondi berikut ini dikenal orang:
- Si Guliman Si Rambingan Si Pabongot Si Adinmi
- Si Arahara Si Talimbubu Si Rattiman Si Alam Dayang
- Si Arap Mulajadi Si Patiman Si Iringiring Si Tarihat
- Si Jungjung Si Alam Sahejer Si Pangutan Si Manduraha
- Si Alam Humila Si Rambuni Si Tandok Si Pamatang
- Si Mudiman Si Tampuboras
Beberapa orang menduga bahwa pada setiap manusia tondi dan tujuh yang pertama hidup bersama. Tondi Si Manduraha umumnya disebut yang paling merugikan dan berbahaya. Ini adalah tondi yang untuk sementara tinggal di dalam tubuh atau di dekatnya yang menyebabkan nasib sial.
Yang lain kembali menduga bahwa tidak semua dari tujuh tondi ini tinggal di tubuh, tetapi nasib manusia ditentukan oleh sejenis tondi yang menghuninya. Tondi seorang raja akan berbeda dengan tondi orang miskin. Bagaimana tondi ini berada, orang tidak mengetahuinya, tetapi selalu kembali terdengar bahwa (ketika seseorang hidup melalui suatu nasib sial) tondi Si Manduraha pasti memiloiki peran.
Kembali orang lain menyatakan bahwa setiap orang memuat tujuh tondi itu, namun hanya satu yang tinggal di tubuhnya. Jika ada suatu tondi yang baik pada dirinya, maka nasibnya selama ini akan baik; jika buruk, maka dia akan mengalami kebalikannya. 0rang kaya bisa menjadi miskin dan orang miskin bisa menjadi kaya. Setiap orang yang mengalami malapetaka besar pasti dijiwai oleh tondi yang sama (Si Manduraha). Tentang tondi Si Arahara beberapa warga yakin bahwa dia menyertai orang dan terus maju bila orang melakukan perjalanan.
Tondi Si Iringiring mengikuti manusia, sehingga dia menurut kepercayaaan mereka yang merasa kenal dengan tondi ini, berada pada jalan di antara keduanya. Tondi Si Tandok tetap tinggal di tempat orang itu berada. Si Jungjung berada di atas manusia. Dengan kelahiran seseorang, muncul tondi Si Alam Dayang, Si Alam Sahejer dan Si Alam Humila, tetapi apa tugas mereka lebih lanjut dan apa maksud Si Rattiman dan Si Guliman, tidak dijelaskan. Tondi Si Pamatang sama besar dengan tubuh manusia. Ini adalah tondi yang bisa dibawa pergi dalam mimpi atau ke tempat yang jauh letaknya.
Si Pabongot bertugas menyatukan berbagai tondi. Ketika salah satu tondi tertinggal dalam hutan, Si Pabongot akan mengambilnya. Tentang Si Talimbubu orang tidak menyebutkannya.Namun, Si Arap Mulajadi menentukan nasib manusia. Hal ini merupakan pengikatan manusia dengan roh dan tampaknya memiliki pengaruh penting dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya di sini diberikan penjelasan seperti yang disampaikan guru Sibrahim Purba. Menurut dia manusia memiliki sebelas tondi:
- Si Tarihat yang berada di kulit
- Si Rambuni yang beraada di daging
- Si Guliman yang berada di urat dan pembuluh
- Si Pangutan yang berada di tulang
- Si Jungjungan yang berada di kepala
- Si Arahara, Si Iringiring, Si Ratiman, Si Pamatang, Si Mudiman dan Si Talimbubu membantu yang di atas. Tidak bisa dikatakan tempat bantuan ini muncul dan bagaimana orang menilainya.
Pertama dikenal Buwang Jaka (membuang waktu, yakni kematian), yang diterapkan pada para raja ketika sakit parah. Di sini bukan hanya begu yang dikejar, tetapi juga dimintakan berkah pasien bila telah disembuhkan. Parsilihi adalah cara kedua. Cara ini dilakukan untuk penyakit berat. Orang membawa keluar sebatang pisang yang dipotong dalam bentuk manusia, diletakkan beberapa potongan seperti yang dituliskan lebih lanjut dalam kisah tentang asal-usul kebiasaan ini.
Bah Bah dimaksudkan sebagai membawa makanan dan bunga ke sungai, sebagai sesaji kepada begu untuk menyembuhkan penyakit, ketika seseorang ketakutan di samping nasib sial yang melandanya. Tentang kedua kebiasaan ini orang berusaha mengisahkannya dalam sebuah legenda tentang asal-usulnya.
Buwang Jaka
Pada masa lalu hidup seseorang bernama Tuhan Bolon Sigiling, yang pada suatu hari menjanjikan mengawinkan putrinya dengan penduduk kampungnya Tuhan Sumaliat, dengan syarat apabila dalam beberapa hari dia bisa membangun sebuah kerangka rumah. Kini Tuhan Sumaliat mendatangi Guru Gumbot Nabolon untuk bertanya kepadanya apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Pertama-tama, dia harus memetik beberapa tangkai bunga, agar dia bisa berdoa. Segera setelah semua ini selesai dilakukan, pada suatu sebuah kerangka rumah akan berdiri. Tuhan Bolon Sigiling pada saat itu menyuruh warga untuk menutup atap dengan ijuk, sehingga Tuhan Bolon Sigiling memberikan sebuah kapak emas kepada Tuhan Sumaliat yang menikah dengan putrinya agar dapat mengambil seikat ijuk dari hutan. Namun, dalam pekerjaan itu kapak emas tersebut jatuh ke dunia bawah yang menimpa kepala Debata di Toru (Naga Padoha ni Aji) dan tetap berada di sana. Tuhan Sumaliat mengikuti benda yang jatuh itu dan saat dia melihat Debata di Toru duduk dengan kapak di kepalanya, dia mengatakan bahwa para dewa dari alam bawah tampak sama sekali berbeda dengan manusia. Mereka memiliki perut buncit.
Debata di Toru meminta Tuhan Sumaliat membantunya, dengan menyuruh warga di alam bawah untuk mengumpulkan banyak padi yang dibakarnya di pada sebatang batang bambu. Ketika api menyala, dia mengambil kapak dari kepala Debata di Toru di mana dia (yang merasa senang karena tidak merasa sakit lagi) mengawinkan Tuhan Sumaliat dengan putrinya Panakboru Moraini.
Namun Tuhan Sumaliat akan kembali ke kampungnya dan untuk itu dia membuat tangga pada celah tersebut untuk digunakannya. Setiap hari satu potong tangga dipasang sampai dia menyelesaikan seluruh tangga itu dalam tiga tahun. Dia melakukannya tanpa sepengetahuan Debata di Toru dan melaporkan bahwa dia pergi untuk berburu di hutan. Dengan selesainya pekerjaan itu, dia memanjat dengan istrinya ke atas.
Istrinya tidak memiliki harapan pasti dan atas pertanyaan suaminya apakah dia tidak merasa keberatan ikut pergi ke kampungnya, dia menjawab, ”Silanjuhang, Sakkisipilit, Silanglangkabungan”. Karena kata-kata ini tidak lain adalah nama-nama tiga semak, Tuhan Sumaliat menanam tanaman ini di sekitar lobang, tempat di mana mereka muncul.
Saat itu Tuhan Sumaliat ketika tiba di tempat mertuanya Tuhan Bolon Sigiling ditanya dari mana perginya begitu lama. Menantunya menyampaikan laporan terpercaya tentang peristiwa itu kepadanya. Ketika mendengar bahwa dia tinggal di alam bawah, dan Panakboru Moraini telah duduk dengan perut buncit, dia memutuskan sebelumnya untuk menghadap Guru Tiktik Pahulada dan Jolma So Begu (setengah manusia setengah begu), Dohat Raja ni Baragi (baragi adalah sejenis burung), dan Si Jang Parurajaran untuk meminta nasehat. Mereka mengadakan penyelidikan atas lobang itu, dari mana Tuhan Sumaliat kembali muncul dan memutuskan bahwa istri Tuhan Sumaliat bisa tetap tinggal di di sana, dan di sini wajib dipelihara oleh Tuhan Bolon Sigiling.
Tetapi setelah beberapa saat, dia mengabaikan kewajiban ini yang membuat Tuhan Sumaliat sangat marah. Jadi tampak bahwa isterinya Panakboru Moraini menerapkan ilmu untuk membuat Tuhan Nabolon Sigiling sakit. Atas pertanyaannya kepada menantunya, apakah tidak ada obat untuk penyakit ini, dia menerima jawaban bahwa sebaiknya disiapkan sebuah batang pisang yang dibentuk dalam wujud manusia. Pada saat itu, seekor anjing dan ayam jago dipotong, 6 lembar daun sirih, sebuah bunga, 7 ekor ikan bakar, dan beras semuanya diletakkan pada batang ini dan ditutup dengan kain putih. Ini disiapkan dan selama satu malam diletakkan Panakboru Moraini. Sejak itu Tuhan Bolon Sigiling sembuh. Demikianlah asal usul kebiasaan ini ketika raja sakit keras.
http://garama-parraya.blogspot.com/2010/12/tari-tortor-naposo-bulung-raih-rekor.html TARI TOR-TOR SIMALUNGUN |
NEXT POST : J, TIDEMAN SIMELOENGOEN : HET LAND DER TIMOER-BATAKS (III - PENDUDUK/MASYARAKAT-3)
Segala masukan dan koreksi sangat terbuka untuk mengedit artikel ini (open source) yang tentunya dengan data dan fakta serta sumber berita yang akurat sehingga apa yang menjadi koreksi bisa bermanfaat untuk menambah "celah-celah" yang hilang dari sejarah SIMALUNGUN pada umumnya, dan sejarah MARGA/BORU GIRSANG pada khususnya.
Terimakasih
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
0 komentar:
Posting Komentar
No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -