GIRSANG VISION : Artikel ini terinspirasi oleh sebuah komentar didalam artikel Kosmologi Masyarakat Batak dengan blognya : http://rapolo.wordpress.com yang sudah dimuat ulang diblog ini :
Sebagai putera Simalungun asli, saya teringat akan percakapan-percakapan formal maupun informal di masyarakat kita, di mana saudara-saudara etnis Batak Toba sepertinya tidak mampu dan tidak rela menerima dan mengakui “otherness” antara suku bangsa Simalungun dan Batak Toba. Dan oleh karena inilah sehingga Pdt. J. Wismar Saragih dan kawan-kawan dalam wadah Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada tahun 1928 mengadakan perlawanan kultural dan intelektual terhadap pandangan dan kebijakan RMG dengan agency penginjil yang didominasi kaum Kristen Batak Toba yang dirasakan sangat meminggirkan dan merendahkan orang Simalungun . Mari kita membaca disertasi Pak Pdt. Dr. J. R. Hutauruk yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan BPK Gunung Mulia yang berjudul Kemandirian Gereja juga buku sejarah GKPS yang saya tulis bersama Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga yang berjudul Tole den Timorlanden das Evangelium (Jakarta, 2003). Di kedua buku yang sarat dengan data-data ilmiah itu, dibentangkan bagaimana RMG plus agency Kristen Batak Toba tetap tidak mampu mengakui “otherness”nya etnis Simalungun dari Batak Toba.
Otherness-nya Suku bangsa Simalungun dengan Batak Toba
Setelah membaca dan mendiskusikannya dengan pemuka-pemuka adat/budaya Simalungun seperti
- Bapak Kadim Morgan Damanik (mantan Ketua Umum Partuha
- Maujana Simalungun Perwakilan Kabupaten Simalungun) dan
- Bapak DjaimanSaragih (Ketua Umum Madjelis Kebudajaan Simalungun Indonesia)
Simbolon, Sijabat, Manihuruk, Damanik Malau, Gurning, Ambarita). Penulis-penulis Belanda juga tidak menafikan kalau ada keturunan raja-raja Simalungun yang berasal dari India Selatan. Dan satu lagi apabila Sdr membaca disertasi Bapak Prof Dr Bungaran Simanjuntak, Konflik dan Status Kekuasaan Orang Batak Toba (Yogyakarta, 2002), beliau dari hasil penelitiannya mengatakan bahwa nenek moyang orang Batak besar kemungkinannya berasal dari keturunan suku bangsa Munda dan Nagpur di India Selatan, dan menilik adanya Kerajaan Nagur (di India ada kota “Nagpur”) di Simalungun yang jelas merupakan kerajaan Hindu pertama di Sumatera Timur, makin menguatkan pandangan beliau. Prof Payung Bangun berpendapat adanya konsep raja (monarch) di Simalungun yang berpola “tuan-hamba” berasal dari budaya India (Hindu) yang mengenal “raj” sebagai perwakilan dewa di bumi yang menjamin keselarasan hubungan antara dewa-dewa dengan manusia. Di Simalungun konsep “raj” ini jelas kelihatan pada saat sebelum masuknya zanding dan agama Islam, di mana raja-raja itu digelari dengan “tuhanta” artinya pemilik kita. RW Liddle malah meyimpulkan, raja-raja Simalungun itu dilihat sebagai representasi ilahi di bumi yang dianggap memiliki kekuatan adikodrati. Sampai saat ini, konsep pengormatan itu masih ada sisa-sisanya di masyarakat Simalungun, yaitu pandangan orang Simalungun terhadap tondong (Toba: hula-hula), tondong dianggap sebagai pemberi berkat (tuah) yang wajib dihormati seperti nyata dalam kalimat, “Tondong pangalopan podah, sanina pangalopan riah, boru pangalopan gogoh”. Dalam upacara-upacara adat Simalungun asli, tondong ini selalu berada di depan disambut oleh borunya dengan tarian yang khusyuk dan takzim sampai menyentuh tanah dengan sikap menyembah ke arah tondong dengan iringan gual Rambing-rambing Ramos sambil membawa persembahan kepada tondong tanda penghormatan yang berupa uang yang ditaruh dalam piring putih bertutup bulung tinapak dengan demban yang terdiri dari dua buah, satu untuk bapa dan satu lagi untuk inang. Dalam upacara kematian orangtua yang sudah “sayur matua” semua kaum laki-laki mengikatkan gotong porsa di kepalanya masing-masing yang bermakna, “keikhlasan keluarga dan orang yang hadir untuk memberangkatakan almarhum.” Di Sumatera Utara ini hanya pada suku Simalungun yang mempunyai adat seperti itu. Adat ini jelas dari India (Hinduisme), karena sampai sekarang orang Bali Hindu juga masih memakai porsa kalau bersembahyang di pura.Ada memang beberapa kebiasaan dari Siam yang terbawa ke Simalungun seperti “manurduk dayok na binatur” yang sekarang masih ditemukan di Laos. Ini dibawa oleh sebagian nenek moyang suku Simalungun yang berasal dari sana. Jelasnya, suku Simalungun berketurunan dari beragam nenek moyang, bukan dari satu keturunan, yang semuanya ada yang berasal dari India Selatan dan dari Siam. Ada yang masuk dari pantai timur, dan juga dari pantai barat melalui Aceh (menyusuri sungai Simpang Kanan di Singkel terus ke Pakpak, Tanah Karo dan akhirnya masuk ke Simalungun).
Batrlett (1952:633) menulis sebagaimana dikutip Arlin Dietrich (2003:13) bahwa nenek moyang orang Simalungun pada awalnya berkedudukan di pesisir pantai timur dan akibat desakan dari populasi orang Melayu dari Semenanjung Melayu yang mendirikan kesultanan Melayu berpindah ke pedalaman sampai mencapai pantai Danau Toba. Dan sampai sekarang pun penduduk Melayu di Serdang dan Deli masih ada yang mengakui kalau nenek moyangnya berketurunan dari suku Simalungun. Itulah sebabnya keempat marga itu bisa saling mengawini karena berbeda nenek moyang. Dan di Simalungun adat yang melarang kawin semarga itu masih ketat sekali dipegang. Orang yang kawin semarga itu dihukum oleh huta karena dianggap mardawan begu. Oleh karena itu, dari jalan sejarahnya Simalungun, penduduk yang menjadi etnis Simalungun sekarang ini secara garis besarnya terdiri dari dua keturunan nenek moyang, yakni :
tanpa lineage (cabang marga/sub sib) dan keturunan kedua,
memakai bahasa, adat dan budaya Simalungun dalam kesehariannya. Nenek moyang mereka dahulu sudah berjanji dengan sumpah (marbulawan) di hadapan raja Tanoh Jawa bermarga Sinaga untuk menjadi paruma ni Harajaan Tanoh Djawa.
halnya Raja Sisingamangaraja dalam kajian para sejarawan seperti diungkapkan Castles dalam disertasinya, “…hanyalah sekedar pendeta tertinggi dalam moitie kelompok Sumba yang mencakup marga Ompu Pulobatu, yaitu marga Sinambela” marga dinasti Sisingamangaraja bukan seorang raja sebagaimana pengertian ketetanegaraan modern. Karena itulah dalam disertasi Dr. Lance Castles yang sudah diterjemahkan bejudul Tapanuli (2001:13) ia jelas menerangkan, “Sebelum masa kolonial masyarakat Batak Toba hampir tidak mengenal negara (stateless). Penduduk kampung tinggal di kampung-kampung yang disebut huta. Dan untuk kelancaran administrasi pemerintahan di Tapanuli, Belanda kemudian mengangkat kepala-kepala kampung menjadi pemimpin dengan pangkat “radja ihoetan” dan “kapala nagari”, sedangkan di Mandailing dengan “kapala kuria. Akan halnya di Simalungun, berbeda jauh dengan masyarakat Tapanuli. Dalam disertasi Wolfgang Clauss, Economic and Social Change among the Simalungun Batak of North Sumatra (1982:48), beliau
menjelaskan: “Of all Batak people, only the Simalungun had developed political structure that resembled a form of state. Before the coming of the Dutch, several small kingdoms headed by radjas exixted in Simalungun, but these lacked both clearly defined territorial boundaries and internal coherence. …..the radja’s direct rule was limited to his capital (pematang) and neighboring villages.” Dalam sejarah Simalungun kerajaan tertua di Sumatera Timur adalah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (sekitar abad V) yang kemudian disebut Nagur yang bertentangga dengan Haru (cikal bakal Kesultanan Deli) dan Gasip (cikal bakal Kesultanan Siak). Nagur dengan dinasti Damanik kemudian pecah menjadi Raja Maroppat sekitar abad XIV (Panei, Silou, Tanoh Djawa dan Siantar). Setelah ditekennya Korte Verklaring oleh raja-raja Simalungun, partuanan banggal Purba, Raya dan Silimahuta yang semula daerah vassal dari Panei dan Silou diangkat statusnya menjadi kerajaan. Sehingga sampai revolusi sosial tahun 1946 ada tujuh kerajaan di Simalungun. Masing masing mempunyai pola pemerintahan yang sama yang disebut Sioppat Suhu dengan harajaan sebagai kabinetnya dan sub ordinat partuanan dan parbapaan sampai kepada pangulu dengan masing-masing gamot (pejabat pemerintah) yang dikendalikan dari pusat pemerintahan yang disebut “pamatang” (bukan pematang). Menurut J.R. Hutauruk, satu-satunya hanya ada
di Simalungun.
Bahasa Simalungun. memiliki perberbedaan dengan bahasa Batak Toba dan bahasa Simalungun memiliki kedekatan dengan bahasa Sansekerta.
Memang benar, bahwa pada zaman zending, anggapan umum selalu mengkaitkan etnis Simalungun berasal dari Samosir (Toba) dan bahasanya hanyalah dialek saja dari bahasa Batak Toba. Itulah sebabnya bahasa dan kebiasaan di Tapanuli diterapkan di Simalungun oleh para zendeling Jerman yang mahir dalam adat dan bahasa Batak Toba. Sejak ketibaan Injil di Simalungun, bahasa Batak Toba-lah yang menjadi bahasa Gereja dan Pendidikan di Simalungun. August Theis,
![]() |
PENDETA AUGUST THEIS - PENGINJIL RMG DI SIMALUNGUN |
![]() |
Pendeta Djaulung Wismar Saragih, suku Simalungun pertama yang menjadi pendeta, tokoh perintis kemandirian GKPS. |
membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut. Bahasa Angkola, Mandailing dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan (demikian juga pandangan Dr. P. Voorhoeve), namun menurut ahli bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Angkola-Mandailing terbentuk. Nah untuk lebih jelasnya Sdr Napitupulu agar membaca buku Dr. Uli Kozok
tersebut di hal. 14.
Pengaruh India/Sansekerta melalui Djawa-Hindu dan Pagaruyung pada suku bangsa Simalungun. Tideman, Tichelman dan Dr. P. Voorhoeve sebagai sarjana-sarjana Belanda mengakui bahwa suku Simalungun sangat dipengaruhi oleh India/Hinduisme.
Sumatra: Its History and People (1990:20), “The Bataks were influenced to a considerable extent by Hindu civilization. Direct Hindu influence is said by the natives themselves to have come from the east (Timur/Simalungun). The more important Hindu traits imported into the Batak country were wet rice culture, the horse (“batak”=penunggang kuda), the plow, the peculiar style of dwelling, chess, cotton and the spinning wheel, Hindu vocabulary, system of writing (dari aksara Pallawa-India Selatan) and religious ideas. Tulisnya lagi, “Of more practical importance was the influence exerted by the Hindus among the Timur (Simalungun) and Karo Bataks toward state formation. The Timur (Simalungun) district ruled by radjas and their families are the only large territorial units” (hal. 38).
Kesimpulan :
Menilik perjalanan sejarah suku bangsa Simalungun, nenek moyang suku bangsa Simalungun asli yang menurunkan marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sansekerta: “Naga”, “Ragih”, “Manik” dan “Purba”) jelas tidak benar berasal dari Toba Samosir melainkan dari keturunan sekelompok pengembara dari India Selatan (Nagore) yang mendirikan Kerajaan Nagur dinasti Damanik Nagur (500-1295) dan Siam (yang leluhurnya mendirikan Kerajaan Panei, Silou, Tanoh Djawa dan Siantar) yang masuk ke Simalungun via Aceh dan pantai Sumatera Timur. Pada abad ke-15 secara bertahap (bnd. teori sungsang) terjadi perpindahan antara masyarakat Simalungun ke Samosir (legenda sappar) dan menurunkan marga Sinaga, Manik, Purba dan Saragi (menurut sebutan orang Samosir) atau sebaliknya bermigrasi ke Simalungun dan memasuki marga raja-raja tersebut agar dapat memperoleh tanah di Simalungun. Jelasnya, di Simalungun ada dua keturunan nenek moyang, yaitu : Simalungun Tua (Proto Simalungun) dan Simalungun Muda (Deutro Simalungun).
Bahasa dan aksara Simalungun berawal dari bahasa tua (Sansekerta/Pallawa) di India Selatan yang bercampur dengan bahasa Melayu Tua. Sedangkan, aksara Simalungun (surat sapuluhsiah) berasal dari aksara Pallawa yang menurut penelitian Dr Uli Kozok bermula di Padang Lawas (Mandailing) dari sana ke Simalungun kemudian ke Toba dan Dairi dan berakhir di Karo.
Kebudayaan dan adat istiadat Simalungun asli banyak merupakan duplikasi adat dan budaya di India Selatan dan Siam yang pada abad ke XIII dan XIV akibat invasi Singosari dan Madjapahit budaya Jawa-Hindu turut menanamkan pangaruhnya. Pengaruh Melayu Islam dan Aceh masuk kemudian mulai abad XV dan XVIII dan budaya Eropa melalui zending RMG masuk pada permulaan abad XX.
Mengingat banyaknya unsur budaya dan keturunan yang masuk ke Simalungun, sehingga etnis Simalungun tercatat merupakan etnis yang terbuka dengan pendatang (sehingga etnis Simalungun hanya + 20 % saja dari penduduk Kabupaten Simalungun sekarang dan toleransinya tinggi, sepanjang kepentingan dan harkat martabatnya tidak diutak-atik. Sebab suku Simalungun hidup dalam Habonaron do Bona yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Penutup
Koentjaraningrat begawan antropolog itu menulis, “yang dapat menjelaskan persis ekesistensi suatu suku bangsa adalah suku bangsa itu sendiri, bukan orang lain.”
Salam Habonaron do Bona. Pdt. Juandaha Raya P. Dasuha, STh A. adalah pendeta GKPS dan Pengurus Presidium Partuha Maujana Simalungun di Seksi Sejarah, tinggal di tepian Danau Toba ?
Tongging Taneh Karo Simalem). Pamatangsiantar, 29 Februari 2006.
GIRSANG VISION- HABONARON DO BONA
0 komentar:
Posting Komentar
No comment is offensive tribe, religion and any individual, Use words and phrases are polite and ethical - Thank you -